Aku Tidak Sendiri, Aku Masih Memilikimu

By Laili Muttamimah - March 12, 2013

Aku tidak tahu kenapa aku bisa berada di sini. Yang kuingat, ketika aku membuka mata dan terbangun, aku melihat sosok wanita setengah baya sedang menggendong bocah laki-laki sambil menyuapi makan seorang anak perempuan. Wanita itu bertubuh ramping dan sederhana. Paras cantiknya tertutup oleh guratan-guratan di pipinya yang tampak lelah. Matanya yang sayu dihiasi oleh lingkaran hitam di sekelilingnya. Wanita itu, Ibu Fatimah. Beliau seorang kepala Panti Asuhan Cempaka yang tak lain dan tak bukan adalah tempat tinggalku. Kembali ke pernyataanku sejak awal, aku tidak tahu kenapa aku bisa berada disini. Di Panti Asuhan Cempaka, bersama puluhan anak yang kurasa senasib denganku. Terbuang. Tersisihkan.

Kami memang penghuni panti asuhan, tapi bukan berarti kami tidak sekolah. Usiaku dua belas tahun, kini aku duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Tentu saja Ibu Fatimah yang menyekolahkan kami, mungkin tanpa beliau kami hanya luntang luntung di jalanan. Lagi-lagi pikiranku tidak bisa terlepas dari pertanyaan, kenapa aku bisa berada disini? Dirawat oleh seorang wanita yang kupikir adalah Ibuku, namun tidak mirip denganku. Bertemu dengan banyak orang setiap hari, yang kukira sejak awal mereka ada saudara kandungku. Menyedihkan. Aku bahkan tidak tahu siapa Ibu kandungku. Atau mungkin semua ini rencana Tuhan untuk menempatkanku di Panti Asuhan Cempaka bersama Ibu Fatimah? Jadi sebenarnya darimana asalku? Dari rahim siapa aku dilahirkan? Itu menjadi sebuah tanda tanya yang besar untukku.

Tinggal di Panti Asuhan, kedengarannya sangat menyedihkan. Tapi kenyataannya itu tidak seburuk kedengarannya. Aku merasa bahagia hidup disini, bersama Ibu Fatimah dan saudara-saudaraku yang lain. Aku tidak merasa kekurangan, bagiku untuk makan dan sekolah saja itu sudah cukup. Karena yang kudengar, donatur panti asuhan kami lumayan banyak. Disini Ibu Fatimah memang tidak bekerja sendiri, namun beliau-lah yang lebih sering turun tangan untuk merawat kami.

“Sarah, kau sudah mengerjakan tugas sekolahmu belum?” tanya Ibu Fatimah ketika aku sedang menonton televisi di ruang tengah.

“Belum, Bu. Akan aku kerjakan setelah film kesukaanku selesai” jawabku tanpa menoleh dari layar kaca itu.

“Lebih baik kau kerjakan sekarang. Sekarang sudah jam delapan, pasti sebentar lagi kau mengantuk” ujarnya.

Aku mengangguk dan segera mematikan televisi. Lalu Ibu Fatimah menghampiriku dan menepuk bahuku pelan.

“Maaf mengganggu kesenanganmu, Ibu hanya tidak mau kau melalaikan kewajibanmu” kata Ibu Fatimah bijak.
            
“Aku mengerti, Bu. Terima kasih sudah mengingatkanku” jawabku sambil tersenyum.
            
“Baiklah, kalau kau kesusahan kau bisa minta tolong pada Kak Rani. Dia pasti akan membantumu”
           
Kak Rani adalah saudaraku yang paling tua. Ia duduk di kelas dua SMA dan sering membantu kami mengerjakan tugas. Aku beranjak dari televisi dan berjalan menuju kamarku.

Bukan hal yang mudah untuk saling mengerti sesama penghuni panti. Aku sadar tinggal satu atap bersama puluhan orang dengan sifat yang berbeda itu tidak selamanya tentram. Terkadang ada saja yang diributkan dan berakhir dengan pertengkaran. Kalau sudah begini, pasti Ibu Fatimah yang turun tangan menyelesaikannya. Butuh kesabaran yang ekstra untuk merawat kami, apalagi terkadang kami suka melanggar peraturannya.

Salah satu peraturan di Panti Asuhan ini adalah jam malam. Kami tidak boleh keluar malam dan harus berada di rumah sebelum magrib, selambat-lambatnya jam tujuh malam. Tapi saat itu aku pernah melanggar jam malamnya, dan aku sangat menyesal telah melakukan itu.

Saat itu salah satu teman sekelasku, Gina, berulang tahun. Ia mengajak kami untuk makan di salah satu restoran fast food bersama orangtuanya. Aku yang memang belum memiliki handphone, tidak menghubungi Ibu Fatimah untuk meminta izin. Aku terlalu asyik menikmati acara itu. Sekitar pukul delapan malam, aku diantar pulang oleh orangtua Gina dan tiba di panti pukul setengah sembilan malam karena jalanan macet. Yang kuingat saat itu para penghuni panti menyambutku dengan raut wajah mereka yang penuh kelegaan. Tapi aku tidak menemukan sosok yang aku cari, Ibu Fatimah. Katanya, Ibu Fatimah sedang pergi mencariku. Tadi ia sempat ke sekolahku untuk memastikan aku sudah pulang atau belum, tapi ternyata aku tidak ada. Ibu Fatimah bingung harus menghubungi siapa, dan kini ia pergi entah kemana.

Tepat pukul sembilan malam, kudengar suara motor berhenti di halaman panti. Ibu Fatimah sudah pulang. Aku langsung berlari keluar untuk menemuinya dan meminta maaf  padanya. Aku benar-benar merasa bersalah karena sudah membuat beliau khawatir. Aku berdiri di depan pintu dan menatap sosok Ibu Fatimah yang berjalan mendekat. Wajahnya tampak muram, kesal dan lelah. Aku bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Ibu Fatimah kepadaku. Beliau pasti akan menamparku, atau memarahiku dengan keras. Ibu Fatimah berhenti tepat di depanku dan menarikku. Aku memejamkan mataku dan siap dengan apa yang akan kuterima, namun aku terkejut, Ibu Fatimah menarikku dalam pelukannya dan mengelus kepalaku.

“Tolong jangan buat Ibu khawatir, Ibu tidak bisa membayangkan bila terjadi sesuatu padamu. Ibu senang kau baik-baik saja” nada suaranya yang getir membuat airmataku jatuh.

“Maaf aku sudah merepotkan Ibu, aku janji tidak akan mengulanginya” Isakku dalam pelukannya.

Ibu Fatimah menatapku dan berkata, “Mungkin aku memang ditakdirkan untuk tidak memiliki seorang anak dari rahimku, tapi aku memiliki tanggung jawab yaitu kalian”

Aku terharu mendengar kata-kata Ibu Fatimah, aku mempererat pelukanku dan membenamkan wajahku di bahunya.
***
Waktu berjalan begitu cepat sampai tiba saatnya aku menghadapi Ujian Nasional. Dengan berbekal ilmu pengetahuan yang kupunya, aku merasa siap mengikuti ujian itu. Aku mengikuti Ujian Nasional selama tiga hari, setelah itu aku dan Ibu Fatimah sibuk mengurusi berkas-berkas yang diperlukan untuk pendaftaran di SMP negeri favoritku. SMP itu letaknya cukup jauh dari tempat tinggalku, namun kualitas sekolahnya benar-benar bisa diacungkan jempol. Tidak sembarang orang bisa diterima di SMP itu, rata-rata nilai di rapot minimal tujuh koma lima. Aku merasa cukup percaya diri karena nilai rapotku diatas rata-rata tapi aku masih harus banyak belajar lagi untuk menghadapi ujian tes masuk.

Beberapa minggu kemudian, sekolahku mengadakan acara perpisahan siswa siswi kelas enam sekaligus pengumuman kelulusan. Acaranya diadakan di sekolah dan orangtua murid diwajibkan datang mendampingi putra putrinya. Pagi itu aku sudah siap mengenakan baju batik dan sepatu pantofelku. Toga beserta jas wisuda sudah terususun rapi di tasku dan siap kugunakan saat acara pelepasan nanti. Aku menunggu Ibu Fatimah yang tak kunjung keluar. Kulirik jam tanganku, pukul delapan, acara akan dimulai satu jam lagi.

“Ibu, Apa Ibu sudah siap?” Tanyaku sedikit berteriak. Namun tidak terdengar jawaban.

Kucoba memanggil Ibu Fatimah sekali lagi, barulah wanita setengah baya itu keluar agak tergesa-gesa.

“Maafkan Ibu, Sarah. Sepertinya Ibu masih ada sedikit urusan yang harus diselesaikan. Kau berangkat duluan saja, nanti Ibu menyusul” Sahut Ibu Fatimah.

Dengan sedikit rasa kecewa akhirnya aku berangkat menuju sekolah seorang diri. Namun segera kutangkis perasaan itu karena hari ini adalah hari yang aku tunggu. Sampai di sekolah, aku bertemu dengan beberapa temanku dan orangtua mereka. Kami berjalan menuju aula sekolah dan duduk di bangku yang sudah disiapkan. Tempatnya memang sederhana namun suasananya meriah. Satu jam kemudian acara pun dimulai. Aku menoleh dan mendongakkan kepalaku mencari sosok Ibu Fatimah diantara ratusan orang di ruangan ini. Kenapa Ibu belum datang? Aku hanya bisa mendengus dan kembali memerhatikan Kepala Sekolah yang sedang memberi sambutan.

Beberapa kali aku pergi keluar aula untuk mencari Ibu Fatimah, aku terlihat gelisah dan membuat teman-temanku bingung. Sampailah pada acara puncak yaitu pengumuman kelulusan dan acara pelepasan. Kami mulai memakai jas wisuda dan toga kami. Perasaanku campur aduk, antara gugup dengan hasil ujianku dan memikirkan Ibu Fatimah yang tak kunjung datang.

“Baiklah untuk kesempatan kali ini, saya akan mengumumkan hasil Ujian Nasional siswa siswi SDN Cendekia. Satu hal yang sangat membanggakan, karena diantara siswa siwi SDN Cendekia, ada seorang siswi yang berhasil mencapai nilai tertinggi di Kabupaten Bekasi dengan rata-rata sembilan koma tiga atas nama Sarah Chairunnisa!”

Seketika semua orang di ruangan itu menoleh ke arahku. Aku membelalakkan mataku dan membatu. Kenapa namaku disebut? Benarkah itu aku? Atau Sarah yang lain? Benarkah itu aku? Yang mendapat nilai tertinggi se-Kabupaten? Otakku terus bertanya-tanya dan jantungku berdegup cepat. Puji syukur, aku benar-benar tidak menyangka bisa mendapat nilai tertinggi.

“Untuk Sarah, silahkan maju ke depan untuk memberikan kesan dan pesan kepada Bapak dan Ibu guru serta tamu undangan yang telah hadir di ruangan ini” lanjut Bapak Kepala Sekolah.

Dengan gugup aku maju ke audience dan memberanikan diriku menatap para tamu undangan di depanku. Yang pertama kali terlintas di benakku adalah Ibu Fatimah. Dimana beliau? Apakah beliau ada disini? Melihatku berdiri di depan dengan togaku? Mataku terus berputar mencari sosok itu, namun tidak kutemukan. Tiba-tiba dadaku terasa sesak, airmataku menetes begitu saja membasahi pipiku. Mungkin orang-orang mengira aku menangis karena terharu, tapi kenyataannya aku menangis karena orang yang benar-benar aku harapkan tidak hadir disini. Padahal aku ingin melihat beliau disini, tersenyum bangga karenaku. Berdiri dan memberikan tepuk tangannya untukku. Aku mengharapkan itu. Mengharapkan beliau ada disini sebagai orangtuaku, sebagai Ibuku. Sedih sekali melihat teman-temanku di damping oleh kedua orangtuanya, sedangkan aku? Dimana orangtuaku? Dimana Ibu Fatimah yang berjanji akan datang menyusulku?

Aku tidak tahu harus berkata apa, aku hanya menunduk melanjutkan tangisku sambil memegang microfon di genggamanku. Aku mendongakkan kepala dan melihat semua mata yang tertuju kepadaku. Akhirnya dengan berat aku coba membuka mulut dan berbicara.

“Terima kasih banyak atas bimbingan Bapak dan Ibu guru yang dengan sabar mendidikku hingga aku bisa jadi seperti sekarang ini. Tak banyak yang bisa aku ucapkan, aku hanya ingin…Ibuku berada disini dan melihatku” suaraku terdengar sangat getir, aku hanya berbicara apa yang terlintas di pikiranku saat itu. Tangisku pecah, rasa kecewa seakan-akan bertumpuk dalam benakku. Aku meletakkan microfon di meja dan berlari meninggalkan aula. Beberapa guru dan temanku terdengar memanggilku bahkan mengejarku. Namun aku terus berlari sampai tujuanku, Ibu Fatimah.

Sekolahku memang tak jauh dari tempat tinggalku. Sebuah papan bertuliskan “Panti Asuhan Cempaka” mulai terlihat, aku mempercepat langkahku dan membuka pintu panti. Para penghuni panti yang sedang berada di ruang tengah terkejut melihatku.

“Ibu di mana?” tanyaku serak.

“Ibu ada di kamar Sandi” jawab Nina, salah satu penghuni panti.

Aku berlari menuju kamar Sandi, dan mendapatkan Ibu Fatimah disana. Beliau sedang menggendong Sandi yang tampak lemah sambil mengelus kepalanya. Ibu Fatimah tersadar akan kehadiranku dan tampak terkejut. Aku memandang Ibu Fatimah penuh kekecewaan dan kekesalan.

“Sarah…?”

“Kenapa Ibu tidak datang?”

Ibu Fatimah terdiam, raut wajahnya terlihat sedih.

“Kenapa Ibu tidak menyusulku?”

“Maafkan Ibu, Nak. Tapi…”

“Ibu tahu kan hari ini adalah hari yang berharga untukku? Kenapa Ibu tidak mendampingiku?” aku meninggikan nada suaraku dan terus menangis.

“Dengarkan Ibu dulu, Nak. Ibu tidak bisa mendampingimu karena Sandi sedang sakit. Dia masih balita, Ibu tidak bisa meninggalkannya sendirian. Suhu tubuhnya panas sekali” jawab Ibu Fatimah.

“Kenapa Ibu tidak bisa membagi waktu Ibu untukku sebentar saja? Andaikan aku punya Ibu kandung yang bisa memberi perhatian lebih kepadaku!” sahutku sedikit keras lalu berlari menuju kamarku. Aku benar-benar kecewa, aku hanya ingin didampingi, seperti teman-temanku yang lain.

Cukup lama aku berada di dalam kamar sampai akhirnya kudengar pintu kamarku terbuka. Ibu Fatimah masuk dan menghampiriku yang sedang duduk di ranjang.

“Ibu minta maaf karena tidak datang mendampingimu. Ibu tahu bagaimana rasanya menjadi dirimu. Maafkan Ibu karena sudah menghancurkan hari terbaikmu. Maaf, bukannya Ibu tidak membagi waktu untukmu, tapi mereka juga tanggung jawab Ibu. Ibu tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja disaat mereka membutuhkan Ibu. Itu bukan berarti Ibu tidak menyayangimu. Maaf, mungkin peran Ibu tidak seperti seorang Ibu yang sebenarnya. Yang ada di sampingmu setiap kali kau butuh. Ibu hanya mencoba menjadi yang terbaik untuk kalian, Ibu harap kau mengerti” ujar Ibu Fatimah panjang lebar.

Kata-kata barusan seakan-akan memukul hatiku. Aku sadar ternyata aku egois. Aku hanya memikirkan diriku sendiri tanpa tahu betapa sulitnya Ibu Fatimah merawat kami. Aku langsung memeluk Ibu Fatimah dan menumpahkan semua rasa gundahku disana. Seperti biasa, Ibu Fatimah mengusap punggungku dan membuatku nyaman.

“Tadi ada orangtua temanmu yang menelepon ke panti, Ibu dengar kau mendapat nilai tertinggi se-Kabupaten? Selamat ya Sarah, Ibu sangat bangga padamu. Tapi ingat, jangan pernah puas dengan apa yang sudah kau dapatkan” kata Ibu Fatimah.

“Iya Ibu, maafkan aku telah bersikap egois dan membentak Ibu tadi. Aku tahu aku masih belum bisa mengendalikan emosiku. Aku sangat bersyukur memilikimu, Ibu” jawabku sambil terisak.

Ibu Fatimah tersenyum dan mengusap airmataku, aku benar-benar menyesal telah melakukan hal bodoh tadi. Mungkin Ibu Fatimah memang bukan Ibu biologis-ku, tetapi aku benar-benar menyayanginya seperti Ibuku sendiri. Karena beliau orangtua satu-satunya yang kupunya.

Terima kasih karena sudah mendidikku dengan sabar hingga aku menjadi seseorang. Aku sangat menyayangimu, Ibu. Mungkin aku memang ditakdirkan untuk tidak mengetahui siapa Ibu kandungku, tapi aku tidak sendiri, aku masih memilikimu, Ibu Fatimah.

(Cerpen ini berhasil memenangkan juara pertama dalam kompetisi menulis "Dari Bekasi Untuk Ibu" yang diadakan oleh KCB)

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar