Sepatu Merah

By Laili Muttamimah - February 18, 2015


Credit: Andreea Popa on Unsplash

Aku hanya sepasang sepatu merah, datar di bagian bawah, dengan pita kecil di sisi luarku. Aku hanya sepasang sepatu merah, yang lima tahun lalu dibelinya di sebuah butik dari uang penghasilan pertamanya.

Mungkin bagimu, aku tidak menarik. Aku tidak lebih dari sepasang sepatu yang kini teronggok di pojok lemari dengan debu mengepul dan sarang laba-laba menyelimutiku. Aku tak lagi terpapar sinar mentari maupun terciprat genangan air seperti dahulu. Aku hanya membisu di tempatku, menunggunya untuk kembali menyentuhku dan pergi bersamaku.

Namun aku tahu, harapku tak lebih dari sekadar kemustahilan.

Tahun demi tahun berlalu. Dulu, ia berkata bahwa aku adalah favoritnya. Ia memamerkanku di depan teman-temannya dengan nada bangga karena bisa memilikiku dengan uang hasil jerih payahnya. Ia mengajakku ke mana pun ia pergi. Aku menyusuri jalan bersamanya. Berlari di dalam setiap langkahnya. Kuterjang sengatan matahari meski kutahu itu akan membuatku tak cantik lagi. Kuarungi deras hujan meski kutahu itu akan membuatku tak sempurna lagi. Namun, aku tidak peduli.

Bagiku, hari-hari bersamanya sangatlah berarti.

Aku masih ingat ketika ia membawaku kencan bersama laki-laki yang sejak lama ia idamkan. Ia memercayakanku untuk menyempurnakan penampilannya. Kami berjalan menyusuri aspal taman yang hangat dengan langkah yang amat pelan. Aku mendengar ia dan laki-laki itu bercerita, merasakan bahagia yang ia rasakan di dalam dada. 

Tidak hanya itu. Ia mengajakku untuk bertemu dengan teman lamanya. Ia duduk di sebuah bangku kayu di kedai kopi, membiarkanku menyesap dinginnya lantai marmer yang diinjaknya. Aku mendengar mereka bernostalgia, melihat senyumnya lebar merona.

Aku mengingat hari ketika tubuhku terluka. Ia sangat panik dan segera memanggil seorang tukang sol yang lewat di depan rumahnya. Ia mengelusku dan meminta agar aku bisa diperbaiki seperti semula. Aku begitu bahagia, ia menganggapku berharga.

Kupikir, aku akan selalu bersamanya dan tidak akan ditinggalkan.

Aku tak pernah tahu bahwa waktu mampu merenggutnya perlahan-lahan dariku. Begitu juga, sesuatu yang baru.

Baru.

Aku benci mendengar kata itu.

Mungkin ia tidak tahu bagaimana resahnya diriku ketika sepatu coklat dengan hak tiga senti itu diletakkannya di sampingku. Sepatu coklat itu adalah hadiah dari tunangannya, tampak mengilap dengan kulit yang bagus, tanpa cela. Kupandang diriku sendiri. Warnaku tak lagi merah seperti pertama kali ia memilihku. Noda tanah membercak di tubuhku. Kulitku mengelupas dan tak lagi sempurna karena tambalan. Aku merasa ciut. Bahkan semesta pun tahu, sepatu coklat ini bukanlah tandinganku. 

Sejak hari itu, ia tak pernah lagi menyentuhku. Ia membiarkanku teronggok seorang diri, melihatnya berkali-kali membuka lemari, namun tidak sekali pun memilihku. Sepatu coklat itu terus dipakainya, ke mana pun, kapan pun. 

Lima tahun berlalu. Aku bukan lagi menjadi favoritnya. Ia tidak lagi mengajakku menghabiskan waktu bersama. Aku bukan lagi menjadi prioritas utama. 

Ia meninggalkanku, ketika kondisiku tak lagi baik seperti dulu. Ketika tubuhku tak lagi pas di kakinya. Ketika warnaku tak lagi indah. Aku kecewa, seolah ia lupa dengan siapa ia pernah bersama. Seolah ia tidak lagi membutuhkanku yang pernah melindunginya dari panas dingin semesta. Ia menyisihkanku begitu saja ketika aku tak lagi terlihat istimewa.

Kini, ia tampak bahagia. Kebahagiaan yang dulu selalu ia pancarkan untukku. Kebahagiaan yang bukan menjadi milikku. Ia tidak lagi membutuhkanku.

Mungkin aku hanya sepasang sepatu merah, datar di bagian bawah, dengan pita kecil di sisi luarku, yang lima tahun lalu dibelinya di sebuah butik dari uang penghasilan pertamanya.

Seiring habisnya masa, aku akan terlewatkan.

Aku hanya bisa menelan bulat-bulat kemarahan, tiada guna untuk meluapkan.

Sampai suatu hari, sepasang tamu kembali hadir di lemari. Berdiri kokoh di antara aku dan si coklat. Sebuah stilleto putih dengan hak lima senti. Sejak hari itu, aku tak lagi sendiri. Si coklat menemaniku kali ini. Ia mulai tersisih. Ia bukan lagi menjadi yang utama.

Maka, aku hanya bisa tersenyum hati. Tak ada kebersamaan yang abadi. Namun ketulusan yang pernah terjalin dan tercurahkan, selamanya tidak akan terganti.

Dan bagiku, jutaan sepatu di luar sana tidak akan pernah menandingi persahabatan dan kenangan yang terukir di antara kami. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar