Life on Social Media

By Laili Muttamimah - January 28, 2016


Whoa, rasanya sudah lama, ya, saya ninggalin blog ini. Akhirnya dapat waktu luang buat nulis lagi setelah menyelesaikan semester yang cukup hectic. Anyway, di sini saya mau berbagi pendapat hal-hal yang menyangkut media sosial. Saya yakin, media sosial dewasa ini sudah nggak asing lagi karena hampir semua orang mengonsumsinya. Namun, saya punya perspektif tersendiri terhadap kegunaan dan kepuasan yang didapatkan oleh user ketika menjadi sosok di balik akun yang hilir mudik di platform mereka. Saya jadi ingat salah satu mata kuliah di Ilmu Komunikasi, ada teori bernama Uses and Gratification yang mana khalayak aktif memilih media sesuai dengan kegunaan dan kepuasannya. Sebenarnya teori itu berlaku untuk media massa, tapi mungkin saya bisa mengaitkannya dengan situasi di media sosial.

Awalnya, perspektif ini datang dari pertanyaan teman-teman yang dilontarkan kepada saya: kenapa sih kamu nggak punya Path? Ask.fm? Snapchat? Sekarang semua orang main gituan, lho. Kenapa kamu nggak ikutan?

Well, saat ini saya memang hanya memilki beberapa akun media sosial yaitu Facebook, Twitter, Instagram, LINE, Interpals, dan Soundcloud. Beberapa waktu lalu, saya sempat menghapus pula aplikasi BBM di handphone saya karena nggak sering digunakan. Salah satu media sosial yang paling saya gandrungi saat ini adalah Instagram, dan yang satu itu cenderung membuat saya kecanduan. Hampir setiap pegang handphone, saya selalu buka Instagram lebih dulu dibanding aplikasi media sosial yang lain. Saya pun bisa berjam-jam meluncur di sana sampai jari saya kram tapi nggak pernah merasa bosan.

Hampir beberapa tahun belakangan, saya juga nggak terlalu aktif menggunakan Facebook, Twitter, Interpals, dan Soundcloud. Saya hanya aktif di Instagram dan LINE karena dua media sosial itu menyajikan apa yang saya butuhkan dan membuat saya puas. Jika dikaitkan dengan teori Uses and Gratification yang saya sebutkan di atas, terbukti bila setiap orang cenderung memilih media yang memenuhi standar kebutuhannya dan media tersebut bisa menghasilkan kepuasan setelah ia memakainya. Hanya sedikit orang yang bisa membagi 'perhatian' ke seluruh akun media sosial yang mereka punya dengan frekuensi sama rata. Kebanyakan orang lebih sering menggunakan media yang mereka sukai. Hal itulah yang mendasari saya mengapa lebih sering menggunakan Instagram dan LINE daripada media sosial yang lain. 

Saya suka fotografi meski sangat amatir dalam hal itu. Di Instagram, tentunya saya bisa mengeksplor banyak hal tentang teknik dan inspirasi fotografi, juga mengekspresikan diri saya melalui foto-foto yang saya ambil. Lewat Instagram pula, saya mendapatkan kepuasan, mulai dari bertemu teman-teman baru, mendapat informasi dari para influencer, sampai memenangkan kompetisi fotografi. Hal-hal yang berawal dari kebutuhan mengkespresikan hobi, pada akhirnya menjadi satu hal yang menghasilkan kepuasan. Itu mengapa saya sangat candu main Instagram sampai hari ini.

Lain halnya dengan LINE, bisa dibilang LINE adalah media sosial yang paling banyak digunakan oleh anak muda di Indonesia. Hampir semua anak muda punya akun LINE dan aktif untuk berdiksusi di sana. Saya lebih memilih LINE ketimbang BBM, karena LINE adalah tempat teman-teman saya berada. Saya bisa mendapatkan informasi tentang kampus, ngobrol banyak hal di grup, sampai melakukan personal chat dengan orang-orang tertentu. Kenapa bukan BBM? Karena BBM cenderung privat, menurut saya. Dan broadcast-nya itu... sorry it really bothers me. Singkatnya, karena saya bisa melakukan komunikasi bermedia via LINE, media sosial yang satu itu menjadi penting buat saya. Jadi, kalau ada apa-apa, lebih baik hubungi saya di LINE saja. Hahaha. :p

Lalu kenapa Facebook, Twitter, Interpals, dan Soundcloud nggak terlalu aktif? Dimulai dari Interpals, sebenarnya media sosial yang satu itu saya buat saat kelas 12 untuk memenuhi tugas berkomunikasi dengan para English native speaker. Setelah tugas itu selesai, saya sempat meninggalkan akun di Interpals begitu saja meski saya sudah punya beberapa teman dari luar negeri. Namun, suatu hari, ketika saya sedang gabut luar biasa, saya iseng mengaktifkan lagi akun saya di Interpals. Akhirnya, saya mendapatkan beberapa teman, yang sampai hari ini masih berkomunikasi cukup intens dengan saya, dari Thailand dan Indonesia. Kenapa saya tidak lagi mengaktifkan Interpals? Sebenarnya saya hanya belum punya waktu dan niat untuk melakukannya. Mungkin suatu hari akan saya coba lagi. Sedangkan Soundcloud, dulu saya sempat aktif sekali di sana, namun ketika sadar saya nggak punya bakat menyanyi dan nggak lagi membuat cover lagu-lagu, akhirnya platform itu saya tinggalkan, meski akunnya belum saya hapus. 

Untuk Facebook dan Twitter, tentu yang dua ini pernah membuat saya candu, meski sekarang frekuensi saya menggunakan keduanya sangat kecil. Saya sangat aktif di Facebook saat SMP dan mulai melupakannya saat SMA karena ada Twitter. Dulu, saya menggunakan Facebook dan Twitter sebagai buku diari tempat saya mencurahkan semua hal. Sampai-sampai, saya sering bertengkar dengan teman saya via wall atau mention karena saling menyindir lewat status. Pada akhirnya, saya menghapus akun Facebook saya karena banyak sekali drama di sana dan memutuskan untuk membuat yang baru. Akun Facebook saya sekarang sepi, saya nggak tahu harus melakukan apa karena sebenarnya sudah nggak tertarik menggunakannya. Di Twitter pun sama, saya pernah menjadi heavy user yang menebar 100 tweets per hari sampai jumlah tweets saya sekarang sekitar 40K-an. Saya nggak tahu sebenarnya apa saja yang saya tulis sampai sebanyak itu. Namun, saya ingat kalau dulu saya galau di Twitter hampir setiap hari. Hahaha. 

Ketika membaca ulang semua postingan yang pernah saya tulis di media sosial, saya merasa geli sendiri. Menyadari betapa saya begitu transparan dan menuliskan semua yang terlintas di pikiran saya. Memang hal itu membuat saya lega karena sudah mengekspresikannya, tapi seiring berjalannya waktu, saya berpikir hal itu, secara tidak langsung, sudah membeberkan 'rahasia' saya ke dunia maya. Tanpa sadar, semua perkataan yang saya lontarkan sudah dibaca semua orang sehingga mereka mengetahui dan menilai seperti apa saya sebenarnya. Bukankah apa yang kita tulis di media sosial mencerminkan 'sebagian besar' diri kita sejatinya? 

Saya mengurangi frekuensi keaktifan di Facebook dan Twitter bukan karena ingin menutup diri dan menjaga image, saya hanya sudah kehilangan minat untuk melakukannya. Entah karena saya lebih bisa menangani masalah saya saat ini, ketimbang membeberkannya lewat media sosial, atau karena sudah saatnya saya bersikap 'lebih baik' dengan menggunakan media sosial sesuai dengan kebutuhan? Itu kenapa, fungsi Facebook dan Twitter buat saya saat ini hanya untuk update informasi dan promosi buku. Dan saya sudah berhenti melakukan stalking! Hahaha.

Dalam satu seminar di kampus, Andi Sururi, redaktur pelaksana salah satu media massa, mengatakan bahwa media sosial sebenarnya bisa membawa sesuatu yang bermanfaat bagi penggunanya. 

"Banyak hal kreatif yang dapat dilakukan di media sosial, kita punya sarana untuk menunjukkan siapa diri kita. Jika kita punya potensi untuk melucu, ya buat celetukan ringan yang membangun. Jika kita bijak, ya buat tweet yang bisa memotivasi banyak orang. Tapi ingat, apa pun yang kita lakukan di media sosial, akan ada yang mengawasi kita.”

Itu mengapa saya meminimalisir penggunaan media sosial, karena tak semua media sosial sesuai dengan apa yang saya butuhkan. Saya tidak ingin membuang-buang waktu hanya untuk membuat akun yang pada akhirnya tidak saya gunakan dan menjadi 'sampah' di dunia maya. Saya percaya bahwa media sosial adalah 'muka' kita yang lain, yang memperlihatkan bagaimana etiket kita ketika menggunakannya. Semakin kita tidak menjaga etiket di dunia maya dengan menjelek-jelekkan orang atau membeberkan informasi tentang diri kita, percayalah akan ada orang-orang tertentu yang melihatnya dan menilai hal itu. Bukan berarti saya takut orang lain memberikan penilaian terhadap saya, saya hanya ingin menggunakan media sosial untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.

Kenapa saya nggak main Path, Ask.fm, dan Snapchat? Sebenarnya ini hanyalah pilihan saya. Path memang mengasyikkan dan kekinian, kita bisa update tentang banyak hal mulai dari lokasi, event, sampai musik yang kita dengarkan. Tapi pada dasarnya, saya bukan orang yang suka membagikan hal itu. Saya nggak terlalu suka ketika semua orang tahu apa yang saya lakukan, di mana saya berada, dengan siapa saya sekarang, melalui dunia maya. Pun dengan Ask.fm, beberapa orang senang diberi pertanyaan oleh anon user mengenai seluk beluk diri mereka, namun saya bukan salah satunya. Apalagi jika pertanyaannya begitu personal dan cenderung menjatuhkan. Saya nggak ingin buang-buang waktu untuk meladeni orang-orang seperti itu apalagi dengan memberi jawaban yang sarkatis dan balik menjelekkan. Whatever you said or wrote, it really shows your attitude. Untuk Snapchat, sejauh ini saya belum menemukan apa fungsi sebenarnya dari media sosial tersebut yang sesuai dengan kebutuhan saya. Saya tahu, beberapa orang menggunakannya untuk release tension dan hiburan, itu mengapa fungsi menjadi tak terlalu penting. Namun, nyatanya saya terlahir sebagai orang yang nggak terlalu suka showed up. Nggak peduli orang lain bilang saya konservatif dan nggak update, saya tetap merasa ini pilihan yang terbaik. 

Salah satu teman saya berpikir saya ini introvert karena nggak suka 'menunjukkan' diri di media sosial. Tapi, hei, ini bukan soal introvert atau extrovert, ini soal kenyamanan. Malah teman-teman saya yang mengaku introvert punya lebih banyak media sosial daripada saya. Bagi saya, media sosial adalah wadah untuk menyuarakan pendapat yang penting untuk disuarakan, dan hal itu memang tergantung pada perspektif masing-masing orang. Saya hanya menegaskan bahwa media sosial sangat transparan seolah ada banyak mata-mata yang mengawasi kita, sehingga kita harus lebih berhati-hati ketika memosting sesuatu. Memang, nantinya postingan itu bisa dihapus. Tapi sebelumnya, banyak orang yang telah membacanya. Jadi, mungkin hal itu nggak mengubah banyak hal.

Alasan terakhir saya, saya merasa lebih tenang dengan memiliki sedikit media sosial. Saya nggak perlu tahu apa yang orang lain lakukan, nggak perlu memikirkan apa yang mereka katakan tentang saya, dan nggak perlu mengurusi mereka. Saya punya hidup dan waktu yang lebih penting untuk dimanfaatkan ketimbang harus melakukan judgement pada orang lain melalui media sosial. Well, kita semua tahu betapa besar tingkat judgmental orang Indonesia. Dan satu hal lagi, saya lebih suka jika seseorang menyapa saya secara personal dan mencari tahu tentang diri saya lewat percakapan yang kami lakukan, ketimbang menebak-nebak dan menyimpulkan melalui media sosial. 

Jadi, itulah alasan mengapa saya nggak menggunakan banyak media sosial. Saat ini, kita nggak cuma hidup di dunia nyata, tapi juga dunia maya. Oleh karena itu, pintar-pintarlah menggunakan dan memanfaatkan media sosial sesuai kebutuhan. Jangan sampai hal itu justru menjadi bumerang yang nantinya malah menjatuhkan kita. Let's be smart user in smart media. :)

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar