Failure, Just a Common Thing

By Laili Muttamimah - November 27, 2014

“Yakinlah ada sesuatu yang menantimu selepas banyak kesabaran (yang kau jalani), yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa pedihnya rasa sakit.” – Imam Ali Ibn Abi Thalib. 

Saya selalu percaya dengan kata-kata di atas. Kata-kata yang menjadi titik acuan saya untuk kembali berdiri dari sekian banyak kegagalan yang saya alami. Saya pun percaya dengan sebuah keindahan yang akan datang pada waktunya ketika kita benar-benar siap menerimanya. Nggak bisa dipungkiri, kegagalan yang saya alami tahun ini cukup membuat saya mengerti bahwa hidup itu seperti apa. Hidup nggak selalu berjalan seperti rumus aksi-reaksi. Hidup nggak selalu sesuai dengan ekspektasi. Akan tetapi, kegagalan dalam hidup lah yang mampu membuat kita berinteropeksi. Saya percaya bahwa Tuhan nggak akan pernah menyesatkan kita. Saya percaya bahwa di balik kesedihan yang saya rasakan, Tuhan sudah menyiapkan kebahagiaan yang tak terhingga. Dan yang perlu saya lakukan hanyalah menunggu dan mempersiapkan diri, untuk menjadi pribadi yang lebih baik seiring berjalannya waktu.

74 hari berlalu. 74 hari saya menjalani peran baru. 74 hari saya mengenal banyak hal. 74 hari saya menjalani hari-hari sebagai mahasiswi. 74 hari saya menekuni bidang Ilmu Komunikasi. Il-Kom adalah suatu bidang yang seumur hidup nggak pernah ada di dalam list mimpi saya atau bahkan sebagai jurusan yang ingin saya pilih. Akan tetapi, takdir telah menunjukkan semuanya. Gagal di SNMPTN, SBMPTN, UMB, dan Ujian Mandiri, membuat hati saya kebal merasakan sakit. Seumur hidup, saya nggak pernah menyangka bahwa perjalanan saya akan berakhir di sebuah universitas swasta dengan jurusan ilmu sosial. Tiga tahun lalu saya menekuni IPA, sedangkan empat tahun yang akan datang saya harus menekuni IPS. Saya nggak kecewa, kenapa? Justru saya senang karena saya bisa mempelajari bidang ilmu yang luas. Postingan ini dibuat bukan semata-mata membela diri saya yang gagal masuk PTN. I just want to say, there are so many ways to be success. All you have to do is accept it.

Seorang trainer di seminar kampus saya pernah berkata, Kesuksesan nggak dilihat dari nama sekolah atau instansi-mu, juga nggak dilihat dari apa profesimu. Contohnya, tukang sate pun bisa dikatakan sukses, bukan? Tukang sate yang mungkin pendidikannya tidak lebih dari SMA, tapi memiliki banyak cabang di setiap daerah. See?”

Saya belajar banyak hal di pendidikan yang kini saya jalani. Luka itu pasti ada, kekecewaan dan kesedihan yang saya rasakan karena kegagalan nggak pernah bisa dipungkiri. Hal paling buruk yang pernah saya lakukan adalah menyalahkan keadaan atas kegagalan itu. Akan tetapi, saya sadar, yang perlu saya lakukan hanyalah bersabar. Dan kini, perlahan-lahan takdir telah membawa saya ke sebuah tempat di mana saya harus berada.

Di Ilmu Komunikasi, saya belajar banyak tentang aspek sosial, belajar untuk peka dengan keadaan, gejala-gejala sosial, dan sifat manusia mencakup kebudayaan. Tanpa disadari, saya merasa telah mengambil pilihan yang tepat. Saya menikmatinya, saya menyukai bidang ini. Apakah luka yang pernah saya rasakan dulu perlahan sembuh? Ya. Kenapa bisa sembuh? Karena saya memilih untuk menyembuhkannya, bukan membuat luka itu bertahan lama dan semakin lebar. Saya percaya bahwa setiap manusia memiliki jalan hidup masing-masing, yang akan membawa mereka pada satu kata universal; kesuksesan.

Banyak hal yang bisa membuat saya sembuh dari luka lama itu. Saya bertemu dengan banyak teman baru yang menyenangkan, senior-senior hebat dengan berbagai pengalaman mereka, juga dosen-dosen yang ramah dan terbuka pada mahasiswanya. Saya sempat berpikir bahwa hubungan dosen dan mahasiswanya akan bersifat impulsif, namun kenyataannya, saya masih bisa berinteraksi dengan para pengajar di kampus layaknya teman akrab. Merekalah yang banyak membuka mind set saya dan memotivasi bahwa satu kegagalan harus dibayar dengan ribuan kesuksesan. Satu hal lain yang sayae suka dari Ilmu Komunikasi adalah menulis. Di sini, kami diwajibkan untuk mahir menulis. Hal itu menjadi tantangan buat saya untuk terus mengembangkan hobi lebih dalam lagi. Oleh karena itu, saya berani berkata bahwa; ini dunia saya.

Percayalah bahwa nggak ada manusia yang gagal seumur hidup. Mereka yang merasa gagal hanyalah mereka yang menancapkan kata ‘gagal’ itu sendiri dalam diri mereka. Saya percaya bahwa kekecewaan itu menguatkan. Saya pun percaya bahwa kegagalan itu mendewasakan. Maka saya memilih untuk ‘mengisi’ kegagalan dengan melakukan hal-hal yang positif, ikut seminar misalnya. Satu hal lain yang harus kita percayai di balik sebuah kegagalan adalah kita menjadi tahu siapa saja orang-orang yang berdiri di garda depan untuk membuat kita kembali berdiri tegap. 

Satu faktor lain yang dapat membuat kita ‘bangkit’ adalah orangtua. Saya nggak pernah lupa betapa orangtua saya nggak berhenti menyemangati ketika saya gagal. Mereka yang terus tersenyum di depan saya seolah nggak terjadi apa-apa, namun diam-diam menangis di setiap doa mereka, membuat saya sadar betapa mereka pun merasakan rapuh seperti apa yang saya rasakan. Dulu, ayah saya selalu ingin saya kuliah di salah satu sekolah tinggi akutansi, untuk mengikuti jejaknya. Akan tetapi, meskipun kini saya nggak berhasil memenuhi harapannya, beliau tetap mendukung saya apa adanya. Begitu pun Ibu. Menjalani kehidupan kuliah di ‘rumah baru’ membuat komunikasi kami hanya bisa dilakukan via SMS atau telepon. Saya masih ingat saat Ibu bilang; kalau nanti kamu kos, Ibu nggak bisa makan bareng kamu lagi, deh. Dan saat ini saya benar-benar merindukan masa-masa bersamanya.

And then, saya juga percaya dengan salah satu perkataan teman saya, namanya Elvan Susilo. Dia teman saya dari SD, tapi kami dipertemukan kembali di tengah krisis kegagalan yang kami alami. Tanpa sengaja kami bertemu lagi di tes sekolah tinggi akutansi itu, dan duduk bersebelahan. Dia pernah berkata bahwa “failed is my habbit”, tapi saya sangat yakin bahwa hal itu nggak benar. Saya yakin dia bisa menggapai mimpi-mimpinya. And he got it. Dia berhasil lolos di universitas dambaannya. 

Dia berkata, Menurut gue, setiap orang berhak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan di waktu yang tepat, sekalipun hal itu harus tertunda. Tapi, cuma Tuhan-lah yang berhak menunda apa yang seharusnya kita dapatkan, bukan orang lain.”

Maka, di akhir postingan ini, saya tersenyum. Menyadari betapa beruntungnya saya dikelilingi oleh orang-orang hebat yang membuat saya mengerti tentang pemaknaan hidup. Melihat bagaimana bersyukur adalah hal terbaik yang dapat membuat kita berterimakasih, bahwa segala sesuatu telah diatur sedemikian rupa dan kita harus menerimanya sebagai sebuah pelajaran. Karena sukses atau tidaknya seseorang bukan dilihat dari mana mereka berasal, tapi dari bagaimana mereka dapat mengembangkan intelektualitas dan memanfaatkannya dalam hidup.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar