Sejenak Merindukan Zona Nyaman

By Laili Muttamimah - September 30, 2015


Sejauh apapun kita menjelajah, pada akhirnya kita akan disambut oleh kerinduan untuk kembali ke titik di mana kita melangkah.

Saya menyebut titik itu sebagai kenyamanan. 

Bagi saya, detik-detik duduk di depan monitor untuk menulis adalah waktu yang sangat berharga. Dengan modal komputer di perpustakaan kampus, sambil menemani teman-teman saya membaca, saya memilih untuk menenggelamkan diri di pojok ruangan. Bukan karena bosan membaca, bukan pula ingin menyendiri, saya hanya mengambil peluang ketika saya bisa kembali pada titik nyaman yang saya punya: duduk, menulis barisan kata ini.

Banyak orang berkata, jika kita ingin mendapatkan pengalaman besar, kita harus keluar dari zona nyaman. Keluar dari rumah, pergi ke tempat antah berantah, bertemu banyak orang, lakukan hal-hal yang nggak biasa, lalu petik pelajaran dari itu semua. Saya setuju dengan argumen itu, bahwa sesekali, kita nggak boleh memanjakan diri untuk terus duduk manis di rumah sambil menyesap teh, ketika ada badai di luar sana yang mengharuskan kita untuk terjun menyelamatkan nyawa para korban. Kita nggak bisa terus menerus tinggal pada lingkaran yang sama tanpa tahu bahwa ada banyak sekali hal di luar sana yang belum membuat pikiran kita terbuka. Saya ibaratkan zona nyaman itu sebagai rumah. Siapa, sih, yang nggak nyaman berada di rumahnya sendiri? Berada dekat dengan keluarga, makan bersama, tidur di ranjang sendiri, merasa terlindungi. Bagi saya, rumah adalah tempat yang menyimpan banyak kerinduan, untuk kembali masuk dan tinggal di dalamnya. Namun saya tahu, kita bukanlah manusia yang berkembang jika terus mengurung diri dalam rumah itu. Kenyamanan bisa membuat kita terlena dan lupa bahwa ada sesuatu yang harus kita capai dengan usaha keras. Kita nggak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan jika kita hanya diam menunggu, kan?

Tapi, bukankah rumah adalah tempat kita kembali?

Mereka yang telah berlayar jauh di tengah lautan, pasti merindukan rumah yang penuh dengan kehangatan. Begitu pun saya. Entah atas dasar apa saya menulis tentang hal ini, namun lelah dan penat yang saya rasakan semakin lama mendobrak kepura-puraan saya untuk tetap tinggal di luar zona nyaman yang saat ini sedang saya singgahi. 

Saya hanya rindu zona nyaman saya. 

Sejak identitas kartu pelajar saya berubah menjadi kartu mahasiswa, saya bertekad untuk lebih aktif berkegiatan. Saya tinggalkan semua kesenangan saya untuk mengambil tantangan-tantangan yang hadir di depan mata. Saya selalu berpikir, jika saya memiliki kesempatan, kenapa nggak saya ambil? Belum tentu, saya akan dapat kesempatan yang sama di lain waktu. Lagipula, saya masih muda dan inilah masa di mana manusia dituntut untuk produktif. Saya menekankan dalam diri saya bahwa saya harus meninggalkan rumah dan mulai menjelajah. 

Selama kuliah, saya bergabung dalam satu himpunan dan tiga unit kegiatan mahasiswa. Semua itu adalah pilihan saya sejak awal, karena saya merasa harus aktif di dalam kampus. Saya jalani empat organisasi itu, meski beberapa di antaranya nggak benar-benar saya sukai. Saya berpikir ketidaksukaan itu adalah bentuk keluar dari zona nyaman itu sendiri. Jadi, saya coba untuk bertahan dan bersabar menjalani semuanya. 

Nggak cuma empat organisasi, saya pun terjun dalam kepanitiaan event-event di kampus yang membutuhkan persiapan selama satu bulan lebih. Saya nggak menyesal telah bergabung dengan semua kegiatan itu, mereka memberi saya banyak sekali pengalaman dari nggak bisa apa-apa menjadi bisa. Saya paham dengan program kerja organisasi, jobdesc masing-masing divisi, cara mencari dana, sampai menjalin kerjasama dengan organisasi lain. Nggak cuma itu, organisasi yang saya ikuti juga mengantar saya bertemu dengan orang-orang hebat di luar sana, dan pastinya, teman-teman baru. Itu mengapa saya selalu memiliki alasan untuk tinggal di luar zona nyaman, karena saya mendapatkan hal-hal yang nggak pernah saya bayangkan sebelumnya. 


Tapi akhir-akhir ini, saya memikirkan hal yang berbeda. Apakah semua yang telah saya lakukan pada akhirnya bermanfaat bagi saya? atau hanya menjadi wadah untuk mendapatkan pengalaman? Hampir setiap hari, saya punya jadwal rapat yang harus dihadiri. Kadang-kadang, rapatnya selesai sampai jam 2 pagi, paling cepat jam 10 malam. Dulu, buat saya pulang sekolah jam 9 malam saja sudah melelahkan, tapi sekarang? Dari pagi sampai pagi, saya habiskan waktu saya untuk diskusi di kampus. Selain itu, beberapa jadwal kepanitiaan juga menyita waktu istirahat saya. Saya hampir nggak punya waktu untuk bersantai. Sekalipun ada waktu senggang, itu saya gunakan untuk mengerjakan tugas atau proposal. 

"Rapat mulu sih, Lel. Kapan free-nya? Kapan bisa kumpul lagi?"

Pertanyaan itu seringkali terlontar dari bibir teman-teman saya. Sedihnya, saya cuma bisa membalasnya dengan seulas senyum nggak enak. Ya, sejak kuliah saya memang jarang sekali ikut kumpul dengan teman-teman saya. Jangankan dengan teman-teman yang berbeda kampus, dengan yang satu kampus saja saya jarang nongkrong-nongkrong. Saya sering dipanggil Kura-Kura karena kerjanya kuliah-rapat-kuliah-rapat terus. Banyak sekali rencana untuk pergi dengan teman-teman yang saya batalkan karena rapat mendadak, atau parahnya, rencana liburan saya yang sudah berbulan-bulan disiapkan. Meski baru memasuki tahun kedua kuliah, saya merasa waktu yang saya punya terlalu banyak dihabiskan di kampus.

I just don't want to be too much.

Saya pengin menjalani masa kuliah saya dengan sewajarnya seperti mahasiswa-mahasiswa lain. Pulang kuliah lebih cepat, tidur di jam normal, punya waktu untuk membaca buku dan melakukan hobi di waktu luang... Ya, itulah hal-hal yang selama ini tersita oleh kegiatan saya. Saya hanya ingin menikmati semuanya, nggak terlalu fokus pada satu titik yang pada akhirnya membuat saya nggak bebas melakukan sesuatu. Saya ingin menghabiskan waktu libur saya dengan keluarga, main dengan teman-teman lama, membaca novel, menulis... See? Bahkan draft novel saya saja nggak maju-maju. Reading speed saya juga payah banget, baca novel 300 halaman aja butuh waktu dua minggu. Saya merindukan hal-hal yang dulu biasa saya lakukan, saya rindu titik nyaman itu. 

It feels like I push myself too much.

Mungkinkah pilihan-pilihan ini adalah akibat dari keserakahan saya? Bisa jadi. Saya terlalu serakah untuk mengambil semua bagian atas dasar kesempatan. Saya nggak memilah-milah sesuatu yang disuguhkan dan tetap mengerjakannya meski saya nggak suka. Bukan sekali atau dua kali saya merasa seperti budak yang harus melakukan sesuatu atas dasar perintah. Saya merasa nggak sayang sama diri saya sendiri, karena terlalu memaksakan prioritas dan melupakan keinginan...

Bahwa sebenarnya, bukan ini yang saya ingin lakukan.

Ini bukanlah diri saya.

Saya suka sesuatu yang bebas meski saya orang yang teratur. Saya nggak suka bekerja di bawah tekanan apalagi dengan alasan sumber daya manusia yang kurang. Saya hanya ingin menikmatinya, sebagaimana hal itu adalah zona nyaman bagi saya.

Mungkin ini saatnya bagi saya untuk berhenti sejenak dan kembali pada zona nyaman. Saya hanya ingin memanjakan kembali diri saya dan menggunakan waktu yang berkualitas untuk hal-hal yang saya inginkan. Saya rindu hobi saya, keluarga, teman-teman, dan hal-hal yang dulu selalu saya jadikan prioritas ke-sekian. 

Namun, bukan berarti saya nggak akan melangkah lagi.

Saya akan kembali keluar dari zona nyaman saya, namun saya akan memilah-milah mana yang memang saya ingin lakukan dan butuhkan. Saya percaya bahwa jika kesempatan itu memang diberikan untuk kita, ia akan datang pada kita tanpa harus mengambil semua kesempatan yang sebenarnya nggak ingin kita lakukan. 

Insya Allah, saya merasa semua pengalaman ini cukup untuk saat ini. Saya akan mengeksplor pengalaman baru lagi yang mungkin sesuai dengan passion dan minat saya. 

Saya nggak ingin memaksakan diri lagi. 

Well, it's time to back to home. See you another time, uncomfortable zone!

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar