Tentang Dia yang Tak Asing Lagi

By Laili Muttamimah - May 10, 2017


Saya terdiam cukup lama ketika membuka laman ini. Nggak terasa, sudah tiga bulan saya meninggalkan blog tanpa memosting apa pun. Ya, tiga bulan. Saya harap kesalahan ini bisa termaafkan. Ada banyak hal yang terjadi dalam tiga bulan terakhir, yang kali ini membuat saya bingung ingin menceritakannya dari mana. Tapi, ayo kita mengilas balik beberapa kenangan yang pernah saya bagi di postingan saya sebelumnya. 

Kenangan tentang orang asing itu.

Ya, mungkin sebagian dari kalian yang mengikuti perjalanan blog saya tahu siapa orang itu. Seseorang yang saya temui dalam kegiatan Jenjang 3 di Pulau Sebesi, Lampung Selatan, yang entah bagaimana semesta berkonspirasi untuk mempertemukan saya dengan orang itu lagi. Hahaha.

Ketika kami tiba di Jakarta setelah menempuh 1,5 jam perjalanan dari Pelabuhan Merak, saya berpikir mungkin setelah ini nggak akan ada lagi momen antara saya dan orang itu. Ditambah lagi, saat dia berpamitan kepada saya dan teman-teman, lalu pergi keluar dari gerbang kampus, saya mulai melepas ekspektasi saya perlahan-lahan. Kami memang berada di kampus yang sama, tapi saat itu sosoknya masih sangat asing. Jujur saja, saya nggak kenal orang itu sepenuhnya, bahkan nggak pernah lihat dia di kampus. Saya juga belum terlalu dekat dengan teman-temannya saat itu, jadi saya menyimpulkan nggak ada alasan yang bisa membuat saya berhubungan dengan orang itu lagi. Kecuali satu hal, kami sama-sama tergabung dalam tim finalisasi riset. Tapi, saya juga nggak berpikir kami akan punya kesempatan yang lain, toh kami juga harus mengejar deadline agar riset itu cepat selesai. 

Suatu malam, saya pernah memberanikan diri untuk mengirim chat ke orang itu. Saat itu, saya bertanya tentang username akun promosi yang akan digunakan karena dia adalah koordinator Project Leaders kami. Tapi, ternyata orang itu belum menambah saya sebagai temannya di LINE. Caranya membalas chat saya pun terkesan hanya formalitas. Bahkan, di akhir chat, dia hanya memberi satu stiker thumbs up yang membuat saya mendadak mematikan ekspektasi pada orang itu. Sejak malam itu, saya memutuskan untuk nggak memikirkan dia lagi.

Sampai hari ketika kami bertemu untuk membahas riset, saya sempat mengobrol dengannya, tapi berusaha untuk nggak banyak bicara. Pulangnya, salah satu teman saya mengajak saya ikut pergi ke Flip Burger, dan memberi kode kalau orang itu juga ikut. Lagi-lagi, saya berusaha untuk nggak berekspektasi. Di sana, saya juga nggak mengobrol banyak, meski orang itu jelas-jelas duduk di hadapan saya. 

Tapi, ketika saya mulai nggak mengacuhkan orang itu lagi, dia justru mengirim chat ke LINE saya esok malamnya untuk meminta foto house fam-nya di Pulau Sebesi. Singkatnya, kami mulai sering chatting dan mengobrol tentang banyak hal sejak malam itu, dari yang serius sampai nggak penting sekali pun. Anehnya, caranya dia mengirim chat pada saya berbeda dengan yang dia lakukan ke teman-temannya, bahkan cenderung talkative. Saya nggak bisa memungkiri, momen itu membuat saya (untuk pertama kalinya) kembali tersenyum ketika membaca chat dari laki-laki. Bahkan, saat itu, pelan-pelan saya mulai melupakan sakit hati yang saya rasakan sebelumnya, dan mulai menikmati perasaan yang hadir karena orang itu.

Suatu hari, tiba-tiba dia mengajak saya nonton, dan kami pergi ke bioskop favorit saya di Jakarta, Planet Hollywood. Entahlah, saya selalu suka PH karena tempatnya nggak terlalu ramai seperti bioskop di mal-mal. Kami akhirnya menonton Split, meski dia sangat ingin menonton John Wick 2 tapi terlambat karena kehujanan di jalan. Meski kami berdua nggak terlalu suka film itu, tapi hangout pertama kami terasa menyenangkan. Untuk pertama kalinya juga, secara langsung, saya mengobrol dengan orang itu. Tentang film, keluarga kami, teman-teman kami, dan masih banyak lagi.

Jujur, saya sempat berpikir mungkin saya akan kembali memulai hubungan di usia 23 tahun atau mungkin nggak akan sama sekali, karena trauma yang saya rasakan tentang hubungan di masa lalu cukup membuat saya hambar tiap kali dekat dengan laki-laki. Tapi, kali ini, di luar ekspektasi, saya justru memulai hubungan lebih cepat, dengan seseorang yang dulu sangat asing bagi saya. 

Saya sadar, bahwa kami berdua sama-sama nggak pernah mencari, tapi saling menemukan dan menyembuhkan. Karena ternyata, dia juga sudah lama nggak memulai hubungan karena beberapa alasan di masa lalunya. 

Hubungan kami mungkin baru berjalan dalam hitungan bulan, tapi menjalani hari-hari bersama orang itu rasanya seperti pengalaman baru. Untuk pertama kalinya, saya nggak punya banyak pertimbangan ketika memutuskan berpacaran dengan seseorang, meski saya dan orang itu benar-benar berbeda. Kepribadian saya ENFJ dan dia ESTJ, yang mana saya adalah orang yang memainkan intuisi dan feeling saya, sedangkan dia orang yang cenderung kaku dan logis. Saya adalah penggila sastra dan nggak pernah tertarik dengan politik, sedangkan dia sangat menyukai high politic, dan nggak pernah membaca novel seumur hidupnya. Berbeda, jelas. Tapi, nyatanya hal itu nggak membuat saya takut. Kami justru saling belajar dari sifat maupun ketertarikan satu sama lain. Saya pun mulai paham tentang politik walaupun cuma hal-hal kecil, dan dia mulai belajar untuk memahami orang lain.

Saya selalu suka bertemu dengan orang-orang yang bisa membawa saya pada deep conversation, dan saya senang ketika dia bisa melakukannya. Nggak jarang, kami mengobrol sampai pukul tiga pagi di telepon, membahas tentang apa pun. Meski ketika di toko buku, kami berdiri di rak yang berbeda (Dia di Military & War, saya di Young Adult Fiction), nyatanya kami masih bisa sharing tentang ketertarikan masing-masing.

Ketika banyak orang bertanya, mengapa saya bisa memulai begitu cepat? Sejujurnya, ini nggak cepat. Saya membutuhkan waktu tiga tahun untuk bisa memulai kembali. Dan orang itu, memberikan saya kepastian yang mungkin nggak saya temui di diri orang lain. Orang itu mungkin sering dipandang kaku oleh sekelilingnya, tapi lewat dia, saya belajar untuk jujur dan nggak bertele-tele. Meski saya tahu, sosoknya yang asli nggak sekaku kelihatannya. Ia juga mendengarkan lagu Adele, Kodaline, dan mellow di beberapa adegan film, sebenarnya. Well, he's still human. :p

Mungkin alasan terbesar mengapa saya bisa dengan cepat merasa nyaman dengannya adalah karena saya menemukan sosok ayah saya dalam dirinya. Yang kelihatan dingin dan kaku, tapi sebenarnya hangat pada orang-orang yang ia sayang. Yang bertanggung jawab dan selalu melindungi saya meski dari hal-hal kecil, seperti membiarkan saya jalan di bagian dalam saat di trotoar, memotong makanan saya dengan tangan walaupun masih panas agar saya bisa lekas makan, sampai refleks menggandeng tangan saya tiap kali kami akan menyeberang. Alasan lain, mungkin karena hubungan kami terasa kasual, nggak ada fase pendekatan, gombal-gombalan, dan sebagainya. Dan yang terpenting, orang itu selalu menjadi support system, yang sabar menghadapi saya ketika saya banyak pikiran, lelah dengan organisasi, juga mendengarkan semua keluh kesah saya, dan memberi masukan setelahnya.

Seseorang pernah berkata bahwa hubungan bukanlah piknik, tetapi kerja keras. Saya tahu, saya dan dia memang nggak sempurna--mungkin suatu hari kami akan bertengkar dan punya kesalahan--tapi yang kami lakukan sekarang adalah menjalani hubungan ini sebaik mungkin.

Dari kehadiran orang itu, saya belajar bahwa kita mungkin pernah merasa berada di titik terendah dalam hidup karena seseorang, namun Tuhan pasti membayar semuanya dengan sesuatu yang bahkan nggak pernah kita ekspektasikan. Kita pun nggak pernah tahu, bahwa terkadang kita terlalu sibuk mencari seseorang yang nggak terjangkau, dan mengabaikan dia yang ada di sekeliling kita. Bahwa sebenarnya, orang yang kita cari nyatanya lebih dekat dari apa yang kita sadari. Ini bukan hanya persoalan waktu, tapi usaha kita untuk membuka hati dan memulai kembali. :)

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar