Semesta Bekerja di Luar Nalar Kita

By Laili Muttamimah - October 24, 2015


Dalam hidup, setiap orang memiliki banyak rencana yang ingin mereka ubah menjadi pencapaian. Berhasil atau tidak, itu adalah urusan nanti. Namun kegagalan memang bukan hal yang lain untuk dilalui. Entah mengapa, dalam keheningan, saya sering memikirkan tentang pencapaian apa saja yang saja telah dapatkan, pun dengan kegagalan yang telah saya alami. Pikiran-pikiran itu membuncah menjadi satu buntalan yang membuka mata saya bahwa cara kerja semesta memang begitu menakjubkan.

Saya yang Payah

Para motivator berkata dengan gamblang bahwa gagal adalah hal biasa, yang tentunya tak semua orang menyetujui karena tiap kali mereka berada dalam posisi kritis itu, mereka tidak bisa menganggap itu hal yang biasa. Namun, jika kita diam sejenak untuk sekadar berpikir, kita akan tahu bahwa hidup tak seburuk itu. Hidup selalu memberikan kejutan-kejutan yang bisa membuat kita melonjak girang atau meratap garang. Semua tergantung dari bagaimana kita memaknainya.

Bukan sekali atau dua kali saya merasa bahwa saya ini payah. Di luar dari ketidaksyukuran, saya memang sering berpikir bahwa saya bukanlah apa-apa. Saya menghitung perjalanan 19 tahun dan bertanya "apa saja yang sudah saya capai sejauh ini?". Saya (atau mungkin semua orang) hanya tidak ingin menghabiskan waktu untuk sebuah kesia-siaan. Ya, mungkin ini adalah bentuk ketidaksyukuran saya terhadap diri sendiri. Saya kerap kali merasakan hal ini ketika melihat orang lain yang berada jauh di atas saya. Di atas langit masih ada alam semesta yang luas. Ya, saya paham hal itu. Namun, terkadang perasaan ini menguji diri saya tentang seberapa besar hal yang akan saya lakukan untuk membuat sebuah perubahan?

Saya menganggap diri saya payah ketika melihat teman-teman seusia saya sudah banyak menggenggam banyak prestasi. Mereka yang bisa memenangkan olimpiade nasional dan internasional, yang mewakili nama Indonesia untuk suatu penghargaan, yang mendapat kesempatan untuk pertukaran pelajar ke luar negeri... ya, saya merasa bahwa diri saya sangat jauh di bawah mereka. Entah ini hanya masalah standarisasi saya terhadap kata 'prestasi' atau memang sejatinya saya masih bukan apa-apa?

Pemikiran ini datang tiap kali saya melihat teman-teman saya berhasil mencapai mimpinya satu persatu. Tentu, saya senang akan hal itu, suatu kebanggaan tersendiri melihat teman-teman saya berhasil meraih yang mereka inginkan dengan usaha keras yang mungkin tidak saya lakukan. Itulah yang terkadang membuat saya ciut dan kembali bertanya "apa saja yang sudah saya capai sejauh ini?". Saya berpikir bahwa usaha saya masih kurang dan belum sekeras mereka untuk berlari mengejar mimpi saya. Terkadang saya menyesal, dalam beberapa proses, saya tidak menjalaninya dengan serius sehingga apa yang saya inginkan tidak tercapai. Jika saya bisa mengulang waktu, rasanya ingin kembali dan mengoreksi semuanya. Namun, tak lagi. Sisa hidup kemarin sudah diambil oleh waktu yang terkikis.

Masa-masa Kritis 

Seseorang pernah berkata pada saya bahwa yang terpenting bukanlah menjadi orang berilmu, tapi orang yang beruntung. Orang berilmu tak akan meraih yang ia inginkan jika keberuntungan tidak ada di tangannya, sedangkan orang beruntung bisa saja mendapatkan tanpa belajar sekalipun. Namun, saya membantah argumen itu, bahwa menggantungkan diri hanya pada sebuah keberuntungan tanpa diimbangi oleh usaha yang keras adalah tidak keren sama sekali. Bagi saya, orang yang berilmu, meski ia tidak beruntung, ia akan tetap bertahan dan beradaptasi dengan ilmu yang ia punya, sedangkan orang beruntung, hanya memanfaatkan suatu nasib baik yang kapan saja bisa datang dan pergi. 

Namun, saya tidak bisa memungkiri, saya pernah dikalahkan oleh orang-orang beruntung itu.

Masa kritis pertama yang saya alami (dan saya ingat) adalah ketika saya mengikuti ujian tes masuk sebuah SMA negeri. Tentu saat itu, orangtua saya sangat mengharapkan saya ada di sana, karena SMA negeri kerap kali dipandang bagus oleh banyak orang. Jadi, saya ikuti tes masuk itu. Betapa senangnya saya ketika soal yang diberikan hampir seperti soal yang saya pelajari malam sebelumnya dan tak jauh beda dengan soal Ujian Nasional. Dengan mantap, saya mengerjakannya dan yakin bahwa apa yang saya kerjakan bisa menghasilkan sesuatu yang baik. Saya lihat, beberapa teman saya yang ada di ruangan yang sama, terlihat kesulitan mengerjakannya. Alhamdulillah, saat itu saya merasa jalan saya dipermudah. Maka ketika pulang dari tes masuk itu, dengan lugas saya berkata kepada orangtua saya bahwa saya bisa mengerjakannya dan meyakinkan mereka bahwa saya pasti diterima.

Sampai ketika hari pengumuman tiba, ternyata keberuntungan itu memang tidak ada di tangan saya. Saya ingat, ketika teman-teman saya bersorak karena nama mereka terpampang jelas di mading pengumuman dengan nilai yang begitu gemilang, sedangkan nama saya tidak ada di sana. Lutut saya lemas. Saya langsung mencari dan akhirnya menemukan nama saya di bagian nama yang tidak lolos. Saya lihat nilai saya di sana: 4,61. Sungguh, nilai itu langsung menjatuhkan harapan saya. Namun, hati kecil saya bilang, bahwa itu bukanlah nilai saya. Dengan segala kepercayaan diri, saya merasa nilai itu bukanlah yang seharusnya saya terima. 

Setelah diselidiki, betapa kecewanya saya ketika tahu bahwa nilai saya ditukar dengan orang lain. Jujur, saya merasa dikhianati karena mendapatkan hasil yang tidak sesuai dengan kerja keras saya. Satu hal yang paling menyesakkan adalah ketika pihak sekolah dan orangtua siswa (yang diterima) berkata, "Jaman sekarang, bukan lagi ilmu, tapi uang yang bicara."

Sungguh, ingin rasanya saya menuntut ketidakadilan itu, namun orangtua saya menenangkan dan memberi saya opsi lain untuk sekolah di SMA swasta. 

Akhirnya, saya tutup luka lama itu dan mulai menjalani bab hidup saya selanjutnya.

Kembali Dicurangi

Masa-masa setelah kegagalan (yang direncanakan) itu, saya menjalani hari sekolah seperti biasa. Namun saya, membangun tekad dalam diri saya untuk membalas dendam dengan belajar lebih baik. 

Tapi lagi-lagi, saya kembali dikalahkan oleh orang-orang beruntung itu.

Maraknya penyebaran kunci jawaban Ujian Nasional tampaknya sudah menjadi aib buruk pendidikan di negara ini. Entah apa yang salah dalam diri saya, untuk kedua kalinya saya kembali dicurangi. Bagaimana sebuah kecurangan kini sudah menjadi hal yang dianggap wajar bagi banyak orang? Mengapa mereka bisa dengan gamblangnya melakukan kecurangan secara terang-terangan?

Saya selalu menekankan bahwa seburuk apapun, nilai itu haruslah hasil usaha saya sendiri. Jadi di sanalah saya, bersama lembar soal dan jawaban, mencoba mengevaluasi diri selama tiga tahun belajar. Lagi-lagi, saya merasa tak berdaya. Hasil dari belajar saya dan bimbingan sampai tengah malam seolah tak membantu saya mengerjakan soal-soal itu. Saya intip orang-orang di sekitar saya yang dengan asyiknya mengerjakan dengan selembar kertas di bawah tempat pensil mereka, saya benar-benar ingin meledak.

Akhirnya, ledakan itu membuncah. Saya menangis di atas lembar soal fisika yang beberapa nomornya tak bisa saya kerjakan. Saya menangis dalam diam. Kesal pada diri sendiri, marah karena dicurangi, merasa tidak diadili. Sampai kapan saya akan dikalahkan dengan orang-orang yang hanya bermodalkan keberuntungan? Saya pun pasrah dan mencoba mengerjakannya sebisa saya. Ketika hasil itu keluar, nilainya tidak buruk, meski tidak juga gemilang. Setidaknya, saya bisa mendapatkan yang lebih baik dibanding orang-orang beruntung itu.

Meski, nilai itu membawa saya pada ketidakberuntungan selanjutnya.

"Tuhan Tahu yang Terbaik" Bukanlah Sebuah Kiasan

Singkatnya, saya tidak lolos ujian masuk PTN. Pada saat itu, saya sempat mengalami dilema tentang pilihan yang saya ambil. Entah mengapa, saya si anak IPA, merasa jurusan yang ada di ranah saya tidak benar-benar sesuai dengan diri saya. Saya mulai melirik jurusan IPS yang tampaknya lebih menantang. Namun, dilema itu benar-benar menjengkelkan, karena pada akhirnya saya tetap mengambil jurusan yang sesuai dengan rumpun saya karena menganggap diri saya hanya kebanyakan obsesi. 

Di tempat saya menjejak saat inilah, mata saya mulai terbuka. Ternyata, tempat saya memang bukan di sana. Ini menjadi pelajaran penting bagi saya bahwa ketika seseorang tidak bisa mengerjakan sesuatu, itu bukan didasari karena ia bodoh atau payah, tapi karena hal itu terkadang tidak sesuai dengan passion-nya. Saya yang saat itu menangis ketika tidak bisa mengerjakan fisika, mungkin tak perlu menyesal sampai segitunya, karena ternyata diri saya memang tidak ada di sana. Kini, saya ada di tempat yang sebenarnya, yang mungkin tidak sebesar yang saya harapkan pada awalnya, tapi berhasil membuat saya nyaman. Saya menyadari bahwa sebuah penolakan tidak selalu berujung pada hal-hal yang buruk, tapi juga pintu untuk suatu tempat yang lebih baik. 

Ada kalanya, kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, karena memang sesuatu itu tidak dinyatakan pantas untuk kita. Usaha yang kita lakukan tentu saja membuahkan hasil, termasuk suatu kegagalan. Ketika kita telah mendapatkan A, dan kembali berusaha untuk B, sampai akhirnya tercapailah B itu, tandanya Tuhan memang menguji apakah mental kita sudah siap untuk mendapatkannya? Namun ketika tidak, percayalah bahwa apa yang diberikan pada kita sekarang adalah yang baik untuk kita. Ada masa ketika kita merasa dunia ini tidak adil, tapi pada akhirnya semua ketidakadilan itu bermuara pada sesuatu yang lebih tepat.

Seketika, saya tak lagi berpikir bahwa saya ini payah. Dari segala perbincangan ringan sampai filosofis saya lakukan dengan banyak orang, saya paham bahwa mengukur prestasi bukan hanya dilihat dari segi kuantitatif bahwa kita telah meraih sekian banyak. Kita pun harus melihat lebih dekat bahwa apa yang kita dapatkan saat ini adalah hasil dari merelakan waktu dan memperjuangkan sesuatu. Dengan badan ini kita berusaha, dengan pikiran ini kita berpikir, dengan tangan kaki ini kita bergerak, dan dengan keputusan-Nya, kita mendapatkan apa yang memang seharusnya kita dapatkan. 

Jangan pernah merasa bahwa apa yang telah kita perjuangkan adalah bentuk dari kesia-siaan. Jangan pernah merasa bahwa keberuntungan (tanpa usaha) hanyalah satu-satunya penghasil sebuah kesuksesan.

Kita berhak memilih rasa apa yang akan hadir di hidup kita, namun kita tak berhak menentukan berapa banyaknya. Kita boleh berekspetasi akan hari esok, tapi kejutan datang di saat yang tak diharapkan. 

Takdir bermain di luar kendali kita, hendakilah tangan-tangan itu menyusun rencana. Biarkan semesta bekerja di luar nalar kita, maka rasa syukur itu akan menjadi tak terhingga.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar