Yang Tidak Mereka Katakan Tentang Menjadi Dewasa

By Laili Muttamimah - June 13, 2021

Photo by Jon Tyson/Unsplash

Kurang lebih lima belas tahun lalu, diri saya mulai mendambakan kehidupan ideal orang dewasa. Saat itu, saya sudah membayangkan rumah macam apa yang akan saya tinggali, profesi apa yang akan saya jalani, dan pasangan seperti apa yang akan saya miliki. Segalanya tampak mudah dan indah pada masa itu, memikirkan bahwa nantinya, di usia 25 tahun, saya sudah bisa menggapai itu semua. Sewaktu kecil, saya kerap bertanya kepada orangtua saya tentang kehidupan orang dewasa. Mereka selalu berkata bahwa menjadi orang dewasa dibutuhkan lebih banyak tanggung jawab. Hanya itu. Diri saya waktu kecil pun melakukan observasi dari apa yang dilakukan oleh orangtua saya, yang mana terlintas pikiran saat itu bahwa menjadi orang dewasa sangat menyenangkan, karena akhirnya kita bisa memutuskan sendiri hal-hal yang ingin kita lakukan tanpa harus meminta persetujuan siapa pun.

Namun nyatanya, menjadi dewasa bukanlah semata-mata memiliki banyak tanggung jawab. Ada hal-hal yang tidak mereka katakan kepada saya tentang menjadi dewasa. Kini, lima belas tahun kemudian, kehidupan orang dewasa mulai tampak jelas di depan mata. Apakah masih semudah dan seindah yang saya bayangkan sebelumnya? Sayangnya, tidak.

Yang tidak mereka katakan tentang menjadi dewasa adalah menghadapi sekelumit urusan administrasi yang tak jarang prosesnya menguras waktu dan energi. Sebut saja, mengurus pajak, asuransi, tagihan, juga rentetan keperluan administratif lainnya. Kebanyakan, hal-hal ini juga tidak kita pelajari semasa sekolah, kecuali jika kita mengambil sekolah kejuruan administrasi, dan semuanya harus dipelajari secara manual. Belum lagi, urusan lain seperti melapor polisi jika dompet atau kendaraanmu dicuri, memperpanjang lisensi, menyelesaikan dokumen administrasi rumah sakit, dan masih banyak lagi.

Yang tidak mereka katakan tentang menjadi dewasa adalah tidur yang kurang dari delapan jam sehari, badan yang lelah karena harus mobilisasi, pikiran yang penat karena tetek-bengek profesi. Bekerja dan punya uang mungkin menjadi impian setiap anak kecil saat mereka memikirkan tentang menjadi dewasa. Namun, segalanya tak terasa semenarik itu ketika dijalani, sekalipun kita bekerja dalam bidang yang kita sukai. Kita harus berhadapan dengan tugas yang menumpuk dan menantang, kolega yang diam-diam menusuk dari belakang, juga promosi jabatan yang tak kunjung datang. Belum lagi, jika kita harus berada dalam fase menganggur tanpa pekerjaan yang cukup lama, tanpa uang dan tabungan, hanya kerja serabutan, yang penting bisa makan. Jika ingin lebih bergaya, tak jarang kartu kredit menjadi jaminan.

Yang tidak mereka katakan tentang menjadi dewasa adalah kinerja pemerintah yang tak jarang membuat sakit kepala, juga terbatasnya ruang untuk bersuara. Menyadari bahwa politik bukan semata-mata memilih seorang pemimpin, tapi mengkritisi praktik-praktik yang merugikan masyarakat di baliknya. Mempelajari undang-undang yang kita pikir sebatas hapalan semasa sekolah, kini terasa sekali dampaknya. 

Yang tidak mereka katakan tentang menjadi dewasa adalah teman yang hilang bak ditelan ombak satu persatu. Teman yang mulai sibuk dengan dunia dan impiannya masing-masing, teman yang diam-diam ingin bersaing denganmu sehingga ia pergi tanpa alasan yang jelas, teman yang mungkin tak lagi bisa mendengarkan keluh-kesahmu seintens dulu. Selepas masa sekolah, hubungan pertemanan cenderung mulai berubah. Meski kita masih sering bertemu atau berkumpul, tentu ada dinding transparan yang membatasi kita bernama nilai. Mungkin kita pernah sedekat nadi, namun lingkungan baru membentuk nilai dalam diri masing-masing, yang terkadang berseberangan satu sama lain. Nilai membuat kita berpikir bahwa teman kita berubah, sehingga rasanya tak lagi sehangat dulu, walau sebenarnya ia mungkin hanya tumbuh menjadi seseorang dengan perspektif baru. Di sinilah pertemanan diuji, antara bertahan atau berakhir.

Yang tidak mereka katakan tentang menjadi dewasa adalah perdebatan yang semakin panjang dengan orangtua. Lagi-lagi, nilai seolah membuat drama di antaranya. Semakin kita dewasa, semakin kita menyadari tak semua nilai yang dianut orangtua kita benar menurut perspektif kita. Semakin pula kita merasa cara mendidik orangtua kita sudah tak lagi relevan seperti saat kita kecil dulu. Tak jarang, pertengkaran terjadi karena saling mempertahankan nilai dan ego masing-masing. Orangtua semakin bertambah usia dan mulai menunjukkan sikap kekanak-kanakan, lebih sensitif dan gampang marah, tapi tetap merasa dirinya yang paling benar. Di sisi lain, sebagai anak, kita sedang belajar mengatur emosi dan rasionalitas, ingin juga didengar aspirasinya, juga dihargai keputusannya. Ada beberapa hal yang sulit dicari jalan tengahnya, alhasil salah satunya harus mengalah dan siap merasa tersakiti. Ditambah lagi, jika orangtua memiliki ekspektasi yang besar terhadap kita, mungkin daftar dramanya akan menjadi lebih panjang.

Yang tidak mereka katakan tentang menjadi dewasa adalah sulitnya menemukan seseorang yang kita yakini akan menjadi pasangan hidup kita di masa depan. Mungkin kita harus mengalami rangkaian patah hati yang nyaris membuat diri frustrasi. Mungkin kita pun harus siap meninggalkan atau ditinggalkan jika hubungan tidak berjalan seperti apa yang kita inginkan. Membangun komitmen dengan seseorang bukan hanya semata-mata saling cinta, tapi juga bagaimana bisa menoleransi masalah-masalah dan keburukan-keburukan yang dimiliki satu sama lain. Berkomitmen berarti juga siap membagi waktu, perhatian, dan materi. Itu mengapa, banyak pula yang akhirnya memilih berhubungan tanpa komitmen. Meski tak sedikit juga yang memutuskan menikah lebih cepat, walau mungkin mental dan finansial belumlah matang.

Yang tidak mereka katakan tentang menjadi dewasa adalah perayaan-perayaan yang menjadi tren. Sebut saja, bridal shower, baby shower, bachelor party, bridesmaid on duty, hampers, dan masing banyak lagi. Meski kita senang menjalaninya, tentu saja hal ini juga memakan waktu dan materi. Tak jarang, perayaan-perayaan ini pada akhirnya hanya menjadi formalitas belaka, apalagi jika kita berada dalam grup pertemanan tertentu, jika satu sudah dijalani, tentu saja kita harus menyelenggarakan perayaan untuk setiap anggota grup. Percayalah, ini cukup melelahkan.

Yang tidak mereka katakan tentang menjadi dewasa adalah orang-orang yang berlomba-lomba menunjukkan citra mereka, khususnya melalui media sosial, yang mereka sebut dengan personal branding. Mereka yang mencoba menunjukkan segala hal positif dalam hidup mereka sehingga dipandang sebagai sosok yang sempurna. Mereka yang membagikan angka-angka investasi saham mereka, pencapaian-pencapaian mereka, bahkan tangkapan layar isi rekening mereka untuk menunjukkan betapa sukses diri mereka dengan nominal-nominal itu. Perbincangan di kedai kopi kini tak lagi sebatas cowok kelas sebelah yang disukai, tetapi perbandingan gaji, tabungan, dan aset yang dimiliki.

Yang tidak mereka katakan tentang menjadi dewasa adalah tubuh yang lebih cepat lelah daripada semasa kecil dulu. Berolahraga dan makan sehat kini menjadi aktivitas yang harus 'terpaksa' diselipkan dalam rutinitas agar tubuh tetap bugar, walau keinginan untuk rebahan begitu besar. Belum lagi, jenis penyakit yang mulai berdatangan, sebut saja hipertensi, kolestrol tinggi, dan diabetes. Semua yang waktu kecil kita pikir sebagai 'penyakit orang dewasa' dan masih lama datangnya. 

Yang tidak mereka katakan tentang menjadi dewasa adalah pikiran yang berkelana entah ke mana pada pukul dua atau tiga pagi. Insomnia dan terus mengevualuasi hal-hal yang terasa kurang dalam diri sendiri. Membandingkan diri dengan pencapaian orang lain sesungguhnya menjadi hal yang sulit dihindari, alhasil tak jarang menjadi depresi sendiri. Sebagian memilih untuk memperdalam agama, sebagian yang lain mengatur janji temu dengan psikiater. Sebagian harus berhadapan dengan lelah yang menumpuk hingga butuh tidur, sebagian harus meminum lexapro untuk bisa tidur. Memendam tangis dan amarah karena meluapkannya dinilai sebagai sikap yang salah, memikirkan solusi nyata untuk setiap masalah, dan berdamai dengan ketakutan mungkin telah menjadi asupan harian.

Yang tidak mereka katakan tentang menjadi dewasa adalah bahagia yang tak lagi sederhana, tawa yang tak lagi lepas, dan humor yang tak lagi menggelikan.

Yang tidak mereka katakan tentang menjadi dewasa adalah sulitnya menjadi jujur kepada diri sendiri di antara standar-standar ideal masyarakat.

Yang tidak mereka katakan tentang menjadi dewasa adalah mengutamakan kewarasan.

Selamat menjadi dewasa. Semoga kita lebih lantang menyuarakan hal-hal yang tidak mereka katakan tentang menjadi dewasa.



Bekasi, 2 bulan 13 hari menuju usia seperempat abad.

  • Share:

You Might Also Like

3 komentar

  1. Laili, bagus... aku baca sampai selesai pas jam dua malem... Menjadi dewasa memang menyebalkan, kita dituntut untuk terus berada di garis kewarasan, setuju banget... Kuat ya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ded, makasih banyak udah mampir ke postingan ini! Semoga kita bisa lewatin masa-masa menyebalkan ini dengan baik ya, Ded. Semangat dan tetap jaga kewarasan! :D

      Delete
  2. sippp, tetep berjuang dan jangan menyerah, kalo goyah ya istirahat dulu, just stop first but try not to quit

    ReplyDelete