Secangkir Kafein

By Laili Muttamimah - March 24, 2015

Credit: Kari Shea on Unsplash

Lagi-lagi kopi.

Bukan sepuluh atau dua puluh kali kau duduk di hadapanku dengan secangkir kafein yang mengepul di bawah wajahmu. Entah sudah berapa varian kopi yang kau kecap untuk menemani harimu. Kau tidak pernah bisa lepas dari cairan kental nan pekat itu. Bagimu, ia teman sejati. Raut wajahmu yang tersenyum di antara uap hangat sudah terekam jelas di dalam memoriku. Kau tampak begitu semringah ketika berhasil menyeruput minuman itu tanpa menyisakan satu tetes terakhir.

Kafein itu selalu berada di tengah kita. Mendengarkan ocehan-ocehan yang terlontar, tawa renyah, kekesalan, luapan amarah, hingga ungkapan kekecewaan. Kafein itu menyaksikan segala bentuk perjalanan yang telah kita lalui. Bisu, namun hadir. Tak dianggap, namun selalu ada.

Kau selalu memintaku untuk memesan kafein yang sama denganmu. Kau tahu betul aku tidak pernah mencicipi kafein mana pun di dunia ini. Aku membiarkan teh atau cokelat hangat menemaniku, bersanding dengan gelas kopimu di atas serat kasar meja kayu. Kau selalu bilang bahwa kopi itu enak. Kopi akan menyajikan berbagai sensasi rasa dengan pemaknaan berbeda bagi setiap orang. Kopi membuatmu lebih semangat, bagai sebuah alasan yang membuatmu bangun di pagi hari.

Detik demi detik berlalu. Seperempat gelas tandas. Lalu setengah. Dan setetes. Gelas itu kosong. Kafein itu telah dilahapmu. Kau merasa puas karena telah menghabiskannya. Kafein itu menyatu dalam tubuhmu. Mengalir dan melebur.

Aku tak pernah tahu jika gelas di hadapanmu menjadi gelas dengan kafein terakhir yang kau hirup hari itu. Kau minum dengan sangat lama syahdu, seolah tak ingin meninggalkan kawan yang telah lama mengisi cerita dalam hidupmu. Aku tak pernah tahu jika tetes itu akan menjadi tetes yang tak akan lagi kau kecap selanjutnya. Tetes rasa yang selamanya akan tinggal di permukaan indera pengecapmu.

Tak ada lagi kopi hangat dengan uap mengepul yang tersaji di antara kita. Tak ada lagi tawa lebar dengan lelucon konyol yang tercurah dari bibirmu. Aku merindukanmu dan segala percakapan kita yang tak pernah habis, meski kian lama kian terkikis. Aku ingin kau kembali, di hadapanku, dengan kafein yang menjejak pada bibir cangkirmu.

Lalu, untuk pertama kalinya dalam hidupku, secangkir kopi tersaji di hadapanku. Kubuang segala ragu yang membelenggu, aku hanya ingin mengenangmu. Kuhirup kafein pertamaku dan mengerjapkan mata beberapa detik setelahnya. Rasanya tidak buruk. Kuteguk kembali minuman itu, lagi, lagi, dan lagi. Astaga, aku mulai candu.

Selanjutnya, tak ada lagi teh dan cokelat dalam gelasku. Berbagai macam kafein meluncur cepat dalam kerongkonanku. Aku menemukan kehangatan yang menjalar dari kopi hitam panas yang kukecap, juga kesejukan dari kopi susu dingin di siang hari.

Kopi itu selalu ada bersamaku, menggantikan sosokmu yang tak lagi hadir di dekatku.

Kafein adalah dirimu. Membuatku ragu pada pertama kali kita bertemu. Membuatku candu untuk kembali melakukan pertemuan-pertemuan denganmu, untuk selalu bersamamu walau hanya singkat waktu. Aku mulai tergila-gila dengan kafeinmu, zat yang mampu membuatku kembali segar tiap kali mengingatmu. Kau adalah kafeinku, yang menyajikan banyak sensasi meledakkan dalam diriku. Kau adalah minuman favoritku, yang selalu kupilih meski banyak minuman lain yang lebih menggoda darimu.

Namun, seiring berjalannya waktu, aku tahu.

Semakin sering aku bersamamu, semakin sering kau menyakitiku. Semakin sering aku mengingatmu, semakin perih pula luka yang telah kau tinggalkan. Kau membawa dampak bagiku, aku memang tak bisa selamanya bergantung padamu. Panas, dingin, segar, dan nikmatnya dirimu, tak akan mampu menutupi rasa sakit yang telah terbentuk akan kehilanganmu.

Kafein memang dirimu. Menyapaku, menimbulkan hasrat, menyisakan sakit.


Pekat, namun candu. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar