Integritas di Tengah Budaya Pragmatis

By Laili Muttamimah - January 01, 2017


Dewasa ini, integritas telah menjadi satu hal yang marak digembar-gemborkan oleh masyarakat. Integritas dianggap sebagai alat pengukur konsistensi seseorang, yang mana sering kali dikaitkan kepada generasi muda. Generasi muda yang dianggap sebagai motor penggerak dan pelopor perubahan untuk masa depan, dinilai wajib memiliki integritas dalam dirinya. Akan tetapi, apakah menanamkan integritas di dalam diri setiap orang adalah hal yang mudah? Integritas bukanlah persoalan reputasi, melainkan kesesuaian anatara perkataan dan perbuatan. Integritas adalah konsistensi yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keteguhan dalam mempertahankan kejujuran. Apakah kini semua orang, termasuk generasi muda, memiliki integritas dalam dirinya? 

Kenyataannya, integritas adalah barang langka yang tak mudah didapatkan. Kenyataannya, banyak orang sibuk menyuarakan integritas sebagai kunci kemajuan suatu bangsa, namun tak diimbangi oleh perbuatan mereka dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. 

Salah satu godaan besar integritas adalah budaya pragmatis. Dalam dunia yang semakin terbuka akan modernisasi, banyak orang memilih untuk melakukan sesuatu secara instan. Ketika dunia ini telah berubah menjadi instan, maka kemustahilan sekejap menjelma jadi kemungkinan. Tidak sedikit masyarakat, terutama generasi muda, seolah melupakan arti penting dari ‘berusaha’ dan menjadikan kemodernan itu sebagai fasilitas untuk mendapatkan sesuatu secara praktis. Tak jarang, mereka menghalalkan segala cara untuk meraih kepentingan agar mendapat hasil yang memuaskan. Ketika masyarakat mudah mendapatkan sesuatu secara praktis, akankah integritas masih berdiri kokoh dalam diri mereka? Budaya pragmatis memang menjadi hal positif jika dikaitkan dengan inovasi yang berujung pada pembangunan suatu negara. Akan tetapi, jika budaya pragmatis dijadikan alat untuk mencari jalan pintas, kita sama saja telah berbuat curang.

Dimulai dari hal kecil, seperti mencontek saat ujian dan menitipkan absen ke teman. Di dunia digital yang semakin terbuka, beberapa generasi muda memanfaatkan Google untuk membantu mereka menemukan jawaban saat ujian. Bagi mereka, mencontek sudah menjadi hal yang lazim, karena secara tidak langsung hal itu pun telah membudaya di kalangan pelajar. Ditambah lagi, jika orang-orang di sekitar mereka melakukan hal yang sama. Titip absen juga menjadi fenomena yang tak terhindarkan, khususnya di kalangan mahasiswa. Bahkan, banyak mahasiswa menilai solidaritas seseorang melalui perilaku titip absen tersebut.

Sungguh ironis ketika banyak orang kini menganggap bahwa mencontek dan menitip absen adalah sebuah kebiasaan, yang mana hal itu tidak lagi menjadi sesuatu yang disegani. Selain titip absen dan mencontek, apakah perbuatan curang lainnya juga dianggap sebagai sesuatu yang biasa? Persoalan mencontek memang terjadi pada konteks personal yang mana hal itu tidak merugikan orang lain dalam segi materi secara besar-besaran, tetapi apakah mencontek itu adil jika terus-menerus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari? Padahal, ujian adalah salah satu bentuk evaluasi pembelajaran mahasiswa, yang mana mereka ditantang untuk menguji diri sendiri sejauh mana mereka bisa memahami materi selama perkuliahan. Sayangnya, ujian saat ini dipandang sebagai suatu masalah yang harus dihadapi, bagaimana pun caranya, yang penting hasil akhirnya memuaskan. Banyak mahasiswa kini lebih berorientasi pada hasil, bukan lagi proses. Inilah salah satu bukti dari budaya pragmatis. Tak hanya itu, persoalan titip absen juga mampu menggoyahkan integritas mahasiswa. Mereka seolah menyepelekan peraturan yang ada dan mementingkan diri mereka sendiri. Lebih parahnya, mereka yang mau menuliskan absen untuk temannya, seolah tidak menyadari bahwa mereka telah dibodohi karena hadir di kelas hanya untuk mengisi absen temannya yang tidak hadir. Sayangnya, lagi-lagi, banyak orang menganggap hal itu adalah sesuatu yang biasa.

Dalam Teori Chaos, ada satu istilah yang disebut dengan Butterfly Effect. Istilah ini pertama kali dipakai oleh Edward Norton Lorenz, merujuk pada pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Kepakan sayap kupu-kupu secara teori menyebabkan perubahan-perubahan sangat kecil dalam atmosfir bumi yang akhirnya mengubah jalur angin ribut (tornado) atau menunda, mempercepat, bahkan mencegah terjadinya tornado di tempat lain. Kepakan sayap ini merujuk kepada perubahan kecil dari kondisi awal suatu sistem, yang mengakibatkan rantaian peristiwa menuju kepada perubahan skala besar.

Jika dikaitkan dengan persoalan sebelumnya, Butterfly Effect ini bisa saja terjadi jika kita menyepelekan hal-hal kecil. Mungkin banyak orang memandang bahwa mencontek atau titip absen bukanlah hal yang harus dicegah dan dikhawatirkan secara serius, karena itu hanya ‘perbuatan kecil’. Tapi, tanda disadari, perbuatan itu telah meruntuhkan integritas seseorang, yang mana jika tidak dilawan, akan terus tumbuh menjadi sebuah kebiasaan. Kita tidak pernah tahu, bahwa perbuata kecil seperti mencontek bisa berakhir menjadi pengorupsian uang secara besar-besaran. Semua ini tidak hanya dilihat dari tindakannya, tetapi juga nilai integritas yang tidak lagi dijunjung.

Ini adalah tantangan bagi kita semua. Coba bertanya pada diri masing-masing, apakah kita ingin terus menjadi bangsa yang terjajah oleh budaya instan dan menghalalkan segala cara? Tentu saja, pendidikan karakter harus lebih diutamakan dalam sistem pendidikan di Indonesia saat ini. Akan percuma jika kita menelan berbagai ilmu yang mendukung kemajuan bangsa, namun tetap mengisap karakter yang bobrok dalam diri kita. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter kuat dalam dirinya. Jangan malu jika hasil belajar membuatmu tak puas, malulah jika hasil itu didapat dengan cara yang culas. Mengubah karakter pun tak bisa dilakukan sekejap mata, semuanya butuh proses, tergantung bagaimana kita bertekad untuk memulainya. Jadikanlah budaya pragmatis sebagai masa lalu yang harus diperangi, bukan menjadi masa yang terus-menerus disinggahi. Bersiaplah untuk membangun masa depan yang lebih baik sebagai generasi yang tegas, generasi berintegritas.

(Tulisan ini juga diposting di laman Young On Top https://www.youngontop.com/articles/integritas-di-tengah-budaya-pragmatis

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar