Talking About Fear

By Laili Muttamimah - August 01, 2016

Credit: Benjamin Davies on Unsplash
Salah satu hal yang saya sukai adalah bertemu dengan orang-orang yang bisa membawa saya pada deep conversation. Sayangnya, nggak banyak orang mau melakukannya, karena dianggap nggak penting dan buang-buang waktu. Sejauh ini, ada beberapa orang yang sering saya temui hanya untuk mengobrolkan topik-topik serius, entah sambil duduk-duduk atau nongkrong di kafe dan semacamnya. Terkadang, saya dan teman saya berkata, "Kita ngapain, sih, bahas topik begini? Paling di luar sana juga nggak ada orang yang bahas ginian." Tapi, tetap saja, obrolan semacam itu nggak bisa dihindarkan tiap kali saya menemukan orang yang nyambung dan minat diajak mengobrol serius.

Seperti beberapa minggu yang lalu, saya bertemu kembali dengan kawan saya, Elvan Susilo dan Tsuraya Mumtaz. Saya, Elvan, dan Tsuraya sebenarnya belum pernah bertemu di waktu dan tempat yang bersamaan. Tapi, hari itu, kami memutuskan untuk pergi ke beberapa kedai di Jakarta dan menghabiskan waktu luang bersama.

Awalnya, kami hanya membahas topik-topik receh seputar masa sekolah dan sebagainya, sampai tiba-tiba, Tsuraya bercerita tentang salah satu teman kampusnya yang saat itu sedang memiliki masalah dengannya. Dia berkata baru saja menemui temannya itu untuk menyelesaikan masalah dan kemudian, mereka berbaikan.

Satu hal langsung tercetus dari bibir saya begitu mendengar ceritanya, "Kok lo berani, sih, samperin temen lo kayak gitu? Kalian, kan, lagi ada masalah."

Tsuraya balik bertanya, "Kenapa nggak berani?"

"Gimana, ya, gue kalo lagi ada masalah sama orang, mendingan diem nunggu suasananya reda sendiri. Nggak bisa hadapin dia kayak gitu." Saya berkata lagi, dan ucapan saya itu disetujui oleh Elvan.

Namun, argumen Tsuraya justru membuat saya berpikir bahwa sebenarnya selama ini saya hanya berusaha lari dari masalah. Tsuraya adalah tipe orang yang nggak bisa berlama-lama memendam masalah dengan temannya karena dia nggak nyaman ketika harus bersikap canggung. Itu kenapa, dia memutuskan untuk lebih baik menemui temannya dan menyelesaikan masalah secepatnya. Tentu, dia harus melawan rasa malu, takut, dan egonya untuk menghadapi temannya itu. Pasti nggak mudah mengklarifikasi masalah dan meminta maaf ke teman yang sedang emosi padanya. Tapi, buat Tsuraya, lebih baik dia disiram emosi daripada nggak menyelesaikan masalah sama sekali. Karena, nggak semua masalah bisa selesai hanya dengan perkara waktu.

Sebagai orang yang mengaku punya tipe kepribadian sama dengan saya, Elvan justru merasakan hal yang persis seperti yang saya rasakan selama ini. Kami, si ENFJ, cenderung mementingkan perasaan orang lain ketimbang perasaan kami sendiri. Kami lebih sering mengalah jika punya masalah dan paling anti mengorek masalah yang sudah berlalu (meski itu sebenarnya belum selesai). Tiap punya masalah dengan teman, kami selalu bersikap seolah tidak ada apa-apa dan berharap waktu bisa membuat kami berbaikan dengan teman kami. Namun, hal itu justru membuat kami tersiksa ketika harus bersikap canggung dengan orang yang bersangkutan, apalagi melihat orang tersebut masih menunjukkan sikap dinginnya.

Alasan kami cuma satu. Kami takut.

Kami takut masalahnya akan menjadi semakin buruk.
Kami takut menyakiti lebih jauh.
Kami takut dihakimi.

Takut, takut, dan takut itulah yang justru membuat kami sadar bahwa kami begitu pengecut karena tidak berani menghadapi masalah secara langsung, terutama masalah yang menyangkut perorangan. Ditambah lagi, jika orang itu adalah teman kami sendiri. Padahal, jauh di dalam hati kami ingin sekali berbaikan dengan orang itu, namun kami terlalu takut untuk mengatakannya dan menghadapinya.

Selama percakapan itu berlangsung, saya terus berkaca pada diri sendiri. Seketika, saya sadar bahwa dalam hal-hal kecil, saya pun sering mengucap 'takut' di dalam perkataan saya. 

"Kalau gue ke toilet dulu, gue takut ketinggalan keretanya."

"Kalau gue pake baju putih, gue takut noda makanannya netes ke baju dan berbekas."

"Kalau gue pinjemin novel ke dia, gue takut novel gue nggak balik dan hilang."

Dan masih banyak ketakutan lainnya.

Sejujurnya, kata 'takut' itu saya ucapkan tanpa sengaja dan ternyata telah menjadi sugesti tersendiri dalam diri saya. Saya jadi sering insecure dan merasa was-was. Ketakutan ini membuat saya sering merasa khawatir berlebihan, termasuk ketika melakukan hal-hal yang nggak berisiko sekali pun. Parahnya, ketakutan ini juga sering membuat saya nggak berani mencoba tantangan baru.

Sering kali saya ingin melakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan, seperti naik wahana Tornado, ikut diskusi MUN, datang ke tempat-tempat asing. Tapi, saya selalu dikalahkan oleh rasa takut itu. Saya takut mual, saya takut dianggap nggak mahir bahasa Inggris, dan saya takut tersesat. Bahkan, menentukan jalan yang baru saya lewati satu kali saja saya ragu-ragu. See? Hidup saya terlalu penuh perencanaan sampai-sampai saya terlalu takut ketika kenyataan yang ada nggak sesuai dengan ekspetasi.

Ketika saya bergerak mundur pada masa kecil saya, seketika saya sadar bahwa rasa takut ini juga menjadi dampak dari didikan orangtua saya. Bukan berarti didikan orangtua saya nggak bagus, namun orangtua saya terlalu protektif pada saya sejak kecil. Sampai hari ini, nggak jarang orangtua saya masih menggunakan kata 'takut' tiap menasehati saya akan sesuatu. Saya tahu, orangtua saya hanya ingin saya waspada dan teratur. Namun terkadang, ketakutan itu justru menjadi sangat berlebihan dan mengganggu saya, seperti:

"Kamu ada acara jam 2 tapi jam 11 baru mau berangkat? Jakarta macet. Takutnya nanti kamu nggak keburu, terus sampai sana terlambat."

"Itu handphone kamu masukin ke dalam tas yang ada risletingnya, nanti takut jatoh terus kamu nggak sadar handphone-nya udah hilang."

"Kamu kalau mau hunting, tas kameranya masukin ke tas ransel, jangan dislempang begitu. Nanti takutnya ditarik dan dicopet orang."

Peringatan-peringatan itulah yang pada akhirnya membuat saya menjadi nggak tenang dan sering berpikiran negatif. Baiknya, orangtua saya mengajarkan saya untuk well-prepared dan nggak sembarang melakukan sesuatu. Namun sayangnya, hal itu membuat saya sulit fleksibel dan cepat panik ketika sesuatu yang berjalan nggak sesuai dengan rencana.

Hal terakhir yang paling menganggu saya adalah rasa takut untuk dihakimi orang lain. Saya tahu, setiap orang pasti memiliki penilaian tersendiri terhadap orang lain. Begitu pun saya yang juga menilai orang lain. Namun, selama ini saya selalu berusaha untuk terlihat baik di mata semua orang dan menyenangkan mereka.

Sedangkan, saya tahu, saya dilahirkan bukan untuk menyenangkan semua orang. Dan teman-teman saya sudah sering kali mengingatkan tentang hal itu.

Tapi, tetap saja, saya sering overthinking ketika hendak melakukan sesuatu. Misalnya, saya ingin nongkrong dengan teman-teman saya yang gaul sesekali, tapi takut dicap garing. Saya ingin menyapa senior yang ingin saya ajak diskusi, tapi takut dikira sok kenal. Saya ingin menulis tentang cinta segitiga, tapi takut dianggap klise dan dikomentari jelek oleh pembaca. 

Mungkin ketika kalian membaca ini, kalian juga berpikir hidup saya nggak menyenangkan karena dipenuhi oleh pikiran yang berlebihan dan rasa takut. 

Nah, lihat? Barusan saja saya overthinking sama kalian. Hahaha. :")

Padahal, ketakutan ini hanya ada di kepala saya. Banyak sekali kekhawatiran saya pada akhirnya nggak menjadi nyata dan keadaan yang sebenarnya baik-baik saja. Saya pernah salah naik bus, tapi akhirnya saya bisa kembali pulang. Saya pernah pergi ke luar kota sendirian, dan saya luar biasa sehat sampai hari ini.

Sebentar lagi, usia saya akan menginjak kepala dua dan saya nggak boleh membiarkan rasa takut ini terus bertahan di kepala saya. Saya ingin mengurangi overthinking dan kekhawatiran yang berlebihan dalam diri saya. Itu mengapa, akhir-akhir ini, saya sering melakukan hal-hal baru yang jarang saya lakukan. Dan kejutan-kejutan yang saya rasakan justru membuat pemikiran saya lebih berkembang dan saya jadi tahu rasanya menjalani hal-hal yang dulu saya takuti.

Overthinking kills your happiness. Mulai hari ini, saya harus menjadi lebih berani. Berani mengambil tantangan dan berani mengambil risiko. Ada banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari hal-hal di luar zona nyaman saya. Saya hanya perlu berani mencoba.

Semuanya dimulai dengan mengganti kata 'takut' menjadi 'berani' dalam kamus percakapan dan mindset saya.


Saya berani tersesat, karena itu akan membuat saya tahu jalan.


Saya berani berbuat salah, karena itu akan membuat saya tahu mana yang benar.


Saya berani menjadi jelek, karena itu akan membuat saya tahu standar yang bagus seperti apa.

Memulai memang nggak pernah mudah, tapi niat yang kuat akan menghasilkan kemungkinan-kemungkinan terbaik, karena hidup ini terlalu singkat jika hanya diisi oleh ketakutan-ketakutan yang nggak nyata. :)

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar