Night in Manchester: Gav's Story

By Laili Muttamimah - August 21, 2014

Credit: Jack Finnigan on Unsplash

Rasa sakit itu datang lagi. Seakan menyergapku di tengah kesepian yang menemaniku belakangan ini. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menikmati rasa sakit itu. Sampai saat ini, aku masih belum siap menatap ke depan untuk melihat kenyataan. Aku masih ingin terus menoleh ke belakang, memandangi bayang-bayang indahku bersamanya. Ketika kami memulai perkenalan dengan malu-malu, ketika aku menyatakan perasaanku, ketika kami mengukir banyak cerita, ketika kami bertengkar sampai akhirnya... berpisah. Sulit dipercaya, sampai sekarang aku masih menganggap dia ada di dekatku. Aku merasa masih memilikinya dan menjadi miliknya.

“Sudah siap, Gav?” Suara Papa menyadarkan lamunanku. Aku mengerjapkan mata lalu mengangguk pelan.

“Pergilah sekarang, pesawatnya take off sebentar lagi,” ujar Mama.

Lagi-lagi aku mengangguk lalu mempererat genggamanku pada koper yang kubawa. Mama langsung menarikku ke dalam pelukannya, aku merasakan beliau menangis di bahuku sambil berkata, “Jaga diri baik-baik, ya, selalu kabarin Mama dan Papa.  Kami selalu menunggumu pulang.

“Iya, Ma.” Aku mendapati suaraku serak dan mataku memanas. Bertahanlah, aku sudah berjanji akan meninggalkan Indonesia tanpa air mata.

Ketika Mama melepaskan pelukannya, kini gantian Papa yang memelukku. Beliau menitipkan banyak pesan padaku dan aku mendengar suaranya bergetar. Aku tahu Papa pun sedih, tapi beliau tidak ingin melepasku dengan air mata. Aku tahu Papa menahan tangis agar aku lebih kuat, walaupun raut wajahnya menggambarkan kalau beliau tidak baik-baik saja. Kalau Mama ingin melepasku sebagai anak sematawayang, maka Papa ingin melepasku sebagai seorang laki-laki. Ya Tuhan, aku pasti akan sangat merindukan orangtuaku.

“Jangan lupa hubungi kami ketika kamu sampai.” Itulah pesan terakhir yang diucapkan Papa padaku.

Aku tersenyum. “Iya, Pa."

Aku menarik koper dan berjalan menjauh dari orangtuaku. Kulihat Papa merangkul Mama, lalu melambaikan tangan ke arahku. Tiba-tiba saja langkahku terasa berat. Ada satu perasaan yang seketika membuncah dalam dadaku. Aku menoleh ke belakang, mendapati Papa dan Mama menatapku penuh tanya. Lalu aku mengedarkan pandangan, berusaha mencari sosok itu. Apakah dia akan datang? Aku tidak munafik, sejak tadi aku memang menunggunya.

Aku menghela napas. Sudahlah, ada baiknya aku tidak perlu bertemu dengannya di saat-saat terakhirku meninggalkan Indonesia. Aku tidak ingin melihat wajah sedih itu lagi, aku tidak ingin mendengar suara paraunya lagi, dan aku tidak ingin mengucapkan selamat tinggal padanya. Akan lebih baik kalau aku tidak pernah bertemu dengannya lagi.

Maka aku melangkah dengan mantap menuju pesawatku. Aku mulai merasa siap, sampai akhirnya keraguan kembali terbit dalam hatiku.

Aku kembali menoleh.

Dan orang itu, benar-benar tidak datang.
***
Kurang lebih 14 jam yang lalu, aku mendengar kebisingan yang sama. Deru pesawat mendarat, suara roda koper menggilas lantai, orang yang berbincang-bincang, sampai panggilan keberangkatan. Kupasang headphone abu-abuku, menggantikan kebisingan itu dengan alunan lagu. Kutelusuri bandara sambil menggenggam secangkir kopi dingin dalam wadah styrofoam yang terasa hambar. Sepertinya, ini kopi paling buruk yang pernah kukecap. Atau karena suasana hatiku yang membuatnya terasa buruk?

Aku tiba di Manchester International Airport dengan perasaan kacau. Setengah sadar, aku masih tidak percaya bahwa aku berdiri di sini. Di tempat impianku. Tempatku memupuk banyak harapan selama beberapa tahun ke depan. Aku merasa seperti mayat hidup, berjalan gontai sambil menarik koper dengan pandangan kosong. Entah sudah berapa kali aku meminta maaf karena koperku menyenggol koper penumpang lain atau dianggap menghalangi jalan oleh mereka yang sedang terburu-buru. 

Aku tidak percaya, kesan pertamaku tiba di Manchester harus seburuk ini. Aku tidak peduli bagaimana kerennya bandara ini dan interiornya yang memanjakan mata. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah ini. Berkeliling kota atau melihat-lihat bangunan universitas? Aku sama sekali belum memikirkannya.

Hanya satu hal yang terlintas di benakku, aku harus mengusir bayangan sosok itu. Aku benar-benar tidak boleh mengingatnya lagi. Tujuanku berada di tempat ini bukanlah untuk meratapi masa laluku yang menyedihkan. Aku harus membangun kembali mimpi-mimpiku, menutupi kegundahan yang kini amat menyiksa, dan melupakan semua kesedihan. Akan sangat payah jika aku pergi ribuan mil jauhnya tetapi perasaan itu masih saja bersarang dalam hatiku.

Aku menarik napas lalu menghembuskannya kuat-kuat. Kuangkat wajahku, mendapati matahari bersinar cukup terik di luar bandara. Awan-awan putih berarak beriringan, seakan tidak ingin berpisah satu sama lain. Angin musim panas bertiup pelan, seolah menyambutku dengan hembusannya yang hangat. 

Terminal kedatangan luar negeri cukup ramai, aku memilih untuk menyetop taksi menuju flat baruku. Flat itu berada di Oxford Road, letaknya masih berada di jalan yang sama dengan kampusku–University of Manchester–dan bisa kutempuh dengan jalan kaki bila pergi kuliah.

Di dalam taksi, aku lebih memilih untuk diam menikmati pemandangan di luar jendela. Suatu pemandangan asing yang biasanya hanya kulihat di internet atau televisi, kini tampak nyata di depan mataku. Entah kenapa, aku sangat menyukai bangunan-bangunan klasik khas Inggris. Bangunan yang didominasi oleh bebatuan warna merah bata dan krem bergaya Victoria dengan pilar-pilar yang kokoh. Walaupun Inggris telah menjadi negara modern, namun model bangunannya membuatku merasa kembali pada abad 19.

Taksi yang kutumpangi tiba di depan sebuah bangunan flat empat lantai berwarna merah bata. Flat itu cukup bagus dengan balkon-balkon yang menghadap ke jalan raya karena letaknya persis di pinggir jalan. Di samping flat, terdapat deretan kedai junkfood, sedangkan di seberangnya, berdiri barisan flat mahasiswa yang lain. Lokasi yang lumayan strategis, menurutku.

Aku mengangkut koper dari bagasi lalu membayar taksi. Dengan kaki yang lelah, aku pun melangkah menuju rumah baruku. Kamarku ada di lantai tiga dan sayangnya bangunan ini tidak memiliki lift. Aku memaksakan kakiku yang pegal untuk naik sambil mengangkat koper 28 inch-ku yang berat.

Ketika pintu flatku terbuka, aku langsung masuk dan menjatuhkan diri di sofa berwarna coklat tua di ruang duduk. Rasanya aku ingin cepat-cepat beristirahat. 14 jam dalam pesawat benar-benar menyiksaku. Bohong saja kalau menempuh perjalanan selama itu membuat badanku tidak remuk. Pinggang dan punggungku terasa kaku, sedangkan kaki dan tanganku terasa lemas. Yang kuinginkan saat ini hanya tidur atau berendam air hangat. Terlebih lagi, perutku lapar. Sejak tadi perutku meronta-ronta minta diisi. Aku belum makan sejak turun dari pesawat, hanya secangkir kopi hambar yang menemaniku. Aku pun tidak membawa makanan apapun selain sambal dan bawang goreng buatan Mama.

Pada akhirnya, aku mengabaikan rasa lapar yang menyerang dan memilih untuk tidur. Setidaknya setelah tubuhku merasa lebih baik, aku bisa lebih mudah mencari makan di luar. Tidak seperti biasanya, aku mendengkur saat tidur. Aku tak pernah merasa selelah ini sebelumnya.
***
Hari berubah gelap ketika aku membuka mata. Aku merasakan sakit luar biasa di punggungku. Susah payah aku menegakkan tubuh dan mendapati flatku gelap. Aku hendak beranjak untuk menekan tombol lampu, ketika sebuah pemandangan membuat langkahku terhenti. Aku berjalan menuju balkon dan mendapati pemandangan kota Manchester di malam hari yang sangat menakjubkan. Lampu-lampu dan reklame di jalan mulai menyala. Kerlap-kerlipnya seakan mewarnai pekatnya langit malam. Ini bukan pertama kalinya bagiku melihat pemandangan serupa, hanya saja rasanya berbeda jika melihatnya di negara orang.

Aku berpikir untuk menghubungi orangtuaku di rumah, namun aku lupa bahwa kartu telepon Indonesia-ku sudah tidak berlaku lagi di sini. Angin berhembus pelan menggelitik kulitku, seketika aku menggigil dan kembali masuk ke dalam flat. Meski sedang musim panas, tetap saja malam di Inggris terasa dingin. Tiba-tiba, aku jadi malas mandi. Aku menimbang-nimbang akan pergi ke mana setelah ini. Yang jelas perutku lapar, mungkin aku harus mencoba beberapa restoran di dekat sini. Siapa tahu aku bisa menemukan resto yang menjual nasi goreng.

Dengan jaket seadanya, aku keluar dari flat dan berjalan kaki seputar Oxford Road. Suasana ramai, tawa hangat menguar dari beberapa kedai makanan. Kebanyakan yang tersedia adalah junkfood, aku sedang malas makan hamburger dan kentang goreng. Aku membiarkan kakiku melangkah, melewati jejeran pertokoan, dan lalu-lalang para pejalan kaki. Aku mendapati diriku berjalan cukup jauh sampai akhirnya aku tiba di depan sebuah kanopi putih bertuliskan “The Temple”. Kanopi itu memanjang dan memayungi tangga bawah tanah yang mengarah ke suatu tempat. 

Penasaran, aku pun memberanikan diri menuruni anak tangga dan masuk ke tempat itu. Ah, ternyata tempat itu sebuah pub! Suara dentuman lagu terdengar sangat keras, lampu diskotek mulai berputar ke sana ke mari. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan, tapi kakiku yang lelah seketika menjadi lebih kuat untuk melangkah masuk ke tempat itu. Demi Tuhan, ini pertama kalinya bagiku masuk ke pub. Aku tidak pernah masuk ke pub mana pun selama di Jakarta, tapi kini, lepas dari pengawasan orangtuaku, aku berada di surganya anak-anak muda Inggris.

Aku tahu, ini bukanlah diriku yang sebenarnya. Aku selalu disiplin pada peraturan yang kubuat sendiri, orangtuaku, dan lingkungan sekitarku. Namun kini, kekacauan dalam benakku membuatku berani memutuskan untuk memasuki pub––tempat yang selama ini kuklaim berisi anak-anak nakal dan payah. Well, aku memang sedang payah saat ini. Mungkin tempat ini memang cocok untukku.

Dengan gaya cool, aku berjalan melewati orang-orang yang tengah duduk sambil tertawa keras-keras. Aku yakin, sebagian besar otak mereka sudah terkontaminasi oleh alkohol. Aku mendekati seorang bartender berkepala botak dengan kumis dan janggut tebal yang sedang asyik menuangkan minuman dari gelas ke gelas. Aku menengadah, bingung harus memesan apa. Tidak ada daftar menu yang tertera di dinding, sepertinya semua pengunjung sudah hapal betul dengan apa yang akan mereka pesan. Perutku semakin keroncongan, sambil berdehem, aku pun bertanya pada bartender itu.

“Permisi, bolehkah aku meminta daftar menu?” tanyaku dengan aksen Inggris keindonesiaan.

Sang bartender memicingkan matanya padaku. “Kau tahu apa tujuanmu ke sini?”

Aku mengangkat bahu. “Tidak... yang jelas, aku lapar.”

Kini, sang bartender mengangkat sebelah alisnya lalu tertawa meledekku. “Kurasa McDonald’s adalah tempat yang kaucari. Kita tidak menjual makanan, bung. Hanya ada minuman di sini.”

Aku langsung mengasihani perutku yang lapar. Melihatku diam, bartender itu menggelengkan kepala lalu sibuk melanjutkan pekerjaannya. Aku menatap sekelilingku, orang-orang itu sibuk meneguk botol bir mereka. Tak ada kripik kentang, apalagi nasi goreng seperti yang kuharapkan. Namun aku sudah terlanjur tiba di tempat ini, canggung rasanya jika aku keluar tanpa memesan apa pun. Paling tidak, terlihat sedikit mabuk seperti orang-orang.

Seorang lelaki di sampingku berteriak, “Fred, aku minta satu botol Lager lagi!”

Lelaki itu tampaknya mabuk, karena berdirinya mulai tak seimbang. Ia sedikit melirikku, cepat-cepat aku memalingkan wajah. Bartender botak yang dipanggil ‘Fred’ datang dengan sebuah botol berwarna coklat gelap dan memberikannya pada lelaki itu.

“Ini sudah botol keempat. Jangan terlalu mabuk, Ronald! Oh... dan jangan muntahi lantai pub lagi!”

Lelaki bernama Ronald itu hanya tertawa lalu berbalik pergi. Fred yang masih berdiri di hadapanku kini mengalihkan pandangannya, ia menatapku seolah berkata “Kau sudah tahu akan memesan apa? Jangan pergi tanpa meninggalkan pound di sini!”.

“Satu botol Lager. Ya... aku... mau satu botol Lager,” pintaku sedikit gugup.

Fred memberikan tatapan yang meremehkanku, namun aku tak peduli. Tak lama kemudian, ia membuka tutup botol dan meletakkannya di depanku dengan tegas. Aku langsung meraih botol itu dan membiarkan Fred berlalu.

Bau minuman itu menyesakkan, seperti bensin. Aku tidak yakin akan meminumnya. Ragu-ragu, kudekatkan botol itu ke mulutku, lalu aromanya membuatku menolak. Kedua kalinya, aku lebih nekad dan langsung meneguknya banyak-banyak. Aku ingin muntah. Bukan karena minuman ini sudah membuatku mabuk, tapi rasa pahitnya membuatku mual. Aku heran mengapa banyak orang kecanduan minum minuman yang rasanya seperti bensin. Itu bukan berarti aku pernah minum bensin, tapi kubayangkan mungkin rasanya tidak jauh berbeda.

Aku langsung meletakkan botol itu dan megap-megap sendiri. Aku menyandarkan tubuh di meja bar, pandanganku tertuju pada dua orang yang sedang berbicara serius tak jauh di depanku. Sepertinya mereka sepasang kekasih, seorang laki-laki jangkung berambut kuning jagung dan gadis berambut hitam sebahu dengan syal merah melilit di lehernya. Mereka berdua terlihat sedang bertengkar, karena si laki-laki seolah menjelaskan sesuatu kepada si gadis sambil menggebu-gebu, namun gadis itu tampaknya sudah muak dan tak lagi mau mendengarkan. Tiba-tiba, aku jadi teringat dengan pertengkaran yang terjadi antara aku dan orang itu sebelum aku tiba di Manchester. Seketika, rasa sakit itu kembali bergejolak.

Pertengkaran dua orang di depanku masih berlanjut, tampaknya makin panas. Aku terus memperhatikan mereka sampai si gadis menyiram minuman di tangannya ke wajah laki-laki itu dan mengumpat,

“Dasar otak udang!”

Aku terkejut mendengar umpatan dalam bahasa Indonesia itu. Gadis berambut hitam itu pun pergi meninggalkan pacarnya yang kini juga mengumpat dengan bahasa yang tidak kumengerti. Perlahan, gadis itu menghilang ditelan kerumunan. Entah mengapa, aku merasa penasaran dengannya. Aku hendak pergi mengejar gadis itu, namun seseorang menahan lenganku. Itu Fred.

“Tinggalkan 3 pound di sini, baru kau boleh pergi.”

Dengan kesal, kuletakkan uang itu di depannya. 3 pound hanya untuk minuman rasa bensin? Aku tidak mau minum Lager lagi. Cepat-cepat, aku berjalan melewati kerumunan dan berhasil keluar dari The Temple.

Aku membuang pandangan ke segala penjuru, berharap akan melihat gadis berambut hitam itu. Sebenarnya, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan dengan gadis itu, aku hanya ingin membayar rasa penasaranku. Kutelusuri Oxford Road, menangkap setiap pejalan kaki dengan syal merah di lehernya. Tidak ketemu. Kutengok setiap kedai-kedai makanan dan mobil-mobil yang lewat, namun tak kulihat sosoknya. Mungkin saja ia sudah pergi dengan taksi entah ke mana, sepertinya mustahil aku menemukannya. Aku berani bersumpah, Manchester membuat otakku tidak waras sejak pertama kali menginjakkan kaki di kota ini. 

Tapi, ada apa denganku? Kenapa rasanya aku ingin sekali bertemu dengan gadis bersyal merah itu?

  • Share:

You Might Also Like

4 komentar

  1. wiss, prekuelnya inseparable nih

    ReplyDelete
  2. Shock... pas iseng buka blognya Kak Laili dan nemu ceritanya Gav. x) Jujur, aku justru nangis kejer pas Gav nanyain Calya, inget apa enggak itu hari apa. Dan... hhh... nyeseknya dapet. :")

    Selama ini, aku selalu berandai-andai, kalo aja Gav nagih janjinya buat putus sama Calya delapan tahun lagi demi ganti status ke level yang lebih tinggi, apa yang bakal terjadi? To be honest, aku emang shipper-nya Gav sama Calya garis keras. Hehehe... :3

    Semangat nulis ya, Kak... ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. :') aku juga sempat berandai-andai, gimana kalau saat itu Calya tetap sama Gav atau kembali padanya setelah Tristan pergi? Seandainya itu terjadi, aku tahu luka Calya akan sembuh perlahan-lahan, tapi dia nggak akan menemukan kebahagiaannya kembali. Jadi aku rasa, mungkin itu ending yang terbaik untuk mereka. Sampai saat ini, aku juga suka membayangkan gimana kehidupan mereka selanjutnya, setelah halaman 284 itu selesai. :3

      Delete
    2. Berandai-andai itu emang asyik, ya. Sebagai penggemar pasangan Gav-Calya sih, aku rasa nggak bakal ada kesedihan lagi kalo mereka balikan. Tapi, ini kan cerita Kakak, dan tokoh utamanya Calya. Jadi semua keputusan tetep ada di tangan Kakak sama Calya. Ending-nya menurutku udah bagus kok, nggak gantung-gantung banget. Walaupun ya... sering juga mikir kelanjutan kisah mereka. x]

      Delete