Be a Champion in the Right Way

By Laili Muttamimah - December 18, 2016


Setiap orang pasti memiliki pencapaian. Untuk meraih sesuatu yang kita inginkan, tentunya kita harus melewati proses yang tak mudah. Ada usaha yang harus kita kerahkan untuk mencapai sesuatu, meski hal itu harus membuat kita 'jungkir balik'. Namun, nyatanya, ada beberapa orang yang lebih memilih untuk melakukan cara instan dalam mendapatkan pencapaian itu.


Sungguh, pola pikir pragmatis ini sangat disayangkan jika dibiarkan membudaya di Indonesia. Dalam lingkup kecil, saya baru merasakan kerugian dari budaya pragmatis itu baru-baru ini. Sekitar satu minggu yang lalu, kampus saya mengadakan lomba fotografi, yang mana foto-foto yang lolos seleksi lomba akan ditampilkan di pameran selama satu minggu. Saya tidak mengikuti kompetisi tersebut (meskipun saya suka fotografi), karena memang tidak mempersiapkan diri untuk ikut serta. Jadi, saya hanya menjadi audiens yang memberikan voting untuk foto-foto yang terseleksi di pameran.


Namun, betapa kagetnya saya, ketika melihat salah satu foto hasil karya saya (yang saya posting di Instagram) terpajang di pameran tersebut. Karena saya tidak mendaftar di lomba itu, otomatis saya mempertanyakan. Betapa kecewanya saya ketika melihat nama yang terpajang di bawah foto itu adalah nama orang lain, yang setelah diselidiki, ternyata orang itu adalah adik kelas di jurusan saya. Saya tidak mengenal orang itu, tapi saat itu, saya merasa dia sudah melanggar etiket sekaligus peraturan lomba karena menggunakan HAK CIPTA orang lain tanpa izin. Di situ, saya langsung menemui panitia, dan meminta untuk bertemu dengan orang yang sudah mengambil karya saya itu. Pada akhirnya, foto itu didiskualifikasi dari lomba yang berlangsung.


Mungkin foto saya memang tidak sebesar karya foto para fotografer profesional. Tapi, bagi saya, tetap saja karya itu memiliki nilai. Di balik sebuah karya, ada perjuangan seseorang untuk menghasilkan karya tersebut, yang mungkin tidak kita ketahui. Biasanya, kita hanya melihat secara visual betapa bagus/jeleknya sebuah karya foto, tanpa memikirkan usaha sang fotografer saat memotretnya. Buat saya, usaha itu berupa terjun ke pasar Glodok siang hari dengan panas yang terik, dimarahi dan diteriaki orang, sampai pulang larut malam dengan tubuh lelah demi menghasilkan foto Human Interest yang dipakai seenaknya di lomba tersebut. Ditambah lagi, orang itu MENGKLAIM foto tersebut sebagai miliknya dan diikutsertakan dalam lomba. Apa motivasinya? Jika ia memang ingin menang dalam lomba tersebut, seharusnya ia berusaha dengan tangannya sendiri, seburuk apa pun itu hasilnya.


Hal semacam ini mungkin tidak hanya terjadi dalam kasus saya, tapi banyak seniman di luar sana yang karyanya diplagiat dan diklaim seenaknya sebagai milik orang lain. Satu pesan saya, berusalah hargai dirimu sendiri dengan cara mengapresiasi setiap usaha dan karya yang kamu buat. Walaupun hasilnya tidak memuaskan, ada satu kelegaan dalam diri kita karena mengerjakannya dengan tangan kita sendiri. Sekecil kamu mengikuti ujian, walaupun kamu tahu jawabanmu mungkin tidak memberikan hasil yang sempurna, tapi kamu sudah mengerahkan pikiranmu di sana, ketimbang kamu mencontek dan merasa puas karena hasil ORANG LAIN.


Setiap orang adalah pemenang. Setiap orang bisa mencapai apa yang ia inginkan. Tapi, cobalah untuk berusaha. Ingat, proses itu indah walaupun membuat kita babak belur. Jadilah pemenang di jalan yang benar, jadilah dirimu sendiri, karena dengan kejujuran itu, kamu tidak hanya bisa menjadi pemenang secara fisik, tetapi juga batin. Jika kamu terus bergantung dengan usaha orang lain, bersiaplah, kamu akan tertinggal jauh di belakang ketika semua orang berlari begitu cepat di depanmu.


Kamu yang memilih.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar