Krisis Kader atau Krisis Inisiatif?

By Laili Muttamimah - December 18, 2016


Akhir-akhir ini, ada satu hal yang cukup mengganggu pikiran saya. Hal ini berkaitan dengan organisasi yang saya jalani di kampus, yang banyak orang bilang ‘organisasi krisis kader’. Sebenarnya, julukan ‘krisis kader’ ini bukan hanya ditunjukkan untuk organisasi kami, melainkan juga organisasi lain yang ada di kampus kami. Entah kenapa, minat mahasiswa di kampus kami untuk berorganisasi sangatlah minim, sehingga ada banyak Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang pada akhirnya tidak menjalankan program kerja karena kurangnya sumber daya manusia.

Kalau dipikir-pikir, ini hal yang tragis, benar, kan? Bayangkan saja, ketika suatu organisasi punya program kerja yang begitu positif, namun tidak ada yang menggerakan, program kerja itu hanya akan menjadi impian di kertas kumal di tempat sampah. Padahal,kampus kami sudah memberlakukan sistem poin dual transkrip, yang mana poin itu bisa didapat dari keaktifan organisasi mahasiswa. Jika poin itu tidak tercapai, mahasiswa tersebut akan sulit untuk lulus.

Namun, tampaknya hal itu tidak berdampak besar, karena sampai saat ini, mereka yang aktif di organisasi hanyalah orang-orang ‘minoritas’. Banyak sekali ketua organisasi yang mengeluh tidak bisa melaksanakan programnya dengan maksimal karena jumlah anggota yang sedikit. Memang, kuantitas tidak berarti besar. Bahkan suatu program bisa sukses dijalankan hanya dengan 2 orang inisiator. Namun, sayangnya, selain jumlah anggota yang sedikit, satu hal lain yang menjadi masalah adalah minimnya inisiatif.

Tidak bisa dipungkiri, kebanyakan anggota organisasi di kampus kami mengikuti organisasi dengan motif untuk mendapatkan poin. Alhasil, kontribusi mereka amat minim, hanya ikut di acara-acara besar saja. Apakah itu berarti mereka tidak berkomitmen? Tidak juga. Komitmen tidak dihitung berdasarkan frekuensi kehadiran, namun tanggung jawab dan job desc yang tuntas dikerjakan. Sayangnya, masih banyak pula yang tidak menerapkan hal itu.
Beberapa minggu yang lalu, organisasi kami membuka kelas marketing dan mengundang salah satu alumnus kami yang memang sudah sukses dalam bidang digital marketing. Dan, betapa kecewanya kami ketika dari 50 orang anggota, hanya ada 6 orang yang datang, kebanyakan dari sisanya tidak memberikan kabar yang jelas. Rasanya, kami benar-benar tidak dihargai, terutama untuk alumnus yang sudah menyempatkan waktunya mengisi kelas kami.

Namun, hal semacam ini tampaknya sudah menjadi habit, bahwa setiap rapat atau pertemuan, yang datang bisa dihitung jari. Tak cuma itu, bahkan ketika dihubungi via chat, mereka hanya membaca pesan tanpa membalas. Apa susahnya mengetik satu kalimat ketika kita sudah benar-benar MEMBACA pesan itu? Apa salahnya memberi kabar? Gengsi? Malas? Tidak tahukah kalau ada orang di luar sana yang menunggu respon dari kita?
Kami tahu, kultur dalam setiap organisasi tidak bisa disamakan, namun kami mempertanyakan, kultur seperti apa yang harus kami terapkan dalam organisasi kami? Ketika kami coba untuk sedikit memberi pressure pada anggota kami, kami justru kehilangan mereka. Dan ketika kami coba untuk lebih ‘lembut’, mereka justru bersikap seenaknya pada kami.

Kami sudah membaca banyak buku dan mempelajari cara meningkatkan performa tim, salah satunya dengan melakukan pendekatan personal berdasarkan kepribadian dan sebagainya, ya... kami sudah melakukan itu. Tapi, kenapa kenyataannya hal itu tidak berlaku untuk mereka? Inisiatif mereka tetap kurang, dan kami (beberapa anggota aktif) merasa sesak napas menjalankan organisasi ini. Padahal, menurut kami, ketua organisasi kami sudah menerapkan seni memimpin yang SANGAT BAIK, namun hal itu masih belum berdampak apa pun dalam situasi ini.

Mungkin hal ini kembali pada motif setiap orang dalam mengikuti organisasi, apakah ia memang ingin menjadi roda atau hanya sekadar ornamen di organisasi itu? Karena sebenarnya, organisasi tidak selalu butuh orang-orang hebat, tapi orang-orang yang MAU bertahan dan berkontribusi dalam situasi apa pun. Kita semua punya tugas kuliah, punya resolusi untuk dicapai, tapi kita pun punya tanggung jawab dan job desc yang harus dikerjakan di organisasi ini. Bersikap egois dengan pura-pura lari atau sembunyi tidak akan membayar apa pun.

Percayalah, kami bukan ingin mengeluh, kami hanya kehabisan akal menangani hal ini. Siapa pun yang membaca catatan ini (dan merasakan hal yang sama), kami berharap kita bisa saling berdiskusi.

  • Share:

You Might Also Like

1 komentar

  1. Lingkungan yang krisis membentuk pemikiran yang kritis
    Sama saja kakak ku:)

    ReplyDelete