Belajar Menikmati Ritme Hidup

By Laili Muttamimah - June 07, 2018


Sometimes, we forget to enjoy little things when we're in hurry. Kurang lebih, kalimat itu menggambarkan apa yang saya rasakan beberapa bulan terakhir. Saya baru menyadari bahwa selama ini saya menjalani ritme hidup yang serba cepat: makan cepat, jalan cepat, belajar cepat, dan masih banyak 'cepat' lainnya. Ritme hidup ini tanpa sadar membentuk ambisi dalam diri saya untuk melakukan segala hal secepat mungkin karena berpikir bahwa jika saya lengah satu menit saja, orang lain di luar sana (yang juga sama-sama sedang berjuang) akan melampaui dan mendahului saya. Pemikiran ini terpatri dalam benak saya sejak saya bergabung dalam salah satu komunitas anak muda. Para expert di sana selalu meminta kami untuk menjadi pribadi yang kompetitif, dengan 'doktrin' bahwa kita bisa saja menjadi orang yang tertinggal jika kita nggak benar-benar kuat bersaing dengan yang lain. Hal itu nggak salah, saya merasa didikan itu membuat saya menjadi lebih bersemangat untuk mencapai target secara maksimal. Mereka membuat saya membuka mata bagaimana 'kerasnya' dunia sehingga kita nggak bisa hanya jadi pemalas yang menyusahkan negeri ini. Namun, lama-kelamaan, saya justru menyadari bahwa nggak semua hal yang 'cepat' itu berarti 'maksimal'.

Beberapa teman sering menyebut saya sebagai orang yang idealis. Label itu bisa berarti positif maupun negatif. Mereka bilang, saya terlalu ketat terhadap nilai-nilai ideal yang dianut orang banyak, misalnya harus mendapatkan nilai A dalam banyak mata kuliah karena mendapat nilai A itu berarti sangat baik, melakukan sesuatu sesuai dengan prosedur yang sudah ada (karena terbukti berhasil) dan nggak mau mencari metode baru, lulus cepat, bekerja di perusahaan, menikah di usia seperempat abad, dan masih banyak lagi. Pilihan-pilihan hidup saya terlihat selalu berada di zona 'aman' karena saya nggak berani mengambil risiko jika saya keluar dari standar ideal (misalnya, lulus kuliah dan terbang ke Fiji untuk menjadi relawan atau hidup sebagai nomaden sembari traveling tanpa pekerjaan tetap).

Saya akui, pandangan mereka nggak sepenuhnya salah.

Sejak kecil orangtua saya selalu meminta saya untuk melakukan yang terbaik atau kalau bisa... jadilah yang terbaik. Mereka cukup tegas kepada saya dalam hal pendidikan, itu kenapa saya selalu berusaha mendapatkan hal baik yang sesuai dengan standar ideal, seperti mendapatkan peringkat satu atau juara umum atau memenangkan kompetisi. Orangtua saya memang nggak pernah mendikte saya untuk melakukan itu, saya melakukannya karena hasil pemikiran saya sendiri. Padahal, menjadi 'baik' itu bisa saja mendapat nilai yang biasa-biasa di kelas, tetapi membantu teman ketika sedang kesulitan. Ada banyak definisi baik di luar sana, namun sering kali saya membatasinya dengan apa yang saya lihat berdasarkan standar ideal.

Sering kali saya merasa payah ketika melewati satu hari hanya untuk melakukan hal-hal yang nggak produktif seperti nonton film, jalan-jalan, atau tidur siang. Entahlah, saya kira hidup ini cukup singkat, dan melaluinya dengan hal-hal nggak produktif sama saja seperti buang-buang waktu. Situasi ini benar-benar saya alami ketika saya baru wisuda dan nggak punya sesuatu untuk dikerjakan, alhasil saya cuma tidur, baca buku, nonton film, bantu orangtua di rumah, dan pergi keluar sesekali kalau ada janji sama teman. Semua hal itu menyenangkan, tapi di sisi lain saya cemas kalau apa yang saya lakukan hanya membuang-buang waktu. Saya selalu membandingkan kehidupan saya saat itu dengan pengalaman semasa kuliah saya, yang mana saya merasa sangat produktif dengan agenda rapat organisasi hampir setiap hari, membuat acara, menulis artikel berita, menjalankan project dengan teman-teman komunitas, bahkan menyempatkan diri merevisi naskah novel di tengah-tengah kesibukan itu. Setiap hari yang saya lalui terasa bermanfaat, walau jelas hal itu membawa saya pada kondisi stres dan penuh tekanan. Tapi, siapa sangka? Berdiam diri di rumah tanpa kesibukan justru membuat saya jauh lebih tertekan. Di sisi lain, saya juga bukan tipikal orang yang hobi ke mal, muter-muter toko, atau nongkrong. Bepergian pun buat saya harus ada tujuannya. Pengin traveling, tapi belum punya penghasilan dan nggak mau minta uang sama orangtua. Alhasil, saya berusaha untuk menyibukkan diri dengan hal-hal yang bisa saya lakukan di rumah. 

Seperti yang kebanyakan fresh graduate lakukan, sebelum wisuda saya sempat melamar pekerjaan ke tiga perusahaan. Ya, hanya tiga, ketika teman-teman saya melamar ke belasan bahkan puluhan. Entah karena saya terlalu pemilih atau sebenarnya saya merasa belum sepenuhnya siap memulai dunia baru sebagai pekerja. Jujur saja, bagi saya, masa-masa menjadi mahasiswa adalah yang terbaik, karena ada banyak sekali hal yang bisa dieksplor tanpa dibebankan oleh embel-embel penghasilan, investasi, dan masih banyak lagi.

Namun, sebulan selepas wisuda, nggak ada satu pun dari perusahaan itu yang memanggil saya untuk wawancara. Saya cek pengajuan lamaran saya, sudah expired. Tandanya saya nggak lolos. Saya sempat galau ketika banyak teman saya yang sudah memulai pekerjaan pertama mereka atau minimal dipanggil wawancara. Walau saya tahu, perjuangan mencari pekerjaan memang nggak semudah itu. 

Akhirnya, saya curhat ke orangtua saya tentang hal ini. Saya memang nggak pernah cerita pada mereka kalau saya sudah coba melamar pekerjaan. Saya kira mereka akan marah, tapi siapa sangka, respon mereka justru seperti ini: 

"Lel, kamu baru aja wisuda kemarin, udah mikirin kerja aja. Istirahat dululah, puas-puasin di rumah (karena waktu kuliah ngekos), makan yang banyak, nanti aja ngelamar kerjanya habis lebaran. Sekarang nikmatin Ramadhan di rumah dulu, nggak usah buru-buru."

Ada satu kalimat yang saya highlight: nggak usah buru-buru. Tiba-tiba, saya pun teringat dengan ucapan dosen pembimbing saya: Laili, satu pesan saya buat kamu, coba deh kamu lebih santai jalanin hidup, 'dikendorin' ajaSeketika hal itu menjadi refleksi untuk saya bahwa selama ini saya selalu mencoba mencapai target dalam jangka waktu singkat, padahal masih ada banyak kesempatan untuk 'mematangkan diri' terlebih dahulu. Memang benar, salah satu kesalahan manusia adalah berpikir bahwa mereka masih punya waktu, namun itu bukan berarti harus merealisasikan segalanya detik ini juga. 

Sejujurnya, alasan saya belum siap memulai pekerjaan adalah saya merasa sangat lelah. Mungkin ini efek dari ritme cepat yang saya lakukan selama empat tahun kuliah. Saya nyaris nggak pernah menikmati hal-hal sederhana seperti tidur siang tanpa memikirkan rencana yang harus saya lakukan selanjutnya. Saya ingin menghabiskan waktu yang cukup untuk memanjakan diri saya lebih dulu, sebelum nantinya saya akan kembali ke medan pertarungan. 

Itu mengapa, setelah sebulan di rumah, saya mulai menyadari hal-hal yang sudah lama saya abaikan atau tinggalkan. Saya menyempatkan diri jalan pagi atau naik motor keliling komplek untuk bernostalgia dengan tempat-tempat yang dulu sering saya lewati dan memperhatikan aktivitas orang-orang, bertemu dengan teman-teman lama, dan yang paling penting... menjadi lebih dekat dengan keluarga dan diri sendiri. Mungkin selama ini saya hanya berfokus pada target untuk mencapai banyak hal, sampai saya menomorduakan keluarga, teman, bahkan diri saya sendiri. Mungkin juga ini yang disebut sebagai pendewasaan, ketika semakin lama, kita makin mengenal apa yang diri kita inginkan. Saya sadar bahwa selama ini saya menjalani ritme hidup cepat hanya karena takut tertinggal di belakang, padahal setiap orang sudah punya garis waktu masing-masing. Yang terpenting adalah kita melakukan hal-hal yang sesuai dengan diri kita dan banyak belajar darinya.

Ya, banyak dari kita ingin memiliki hidup ideal (sukses, kaya, luar biasa) karena kita selalu dijejali oleh afirmasi “jika kamu ingin bahagia, jadilah orang sukses/kaya/hebat/semuanya". Pikiran itu (secara nggak sadar) membuat kita melakukan segalanya dengan terburu-buru, karena ada banyak target yang harus dicapai. Kita berlari sangat cepat karena takut ditinggalkan oleh orang lain. Kemudian, kita lupa bahwa kita dapat menentukan nilai kita sendiri dalam hidup; bukan menjadi orang terkaya bukan berarti nggak bahagia, nggak menjadi BOD bukan berarti gagal, selama kita bahagia sesuai dengan standar masing-masing. Hidup dalam standar ideal hanya karena orang-orang melakukannya benar-benar melelahkan. Kita nggak lagi tahu apa yang sebenarya kita inginkan, nggak lagi tahu apa yang terbaik untuk kita, dan nggak lagi mengenal diri sendiri. 

Jadi, untuk saat ini, ketika ada pertanyaan dan ucapan "Lo udah apply kerja di mana aja? Udah interview berapa kali?", "Liat tuh, wisudawan terbaik, tapi sekarang belum kerja. Mending anak saya, nilai biasa-biasa aja tapi seminggu wisuda langsung keterima kerja.", "Nggak ngejamin ya IPK bagus langsung kerja habis lulus." sampai di telinga saya, saya sudah punya jawabannya:

Nikmatilah garis waktu kita masing-masing.

  • Share:

You Might Also Like

1 komentar