Merasakan 'KKN' Sepuluh Hari di Pulau Sebesi

By Laili Muttamimah - February 12, 2017


Akhir Januari lalu, saya dan teman-teman organisasi di kampus mendapat kesempatan untuk KKN selama sepuluh hari! Sebenarnya nggak bisa dikatakan KKN, sih, mengingat ini bukan acara yang resmi diselenggarakan oleh pihak kampus, melainkan Serikat Mahasiswa (seperti BEM). Jadi, teman-teman Serikat Mahasiswa menyelenggarakan kegiatan kaderisasi bernama Jenjang 3 yang dikhususkan bagi para ketua organisasi mahasiswa baru. Kebetulan, saya terpilih menjadi ketua Parmagz Pers Mahasiswa Paramadina bulan Desember 2016. Itu mengapa, kegiatan Jenjang 3 ini menjadi bonus tersendiri untuk saya.

Kampus kami memang nggak menerapkan KKN. Ada satu program pengabdian dari kampus kami, yaitu Mahasiswa Mengabdi. Namun, nggak semua kegiatan di dalamnya didukung secara penuh dalam segi finansial oleh pihak kampus. Di sisi lain, kegiatannya juga nggak diwajibkan, jadi nggak banyak mahasiswa yang tertarik untuk ikut. Kali ini, saya dan teman-teman hanya cukup membayar 150.000 rupiah untuk biaya asuransi, sedangkan biaya lainnya ditanggung oleh Serikat Mahasiswa dan pihak kampus. Jadi, berangkatlah kami ke Sebesi, salah satu pulau yang ada di Provinsi Lampung, tepatnya Kabupaten Lampung Selatan. 

Ada sekitar 40 orang yang ikut kegiatan ini. Kami berangkat pukul 5 pagi menggunakan bus dari kampus menuju Pelabuhan Merak. Jujur, ini pengalaman pertama saya naik kapal laut! Hahaha. Selama ini, saya nggak pernah berpergian ke tempat-tempat yang dijangkau oleh kapal laut, dan saya cukup takjub ternyata naik kapal laut nggak seseram yang diceritakan orang-orang, seperti bikin mabuk laut, bau amis ikan, dan sebagainya. Kebetulan, perjalanan dari Pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakauheni juga nggak terlalu lama, hanya sekitar dua jam. Angin laut yang berhembus juga nggak terlalu kencang, jadi kami bisa puas menikmati pemandangan dari dek kapal. 

Ketika penyelenggara acara pertama kali menjelaskan tentang situasi Pulau Sebesi, saya berpikir pulau tersebut benar-benar terpencil. Mereka bercerita kalau listrik di sana hanya enam jam, mulai dari jam 6 sore sampai 12 malam. Di sisi lain, sinyal telepon di Pulau Sebesi benar-benar sulit sehingga kami harus berjalan ke dermaga kalau ingin berkomunikasi via telepon. Intinya, saya membayangkan betapa terpencilnya pulau ini.

Namun, bayangan saya salah. Begitu sampai di dermaga Tejang, kami disambut dengan rombongan warga yang baru saja pulang dari kota. Mereka mengangkut motor dan barang belanjaan (seperti sayuran, semen, dan sebagainya) dengan perahu, lalu saling gotong-royong memindahkan barang-barang tersebut. Rumah-rumah warga di sana juga termasuk modern, sudah dibuat dengan pondasi bata dan semen, bukan lagi dari kayu atau terpal. Para warga tampaknya sudah mendengar berita kedatangan kami, mereka tersenyum menyapa kami di sepanjang jalan menuju Balai Desa. 


Hanya ada satu desa di Pulau Sebesi, yaitu Desa Tejang, dan empat dusun yaitu Dusun Bangunan, Dusun Inpres, Dusun Regahan Lada, dan Dusun Segenom. Kami menetap di rumah warga di Dusun Bangunan dan Dusun Inpres. Hari pertama ketika kami sampai, kami langsung dikumpulkan di Balai Desa dan diperkenalkan dengan 'orangtua angkat' yang rumahnya akan kami tempati selama sepuluh hari kegiatan. 

Warga di sana benar-benar ramah, mereka langsung menyambut kami seolah-olah kami anak mereka. Saya kedapatan untuk tinggal di Dusun Inpres bersama dua teman saya, Amel dan Zara. Kami memanggil orangtua kami 'Ibu dan Bapak', dan satu anak perempuan mereka yang sudah kami anggap adik sendiri, yaitu Mita. Malam pertama di Pulau Sebesi mungkin menjadi momen adaptasi bagi kami, namun karena tubuh kami lumayan lelah, akhirnya kami nggak terlalu memikirkan tidur tanpa kipas angin dan sebagainya. 

Hari pertama, kami harus kumpul kembali di Balai Desa. Ibu membangunkan kami dan membuatkan sarapan. Hal ini terjadi sampai sepuluh hari kami di Pulau Sebesi, yang mana Ibu kami selalu menyiapkan sarapan dengan banyak menu setiap pagi. Jujur, kami merasa merepotkan, karena Ibu harus bangun pagi-pagi dan memasak untuk kami. Kami pun membantu Ibu setiap pagi, walaupun nggak banyak, seperti memasak dan cuci piring. Ibu bilang, Ibu suka menyiapkan sarapan karena Ibu sudah menganggap kami anak-anaknya sendiri. Hal yang sama juga dirasakan oleh teman-teman saya dengan housefam-nya masing-masing. Kami benar-benar disambut seperti bagian dari keluarga. 

Selama sepuluh hari, kami menjalankan rancangan kegiatan yang sudah disusun penyelenggara, yang kurang lebih terbagi menjadi tiga aspek yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Dalam aspek pendidikan, kami diminta untuk mengajar di SDN Tejang Pulau Sebesi selama satu hari. Saat itu, saya kebagian dalam kelas seni peran, akhirnya saya dan teman-teman mengajari adik-adik di SDN Tejang Pulau Sebesi untuk berani unjuk gigi dengan menyatakan mimpi mereka. Meski tinggal di pulau, semangat mereka sangat tinggi untuk belajar, walaupun fasilitas mereka kurang memadai. Seperti salah satu adik yang bilang ke saya kalau buku di perpustakaan sekolah mereka sedikit, hanya ada buku pelajaran dan kurang buku cerita. Padahal, mereka suka membaca dan merasa bosan karena buku yang dibaca hanya itu-itu saja. Kalau teman-teman baca tulisan ini dan berniat menyumbangkan buku cerita yang teman-teman punya, mungkin teman-teman bisa menyalurkan ke SDN Tejang Pulau Sebesi. :)

Selain mengajar adik-adik di SDN Tejang Pulau Sebesi, saya juga mendapat kesempatan mengajari warga cara membuat proposal dengan format yang biasa kami gunakan di organisasi mahasiswa,  kemudian mengajari teman-teman karang taruna bahasa Inggris dan membuat blog sebagai wadah promosi pariwisata Pulau Sebesi. Teman-teman saya yang lain juga mendapat bagiannya sendiri-sendiri, ada yang mengajar seni tari, seni rupa, sampai sharing tentang kepemimpinan.


Setelah pendidikan, kegiatan lain yang kami lakukan adalah penelitian. Penelitian kami sebenarnya bersifat observasi tentang masalah dan potensi Pulau Sebesi. Saya bersama empat teman diberi tugas untuk meneliti tentang potensi sumber daya alam Pulau Sebesi. Kami mendatangi warga-warga yang menjadi narasumber penelitian. Potensi alam Pulau Sebesi sangat banyak, namun kami mengerecutkan penelitian dari potensi perkebunan dan kelautan karena kebanyakan warga berprofesi sebagai petani dan nelayan. Hasil kebun Pulau Sebesi pun melimpah, terutama untuk cokelat, kelapa, dan rumput laut. Sedangkan hasil kebun seperti ikan-ikan segar juga menjadi penghasilan alam pulau ini. Namun sayangnya, potensi alam ini nggak bisa dimanfaatkan secara penuh oleh warga karena keterbatasan alat dan pengetahuan. Nggak pernah ada sosialisasi yang datang dari pemerintah untuk mengajari warga cara mengolah potensi alam mereka yang melimpah ini. Misalnya, hasil cokelat mereka sangat banyak, namun setelah panen, warga hanya menjemur dan menjual bijinya ke kota. Harganya pun dijual sangat murah. Padahal, kalau mereka mengerti cara mengolah biji cokelat itu, mereka bisa menjual dalam bentuk olahan dan tentunya mendapat pemasukan lebih banyak. Hal yang sama juga terjadi dengan kelapa. Mereka nggak mendapat sosialisasi cara membuat minyak kelapa, sehingga hanya menjual kelapa atau tempurungnya cuma-cuma. Mereka pastinya nggak mendapat untung yang besar, sedangkan orang-orang kota (yang mengolah sumber daya alam itu) justru mendapatkan pemasukan yang banyak. 

Dari segi kelautan, banyak nelayan yang mengeluh pekerjaan mereka nggak lagi menjamin. Salah satunya karena organisasi nelayan di pulau ini juga sudah berhenti beroperasi. Ditambah lagi, banyak oknum-oknum nggak bertanggug jawab yang mengebom laut dan merusak terumbu karang seenaknya, sehingga hasil ikan yang mereka dapat nggak banyak. Sebenarnya, ikan di Pulau Sebesi segar-segar. Bahkan kami makan ikan setiap hari dan rasanya selalu enak, beda seperti ikan yang kami makan di Jakarta. Namun, lagi-lagi, para warga nggak punya ide untuk mengolah potensi alam ini.

Proses penelitian ini seperti fenomena gunung es yang ketika kita mencari tahu lebih banyak, kita akan dikejutkan dengan lebih banyak fakta mengenaskan. Nggak cuma dari segi sumber daya alam, tetapi juga pendidikan (hanya ada satu SD, SMP, dan SMA di Pulau Sebesi) sampai infrastruktur. Fakta ini terungkap pelan-pelan ketika kami diminta untuk mengelilingi empat dusun dan mewawancarai Kepala Dusun, Ketua RT, serta warga yang kami temui tentang keluhan mereka di Pulau Sebesi. Ternyata, dusun yang kami tempati termasuk menjadi dusun yang maju, mungkin karena letaknya dekat dengan dermaga utama Tejang sehingga akses dan fasilitas yang mereka miliki lebih lengkap. Sedangkan untuk Dusun Regahan Lada dan Segenom, banyak dari mereka yang hidup tertinggal, nggak punya listrik, bahkan belum punya MCK sendiri. Ini yang menjadi masalah utama para Kepala Dusun, namun sayang aspirasi mereka jarang didengar oleh Kepala Desa sehingga belum ada perubahan berarti yang terjadi.

Ada satu kegiatan ketika kami diminta melakukan 'ziarah diri', yaitu membawa barang bawaan kami dan hanya dibekali uang 20.000 rupiah untuk dua orang, kami harus menjalankan misi penelitian ke dusun-dusun tadi. Nantinya, kami harus bertemu dengan para penyelenggara di Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan. Di sini, kami belajar untuk hidup dengan keterbatasan, untungnya warga Pulau Sebesi benar-benar baik karena menawarkan kami makan siang-malam dan tumpangan untuk tidur (kami sudah nggak boleh tidur di rumah housefam, jadi kami bermalam di dusun Regahan Lada). Banyak hal menarik yang saya temui ketika 'ziarah diri', mulai pemandangan Pulau Sebesi yang semakin indah ketika ditelusuri lebih jauh, teman-teman saya yang rela menjadi kuli angkut, kuli bangunan, dan pelayan warung makan untuk mendapatkan uang, juga cerita-cerita dari warga yang membuat saya berpikir Pulau Sebesi ini mirip seperti miniatur nyata Harvest Moon. Hahaha.


Terjun ke dalam masyarakat membuat kita belajar sekaligus bersyukur bahwa apa yang kita miliki sekarang nyatanya lebih dari cukup. Kita masih bisa menikmati listrik 24 jam, bolak-balik ke supermarket, bahkan menghabiskan akhir pekan di mal. Perjalanan sepuluh hari di Pulau Sebesi benar-benar membawa cerita dalam hidup saya, yang mungkin nggak bisa saya ceritakan dengan detail di sini, karena saya bahkan nggak bisa mendeskripsikannya dengan kata-kata. Memang pengabdian secara fisik yang kami lakukan nggak besar, seperti hanya membuat landmark, papan jalan, dan memberi buku, tapi saya berharap kehadiran kami juga membawa kenangan tersendiri bagi warga Pulau Sebesi. Saya nggak akan pernah melupakan masa-masa ketika kami mengajak warga menonton film malam-malam dengan taburan bintang di atas kami, atau menikmati hujan dari Balai Desa, makan indomie sambil mencari sinyal di warung kecil pinggir dermaga, dan mengganti setiap keterbatasan yang kami miliki dengan keakraban satu sama lain. 

Terkadang, kita perlu menjauh dari hiruk-pikuk perkotaan, juga kehidupan di media sosial, untuk menyadari bahwa hal-hal nyata dan sederhana sesungguhnya lebih berarti. Kami belajar bagaimana menghargai setiap kawan yang sedang bicara tanpa memainkan ponsel, nggak memedulikan bagaimana kusamnya wajah dan kulit kami hanya untuk mendapatkan selfie yang bagus, juga hal-hal kecil yang mendadak menjadi berharga ketika kita benar-benar mensyukurinya.


Bonus lain yang kami dapatkan dari Jenjang 3 ini adalah main di Pulau Umang-Umang! Pulau kecil ini terletak di samping Pulau Sebesi, bisa dijangkau dengan kano atau perahu. Pulaunya benar-benar indah, pasirnya putih, airnya biru, pokoknya cocok banget buat refreshing


Saat berpisah dengan housefam kami, suasana benar-benar haru karena kami merasakan kekeluargaan yang sesungguhnya dari orangtua angkat kami. Entah kapan kami akan kembali lagi ke Pulau Sebesi, tapi kami yakin, orangtua angkat kami akan selalu menunggu kami 'pulang'. Ibu, terima kasih banyak sudah menjadi Ibu saya selama sepuluh hari. Yang membangunkan saya setiap pagi, membuat sarapan enak, juga mengobrol sampai malam sambil makan pisang rebus bersama. Semoga saya bisa membalas kebaikan Ibu suatu hari nanti. 


Kami menutup kegiatan ini dengan melakukan audiensi dengan pihak Kabupaten di Kalianda. Kami menjelaskan hasil observasi kami kepada mereka dan meminta bantuan mereka untuk menangani permasalahan di Pulau Sebesi. Meski kami tahu, menggerakkan pemerintah hanya dengan audiensi nggak menjamin perubahan yang cepat dan besar (walau kami ini mahasiswa yang katanya adalah motor penggerak perubahan), setidaknya data yang kami punya bisa membantu mereka untuk menyusun strategi ke depannya.

Mungkin saya nggak mendapatkan pengalaman KKN berbulan-bulan seperti teman-teman mahasiswa di luar sana, tapi pengalaman sederhana selama sepuluh hari di Pulau Sebesi benar-benar membuka mata saya bahwa berbagi dan bersyukur adalah kunci untuk memaknai hidup yang sebenarnya. Saya sadar bahwa kita bisa berkontribusi kepada orang lain melalui hal-hal yang kita kuasai, tidak melulu sesuatu yang besar dengan pengeluaran yang banyak. Semoga saja, kontribusi sederhana yang kita berikan bisa memicu perubahan yang lebih besar ke depannya. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar