Terlalu Pagi untuk Menyerah

By Laili Muttamimah - May 29, 2015


You lost yourself when you're upset.

Semua orang pasti pernah berada di posisi paling bawah dalam hidupnya. Mereka pernah melewati masa penuh dengan rasa lelah, jenuh, dan penat. Mereka selalu bertanya kapan mereka akan keluar dari masa-masa itu? Meski pada akhirnya, mereka berhasil melewatinya dan rasa penat itu seolah hanya angin lewat. Ya, semua orang pasti menunggu hasil dari apa yang telah mereka lakukan. Dalam sebuah proses pencapaian itu, mereka memiliki pandangan dan pemilihan makna tersendiri. Banyak orang berkata bahwa tidak ada proses yang tidak membuahkan hasil atau tidak ada hasil yang mengkhianati prosesnya. Akan tetapi, bukankah hal yang terberat adalah masa ketika kita berada di dalam proses itu?

Saya percaya bahwa proses adalah sesuatu yang membawa kita tumbuh. Kita melewati proses dari tengkurap, merangkak, berdiri, ditatah, belajar berjalan, jatuh sekian kali, bangkit, berjalan lagi, kemudian berlari. Sebagai manusia, kita semua pernah merasakannya. Saat usia 1 tahun, kita merasa bahwa berlari adalah sesuatu yang tidak mungkin atau bahkan tidak pernah kita pikirkan. Lalu, ketika kita berusaha melakukannya, hal itu terasa sangat sulit dan menyakitkan karena harus jatuh berkali-kali. Akan tetapi, lihat kini, ketika proses itu selesai, kita tak pernah menyangka bahwa kita bisa berlari kencang mengejar bus, yang bahkan dulu tidak pernah kita bayangkan. Bukankah itu indahnya sebuah proses? Membuat kita ingin terus berjuang sampai berdarah-darah dan ketika kita berhasil mencapai apa yang kita tuju, proses itu terasa normal dan biasa saja. 

Beri tahu saya, proses mana yang tidak menyakitkan? Proses mana yang tidak membuat kita cukup depresi antara melanjutkan atau menyerah? Terkadang, dalam setiap kegagalan yang dialami, kita seringkali menyalahkan semesta atau bahkan orang-orang di sekeliling kita. Tapi, bukankah kita adalah bagian dari semesta itu sendiri? Apa yang kita pikirkan adalah apa yang akan terjadi. Semesta selalu mendukung hasil dari pikiran kita, bukan? Ketika kita berpikir bahwa sesuatu itu sulit dan melelahkan, maka itulah yang terjadi. Namun, ketika kita berpikir sebaliknya, kita bisa menikmati hidup seolah tak pernah ada kesulitan. 

Akan tetapi, apa yang dikatakan banyak orang, tidak semudah itu untuk dilakukan, bukan?

Akhir-akhir ini, saya seringkali merasa granat di dalam diri saya akan meledak dalam hitungan detik. Saya merasa benar-benar bosan dengan kepenatan dan berharap bisa membuatnya enyah. Segala macam tugas dan pekerjaan yang harus saya lakukan seolah saling membentur dan menumpuk sehingga saya tidak tahu harus melakukan apa dan memulai dari mana. Semua orang menagih janji, deadline, dan semacamnya. Semua orang menuntut yang terbaik. Tapi apakah mereka lupa bahwa manusia hanya dilahirkan dengan satu otak, dua tangan, dan ketidaksempurnaan? Saya tahu, kita pasti ingin menyajikan yang paling sempurna dalam diri kita. Namun, ketika kita sudah berusaha dan hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, apakah kita harus menyalahkan proses yang membawa kita pada hasil itu?

Saya menganggap bahwa rasa penat dan lelah yang saya rasakan akhir-akhir ini adalah risiko dan tanggung jawab dari apa yang sudah saya pilih. Saya tahu, banyak orang merasakan hal yang lebih dari saya. Banyak orang berkata "Baru segitu sudah capek? Nggak tahu, kan, kalau tugas gue lebih banyak?". Ya, mereka mungkin saja merasakan lelah yang lebih parah. Tapi kapasitas setiap orang berbeda dan mereka tidak merasakan bagaimana berada di posisi saya, bukan? Banyak orang menyepelekan orang lain, seolah rasa lelah yang dirasakan orang lain tidak sebesar rasa lelah yang mereka rasakan. Mereka hanya tidak tahu dan tidak perlu tahu, karena ini hanya tentang diri saya. Ada orang yang memandang rasa lelah ini sebagai satu hal yang normal dan menyemangati saya untuk terus bangkit, namun ada pula yang memandang bahwa saya hanya pengecut yang suka mengeluh. 

"Lo nggak harus bangun jam 4 pagi untuk berangkat ke kampus, kan?"
"Lo nggak harus dapat tugas praktikum dan kerjain soal kalkulus yang banyak, kan?"
"Lo baru semester awal, belum tahu, kan, gimana rasanya ada di posisi gue yang tugasnya jauh lebih banyak dari lo?"

Ya, itu adalah ungkapan kelelahan dari beberapa orang yang saya temui. Saya berusaha memandang hal itu sebagai pacuan semangat, meski pada akhirnya saya kembali pada permasalahan saya sendiri. Maksudnya, semua orang punya masalah dan rasa lelahnya sendiri, apakan atas dasar itu setiap orang bisa menyepelekan rasa lelah yang dirasakan orang lain?

Satu hal yang selalu saya tanamkan dalam diri saya adalah setiap peristiwa pasti punya hikmah tersendiri. Memang, kita tidak bisa menyamakan semua orang dan tidak bisa memaksa orang lain untuk memiliki satu pemikiran yang sama dengan kita. Kita pun tidak bisa selamanya menyenangkan orang lain dan memaksa mereka untuk mengerti kita. Dari sanalah, kita bisa belajar bagaimana karakter orang-orang di sekeliling kita. Pun kita belajar bagaimana karakter diri kita dalam proses pendewasaan ini, apakah kita bisa menerimanya dengan ikhlas atau menghambatnya dengan amarah?

Ketika kita lelah, kita seolah lupa siapa diri kita sebenarnya. Seringkali saya merasa malas berbicara ketika sedang lelah dan melakukan hal yang bisa dikatakan 'konyol'. Biasanya, ketika saya bangun di pagi hari, saya berpikir ulang apa saja yang saya lakukan ketika saya lelah dan apa saja yang sudah saya lontarkan? Apakah semua itu menyakiti orang lain? Seringkali saya merasa bersalah karena pemikiran pendek yang terlintas dalam benak saya di saat lelah hingga menimbulkan salah pengertian dengan orang lain.

Akan tetapi, lelah bukanlah sebuah alasan.

Lelah bukanlah alasanmu untuk menyerah, berhenti bekerja, menyalahkan orang lain, dan marah pada dirimu sendiri.

Lelah adalah efek dari proses besar yang telah kita lakukan, yang menjadi 'bumbu' pelengkap agar kita tahu bahwa memperjuangkan sesuatu tidak semudah seperti membayangkannya.

Seorang senior saya berkata, "Kita memang hanya punya satu otak dan dua tangan. Tapi, gunakanlah kelebihan otak dan kelincahan dua tangan itu untuk mengajak orang lain dan membagi ilmu. Ketika kita merasa bahwa semua orang bergantung pada kita, itu tandanya kita spesial, dan mereka ingin kita ada."

Selalu ada cahaya di ujung terowongan panjang yang gelap, saya yakin di balik rasa lelah ini, ada hasil yang bermanfaat untuk diri saya. Hasil itu bukanlah materi, namun pengalaman karena pernah menjalaninya. Rasa kecewa menantang kita untuk terus mengokohkan hati dalam menjalani rintangan-rintangan hidup. Selama kita masih merasakan lelah, itu tandanya kita masih berjuang dalam hidup kita. Kita tidak hanya bersantai-santai untuk menerima segala nasib dalam hidup dan membiarkan diri kita terkurung dalam keputusasaan. 

Segala konflik interpersonal yang terjadi juga dapat membentuk diri kita, seperti apa pilihan yang akan kita ambil untuk menyelesaikan permasalahan itu? Umur dan jabatan bukanlah menjadi penghalang kita untuk memperjuangkan kebenaran. Semua orang bisa mengerjakan tugas, berorganisasi, dan memimpin, tapi tidak semua orang bisa memaknai dari setiap kegiatan yang mereka lakukan itu. Dan saya tidak ingin hanya menjadi orang yang melakukan itu semua tanpa mendapatkan 'pelajaran batin' untuk diri saya sendiri. 

Dari buku 25 Ways to Win with People yang saya baca, John C. Maxwell berkata: Dalam kehidupan, kita seringkali jatuh, kusut, dan hancur lebur karena keputusan yang kita buat atau situasi yang terjadi pada diri kita. Kita mungkin merasa tidak berharga, tidak berarti di mata kita sendiri dan orang lain. Akan tetapi, terlepas dari masalah yang sudah atau akan terjadi, kita tidak pernah kehilangan nilai kita sebagai manusia. Tak ada yang bisa mengambilnya. Jangan lupakan itu.

Untuk segala penat yang hadir, terima kasih karena telah memberi saya semangat untuk terus berusaha. Tuhan memberikan saya ujian ini, karena Ia tahu saya bisa melakukannya. Tak ada yang lebih baik daripada sebuah senyuman yang hadir setelah ribuan air mata yang jatuh. Keep fighting,  'cause it's too morning to give up

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. Gue percaya bukan sebuah proses namanya kalo yang ada malah kemunduran, kadang lo cuma ngga bisa liat bagaimana diri lo berkembang setelah ngelewatin masa-masa yang nuntut lo buat berjuang. Yang paling bahaya kalo saat kita berhasil dan kita cuma berpuas diri, tanpa ngeliat pelajaran baik moral/sikap yang udah kita dapet. Jadi untuk setiap keluhan yang lo rasain, ini jadi bekal buat lo untuk lo inget-inget lagi nanti, betapa sulitnya mencapai pribadi lo yg sekarang. So far, sejauh ini kita sering ngalamin masalah yang sama diwaktu yang sama. Keep fighting, jangan sampe kalah sama masalah, sama2 berproses untuk jadi yang lebih baik lagi, "cause it's too morning to give up, lel :)"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maybe "it's too morning to give up" would be our mottos? Hahaha. Thanks for the quotes, Van! :))

      Delete