Perjalanan Mimpi

By Laili Muttamimah - October 26, 2013

Daydreaming. Melamun. Mungkin saja satu hal kecil yang seringkali dianggap sepele untuk sebagian orang, saya pun pernah begitu. Tapi akhir-akhir ini, saya baru menyadari makna dari sebuah lamunan. Siapa sangka? Lamunan itu membuat saya berjalan semakin jauh, menaiki anak tangga semakin tinggi, hingga nyaris mencapai mimpi.

Baiklah, awalnya saya tidak menganggap hal ini sebuah mimpi, tapi hal inilah yang seketika muncul dalam diri saya, seolah mendesak masuk dalam benak hingga akhirnya saya ingin mewujudkannya.

Menjadi seorang penulis.

Ya, kedengarannya memang muluk sekali. Awalnya saya tidak pernah berpikir akan menjadi seorang penulis, yang saya tahu, saya menyukainya. Berkhayal, berfantasi, bercerita, merangkai kata, hingga menyatukannya, saya pikir itu adalah hal yang sangat sederhana.  

Tentang menulis, syaa memang mulai menulis sejak duduk di kelas dua SD. Berawal dari diari. Saya masih menyimpan diari itu dan belum lama ini saya baca kembali, rasanya awkward luar biasa. Tapi dari situlah, tanpa sadar saya menuangkan seluruh pikiran dan khayalan yang terlintas di benak dalam sebuah tulisan. Di kelas tiga SD, ayah mulai mengijinkan saya untuk menggunakan komputer -yang saat itu masih sangat modern bagi saya-tentu adalah kesempatan emas, meski saya hanya paham menggunakan Ms.Word dan Paint. Saya menulis banyak hal disana, apa pun, yang saya alami. Layaknya laman Ms.Word adalah sebuah diari bagi saya. Dengan terbata-bata, saya menghafal tiap barisan keyboard untuk melancarkan jemari saya bermain di atasnya.

Semakin lama, saya mulai menulis tentang hal yang lain. Saya membuat cerita yang memang masih sangat sederhana. Hanya terdiri dari satu paragraf dan saya beri font warna-warni agar menarik. Sejak saat itu, saya mengenal apa itu cerpen. Saya selalu menanti saat-saat ayah mengajak saya ke toko buku untuk memborong banyak kumpulan cerpen dan antologi. Jujur, saya tidak terlalu tertarik dengan buku dongeng. Namun dengan fiksi, saya begitu menggilainya. 

A good writer begins from a good reader.

Saya pikir pepatah itu benar. 

Ketika kita telah membaca banyak buku, meresapinya, mengambil maknanya, belajar pengolahan kata dan pemakaian bahasanya, kita seperti mananamkan modal dalam diri kita untuk membuat suatu cerita. Setelah saya pikir modal bacaan saya sudah 'lumayan', saya mulai menulis cerpen lebih banyak lagi. Sehari bisa dua cerpen yang saya buat. Saya print semua cerpen itu dan dijilid. Dengan polosnya, cerpen itu saya bawa ke sekolah untuk ditunjukkan kepada teman-teman.

Saat itu, saya pikir cerpen-cerpen itu akan diabaikan, mungkin tidak ada yang mau membacanya, tapi ternyata... teman-teman justru berebut untuk meminjamnya. Saat itu saya mulai membuka mata, bahwa saya benar-benar menemukannya. Menemukan hal yang saya suka dan juga disukai oleh orang lain.
Saya pun kembali menulis, karena dorongan kuat dalam hati saya. Saya membuat lebih banyak cerpen hingga beberapa seri. 

Rasanya begitu puas melihat orang lain menikmati karya kita, hingga mengukir tawa dan senyuman karenanya.

Hal itu adalah satu kepuasan sendiri untuk saya. Sejak itu, fiksi adalah bagian dari hidup saya. 

Beranjak SMP, saya mulai mengenal yang namanya teenlitKali ini, makanan saya bukan kumpulan cerpen anak lagi, melainkan novel bertema remaja itu. Teenlit pertama yang saya baca berjudul A Little White Lie. Saya begitu menikmatinya, yang mana penulis membuat alur secara mengalir hingga saya selalu menyempatkan diri untuk membuka lembar hingga halaman terakhir. Saya membaca dan membayangkan, seakan setiap adegan yang tergambar membuat saya melihat langsung tokoh-tokoh di dalamnya. Saya mulai membaca novel lebih banyak lagi dan menikmati gejolak menyenangkan dalam diri saya.

Tapi ketika SMA, saya merasakan hal yang lain. Saat membaca novel, entah kenapa saya ingin sekali menciptakan cerita sendiri. Saya ingin membuat alur, tokoh, setting dan seluruh nilai dalam cerita itu dengan cara saya sendiri. Hingga akhirnya terbersit dalam pikiran saya, saya ingin menulis novel.

Saya mulai menulis, apa pun, sesuai yang saya inginkan dan bayangkan. Sayamulai membuat alur cerita secara spontan tanpa memikirkan bahasa yang saya gunakan. Namun karena saya belum bisa mengatur waktu dengan baik, mungkin juga karena pikiran saya yang buntu dan rasa malas-yang seperti iblis-sering kali datang, saya tak lagi melanjutkan draft novel itu.

Sekitar empat draft novel tersimpan dalam dokumen saya dengan alur yang menggantung dan belum selesai. Saya sadar bahwa sebenarnya satu hal yang berpengaruh dalam menulis adalah mood. Tanpa mood yang besar, kita tidak akan bisa menciptakan cerita yang hebat. Terkadang saya merasa menggebu-gebu atau terkadang malah sangat layu. Baiklah, saya masih labil memang.

Sampai akhirnya, saya mulai menantang diri sendiri untuk mengikuti berbagai lomba cerpen. Saya kirimkan karya itu, lalu melupakannya begitu saja. Saya tidak pernah memikirkan hasil yang akan saya dapatkan karena saya menulis untuk memenuhi kepuasan diri.

Kekalahan, bukan lima atau enam kali saya alami. Begitu juga kemenangan. Ketika saya mencapai titik bahagia itu, rasa puas pun menyeruak namun tidak melebihi rasa tak sabar saya untuk ingin kembali membuat karya yang baru. Bukan hadiah yang saya harapkan, bukan gelar yang saya inginkan, tapi bagaimana cerita yang saya buat dapat dinikmati dan disukai. Saya mengikuti lomba, semata-mata untuk melatih kemampuan. Mendapat opini dan saran, lalu memperbaikinya. 

Menyerah, sering.
Putus asa, tak jarang.
Namun saya selalu berusaha untuk mencoba lagi, berkat dukungan dari orang-orang di dekat saya.

Saya sering kali melamunkan jalan cerita yang akan kubuat. Bila sedang mengendarai motor dari sekolah sampai rumah, ide itu selalu muncul bersama lamunan saya. Sebelum tidur, alur cerita itu tergambar layaknya potongan-potongan film. Tiap kali teman-teman saya bercerita, kisah mereka saya bayangkan seperti kejadian di dalam novel.

Semuanya hanya berawal dari situ.
Khayalan, lamunan, bayangan.
Imajinasi.

Sampai akhirnya...

Novel saya menjadi juara kedua di salah satu penerbit tanah air.

Saya menangis. Jelas. Air mata bahagia itu jatuh di kelas setelah saya mendapat telepon dari penerbit yang memberi tahu bahwa naskah saya menang. Dari sana, saya merasa telah menemukan sosok nyata dalam diri saya. Kini saya melangkah menaiki anak tangga yang sangat panjang menuju mimpi saya. Bukan berarti mimpi saya telah tercapai, saya masih butuh banyak belajar dan masukan. Saya belum menguasai penggunaan bahasa puitis dan litereter, sampai penokohan dan konflik batin yang baik. Intinya, saya akan terus belajar sambil perlahan menaiki anak tangga itu. Saya tidak ingin berhenti, yang saya butuhkan hanya referensi dan belajar lagi.

Banyak orang bisa menulis, banyak orang bisa merangkai kata, banyak orang bisa mengkhayal dan melamun, tapi hanya sebagian orang yang bisa menyatukannya dalam sebuah cerita.
  
Bakat adalah satu hal yang melekat secara natural dalam dirimu. Kamu hanya perlu merenung dan mengenali dirimu secara lebih dalam. Seperti pesan yang pernah disampaikan ayah kepada saya, kita nggak perlu terpaku oleh perkataan orang lain, karena penonton memang selalu lebih 'hebat' daripada pemain.


  • Share:

You Might Also Like

1 komentar

  1. good job leli ,,,,
    duuhhh senengnya aku punya temen penulis kayak leli :)
    jadi semangat nih le

    ReplyDelete