Looking for Perfection

By Laili Muttamimah - September 10, 2016

Sering kali kita berpikir bahwa hidup akan terasa menyenangkan jika segalanya berjalan dengan sempurna. Kita bisa mendapat nilai yang sempurna di kelas, dikenal oleh banyak orang di kampus, dan menjadi anggota paling aktif di organisasi. Kesempurnaan seolah mampu membuat kita diakui dan diperhatikan oleh lebih banyak orang, yang secara tidak langsung mampu menaikkan pula tingkat kepercayaan diri kita ketika bersosialisasi. 
Namun, kita semua tahu bahwa pepatah “tak ada yang sempurna di dunia ini” atau “kesempurnaan hanya milik Tuhan” sudah menjadi satu hal yang kita tanam di luar kepala. Meski begitu, tidak jarang kita masih saja berusaha mencari kesempurnaan dalam diri kita, entah dengan menemukan ketidaksempurnaan atau membandingkannya dengan orang lain.
Halaman tetangga selalu terlihat lebih hijau. Sesekali, pasti pernah terlintas di pikiran kita bahwa apa yang telah dicapai oleh orang lain atau teman kita jauh lebih hebat dibanding yang sudah kita dapat. Ketika teman kita bisa mengikuti pertukaran pelajar keluar negeri, masuk ke televisi untuk mengikuti diskusi, sampai memenangkan olimpiade-olimpiade yang seumur hidup belum pernah kita rasakan. Selama ini, yang kita lihat dari mereka hanyalah pencapaian itu, bagaimana mereka sukses, terkenal, banyak uang, dan diliput berbagai media. Ya, kita hanya melihat sisi putih dari dirinya. Namun, kita tidak tahu, berapa lama ia membersihkan halamannya, berapa kali tangannya terluka saat mencabut rumput liar, dan berapa banyak kotoran atau hewan yang harus ia temui saat merawat halaman itu. Dan yang terpenting, kita tidak pernah tahu, bahwa mungkin ia juga menginginkan rumah yang bagus seperti milik kita, meski halaman rumah kita tidak sebagus miliknya. 
Itu mengapa, kita dilahirkan dengan ketidaksempurnaan, agar kita bisa belajar lebih banyak dan tidak mudah puas dengan apa yang sudah kita miliki. Kita diberi kesempatan untuk terus meningkatkan diri menjadi pribadi yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Berusaha menjadi sempurna itu baik, namun terlalu mematok diri pada kesempurnaan hanya akan membuat kita menemui titik jenuh. When you’re looking for perfection, actually, you’re just looking for nothing. Kita tidak bisa menjadi baik dalam semua hal, walaupun kita memiliki bakat lebih dari satu. Si A mungkin baik dalam olahraga, tetapi dia tidak mahir bermain musik. Si B sudah menerbitkan 10 buku best seller, tetapi ada saja pembaca yang tidak menyukai karyanya. Si C selalu mendapat nilai A di ujian teori, tetapi dia harus puas dengan B- di ujian praktik. Dari itu semua, hal yang perlu kita lakukan adalah bersyukur. Namun, ‘bersyukur’ tidak sama dengan ‘cepat puas’. Bersyukur membuat kita lebih menghargai apa yang sudah kita punya dan terus berusaha memperbaiki kekurangan ke depannya. Sedangkan, cepat puas berarti membuat kita tidak ingin mencoba tantangan baru dan menghentikan langkah di titik puas itu.
Kesempurnaan tentu indah. Indah dilihat, indah dirasakan, indah didengar, dan masih banyak lagi. Tapi, ketidaksempurnaan-lah yang justru membuat kita menjadi manusia seutuhnya. Imperfection makes a human human. Tanpa ketidaksempurnaan, kita tak pernah mengenal yang namanya bangkit, karena kita tak tahu apa itu gagal. Kita tak pernah mencoba tantangan, karena jalan yang kita punya semulus sutera. Dan kita tak pernah menjadi baik, karena kita tak pernah merasakan bagaimana menjadi buruk.
Lakukan yang terbaik, tanpa mengekspetasikan suatu kesempurnaan atau hasil yang berlebihan. Karya, pekerjaan, atau bahkan diri kita sendiri mungkin memiliki cela, namun setidaknya kita selalu melakukan yang terbaik dan memaksimalkan apa yang kita kerjakan. Kita memang tak akan pernah terlihat baik di mata semua orang, tapi bukan berarti hal itu menahan kita untuk tidak berbuat baik. Pada akhirnya, kita akan merasa hidup ini sempurna ketika kita bisa melakukan perubahan positif, baik untuk diri kita, maupun orang lain.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar