Fuyu no Sakura: Airi's Story

By Laili Muttamimah - March 27, 2018

Credit: Paulo Evangelista on Unsplash


Napasku memburu. Udara musim dingin membuat tulang-tulangku ngilu. Uap putih menguar dari mulutku bersamaan dengan napas yang tersendat karena berlari terlalu jauh. Aku tidak mengacuhkan air mata yang sejak tadi menghangat di pipiku, juga rasa sakit yang meletup-letup dalam dadaku. Kubiarkan orang-orang mengumpat karena sejak tadi aku menyenggol pundak dan menghalangi jalan mereka. Aku tidak peduli, dunia ini benar-benar membuatku penat.

Brak!”

“Selamat datang,” Suara lembut ibu menyambut dari arah dapur, namun aku tidak mengacuhkannya dan melangkah cepat menuju kamar mandi. “Airi... kenapa tidak memberi salam?”

Aku tidak menjawab dan mengunci pintu kamar mandi rapat-rapat. Aku tak bisa menahan diri lagi, ucapan mereka menggema di telingaku, membuat dadaku semakin nyeri. Kubuka tutup kloset dan kubungkukkan tubuhku di depannya. Air mataku merebas, menimbulkan tetesan kecil di dalam kloset.

Kau dengar, kan, Akiyama? Kau obesitas.

Kumasukkan telunjuk ke kerongkongan dan kutekan-tekan perutku sampai mual, berharap bisa memuntahkan sesuatu dari tubuhku yang mereka bilang obesitas ini. Mataku memanas, perutku mulai terasa sakit karena tekananku sendiri.

Memangnya kau tidak sadar betapa gemuknya dirimu? Lihat lipatan-lipatan perutmu, seperti kuda nil, kau tahu? Bukankah kami pernah mengingatkanmu untuk berolahraga?

Tangisku semakin pecah. Isi perutku keluar memenuhi kloset. Kutekan tombol flush lalu kuulangi lagi hal yang sama. Aku terus mengeluarkan muntahan sekeras yang aku bisa. Kudengar ibu memukul pintu sembari memanggilku. Namun, aku tidak berhenti.

Kenapa kau menangis, Akiyama? Kau sedih karena aku menyebutmu gemuk?

Aku ingin memuntahkan semuanya agar mereka tidak menyebutku dengan kata itu lagi. Aku benar-benar muak. Aku benci dengan tubuh gemuk ini.

Cairan pahit keluar dari mulutku. Kujatuhkan tubuhku di depan kloset dan menangis sejadinya. Perutku kram, aku tidak bisa mengeluarkan apa pun lagi. Kepalaku pening, pandanganku berputar-putar. Dengan susah payah, aku menegakkan tubuh dan membuka kunci pintu. Hal pertama yang kulihat adalah raut wajah cemas ibuku, ia menarik tanganku untuk mendekat dan mengusap pipiku.

“Airi... ada apa denganmu?” tanyanya getir. Namun aku hanya bisa menunduk, tak lagi memiliki tenaga untuk menatap apalagi menjawab pertanyaannya.

“Apa yang terjadi? Ada masalah apa dengan tes kesehatanmu?”

Aku melepaskan diri dari genggaman ibuku dan berjalan cepat menuju kamar. Mengurung diri adalah hal yang ingin sekali kulakukan kali ini. Aku tidak bisa lagi menahan rasa kecewa yang ditumpahkan padaku sejak dua tahun terakhir. Rasanya aku ingin meledak dan menancapkan kepingan kekecewaan itu pada semua orang.

Mereka tak pernah tahu apa yang sesungguhnya aku rasakan. Gadis itu, Miyazaki Sora, tampaknya tak pernah puas menjadikanku sebagai boneka penindasannya. Entah kesalahan apa yang kuperbuat, ia seperti membenciku sampai ke ubun-ubun. Sejak aku bertemu dengan Miyazaki, aku mulai tak menyukai hidupku. Sekolah adalah neraka bagiku karena di sana aku akan bertemu dengan gadis itu dan menjadi korban kesenangannya entah untuk ke berapa kalinya. Mataku tertuju pada kacamata dengan gagang patah yang kini teronggok di atas meja belajar. Kacamata yang kudapat dari hasil menabung selama dua bulan, diinjak begitu saja olehnya seolah benda itu tak berharga. Ia tak pernah tahu bagaimana aku kesulitan melihat tanpa kacamata itu. Ia tak pernah tahu bahwa menangis adalah satu rutinitas yang kulakukan tiap kali tiba di rumah karenanya. Aku tak pernah mencampuri urusannya, namun gadis itu selalu saja merusak hari-hariku. Selama dua tahun, aku tidak memiliki teman di sekolah. Aku tidak memiliki seseorang yang bisa kuajak berbagi, menemaniku makan siang, belajar bersama, atau pergi ke tempat-tempat menyenangkan seperti yang ia lakukan bersama teman-temannya. Aku merasa tidak adil karena mendapatkan itu semua tanpa tahu apa salahku!

Sayangnya, aku selalu dikalahkan oleh rasa takut dan tidak percaya diri untuk melawannya. Aku memilih untuk menyimpan rasa sakitku, membiarkannya mengendap, dan meluapkannya dengan tangisan. Diam adalah caraku untuk menutupi rasa sakit meski kutahu hal itu justru menambah lukaku dengan menyerahkan diri untuk penindasan-penindasan selanjutnya.

Ucapan Miyazaki saat tes kesehatan tadi tertancap di benakku. Sensei mengatakan berat badanku meningkat, kali ini melebihi tinggi tubuhku. Ia mengatakan bahwa kondisiku sekarang obesitas dan tidak baik bagi kesehatan. Aku sangat paham dengan hal itu, berbagai informasi tentang obesitas sudah kuketahui bahkan sebelum tes itu berlangsung. Namun, tubuh gemuk ini datang karena aku tidak bisa menahan rasa laparku. Ibu selalu bilang bahwa makanan adalah rezeki yang harus disyukuri, karena itulah aku tak pernah memilih soal makanan dan menyantap apa pun yang disediakan di rumah. Belum lagi camilan-camilan yang selalu menjadi teman belajarku, aku benar-benar tidak bisa menyingkirkan mereka. Namun aku tahu, aku tidak bisa seperti ini selamanya.

Aku harus menjadi kurus.

Aku akan membuktikan pada Miyazaki bahwa aku bukan lagi gadis gemuk yang bisa diolok-olok seenaknya! Mulai hari ini, aku tidak akan menyentuh makanan apa pun yang disediakan ibu. Aku akan berhenti.

Ketika jam makan malam tiba, aku tidak keluar dari kamarku. Ibu lagi-lagi mengetuk pintu sambil memintaku keluar. Kudengar suara ayah turut memanggilku, ia sudah pulang rupanya. Mereka membujukku untuk makan malam bersama, namun aku tidak menghiraukannya. Rasa lapar bercampur nyeri dalam perutku pun tidak kupedulikan. Aku hanya menangis sambil menyembunyikan wajahku di atas bantal. Kepalaku terasa semakin lengar, pandanganku seolah dikerubuti semut, dan perlahan-lahan... segalanya menggelap.

***
“Aku pulang.”

Pandanganku tertuju ke arah pintu, mendapati ibu masuk sambil tersenyum. Kulihat tangan kirinya memegang bungkusan yang cukup besar, sepertinya ia baru saja berbelanja.

“Selamat datang.”

Ibu berjalan menuju dapur, sementara aku kembali pada tayangan berita di televisi. Lima hari yang lalu, aku dilarikan ke rumah sakit. Menyadari aku tak kunjung menjawab sahutan orangtuaku malam itu, ayah nekat mendobrak pintu dan menemukanku pingsan di tempat tidur. Aku mendapat perawatan intensif selama dua hari di rumah sakit, merasakan tusukan infus, dan makan makanan rumah sakit yang hambar. Ya, aku terpaksa makan karena tidak punya pilihan lain. Setidaknya, makan makanan tawar itu membuatku dipulangkan lebih cepat.

Anehnya, beberapa teman sekelasku datang menjenguk. Mungkin ibu menelepon wali kelasku dan mengabarkan kondisiku. Aku merasa canggung pada teman-temanku, sedikit tidak percaya bahwa mereka rela datang hanya untuk mengetahui keadaanku. Pastinya, tidak ada Miyazaki Sora dan teman-temannya di antara mereka. Namun entah kenapa, aku menemukan setitik kehangatan dari kehadiran teman-temanku.

“Kau sudah minum obatmu, Airi?”

“Sudah, Bu.”

Aku melirik gelas di tanganku. Cairan berupa cuka hitam telah menjadi temanku beberapa hari ini. Aku tahu, yang ibu maksud pasti obat dengan resep dokter. Sebenarnya, aku tidak pernah menyentuh tablet-tablet itu. Cuka hitam inilah yang menjadi obatku. Obat yang akan membuatku lebih kurus dari sebelumnya.

Aku menemukan informasi tentang minuman ini di internet. Dengan frustasi, kucari segala referensi tentang cara diet paling ampuh. Salah satu artikel yang muncul memberiku saran untuk mencoba minuman ini. Lagipula diet cuka hitam memang sudah terkenal di sini. Beberapa warung minum bahkan menyediakan cuka hitam, namun mereka pasti tidak akan mengizinkanku minum banyak. Maka lekas aku membeli kurozu[1] di supermarket. Rasanya manis bercampur asam, membuatku mengernyit tiap kali meminumnya. Setelah minum kurozu, perutku langsung terasa panas luar biasa. Mungkin karena aku minum di luar dosis yang seharusnya. Tiga hari mengonsumsi minuman itu, efek samping langsung berdatangan. Panas dan mual di perut, juga pusing yang tak keruan. Namun aku mencoba menyembunyikan semua itu dari orangtuaku.

Sejak mengonsumsi obat dietku, aku tidak pernah makan. Aku hanya menemani orangtuaku di meja makan dan tidak menyantap apa pun. Bukan sekali atau dua kali orangtuaku memaksa. Dan untuk pertama kalinya, aku mendebat orangtuaku. Perasaan bersalah bersarang dalam hatiku, namun untuk kali ini, aku bertekad menurunkan berat badanku.

“Kenapa kau masih minum cuka itu?” tanya ibu dengan nada tinggi lalu meraih gelas di tanganku. “Airi, kau harus berhenti mencari penyakit.”

“Ini untuk kebaikanku, Bu."

“Apa kebaikan bagimu adalah menyakiti dirimu sendiri? Ibu cuma ingin melihatmu makan malam bersama kami, Airi. Sudah berapa banyak masakan Ibu yang kau abaikan begitu saja?"

“Aku ingin diet, Bu. Tolong jangan menahanku untuk masalah ini.”

Ibu mendecakkan lidah. “Sudahlah. Lebih baik kau bantu Ibu siapkan makan malam. Kita akan kedatangan tamu malam ini. Ibu akan buatkan makanan kesukaanmu, jadi kau harus makan."

“Tamu? Siapa?”

Belum selesai rasa penasaranku, bel pintu rumahku berbunyi. Ibu memainkan alisnya, memintaku untuk membukakan pintu. Ketika aku memutar kenop, seorang cowok berdiri di hadapanku. Mataku membesar. cowok itu menyeringai lebar. Rambut hitamnya terlihat rapi, sepertinya baru saja dipotong. Ia mengenakan sweter merah gelap dan celana khaki.

“Hai, Airi-chan,” sapanya. “Wow, ke mana kacamatamu?”

“Yuki...” bisikku, tidak percaya melihat sahabat kecilku yang sudah lama tidak kujumpai kini berdiri di depanku. “Itu... nanti saja kuceritakan.”

“Kau tidak mempersilakan aku masuk? Di luar dingin, tahu.” 

“Ah... masuklah, Yuki.”

“Omong-omong, aku bawa es krim dan puding kesukaanmu. Maaf tidak menjengukmu di rumah sakit kemarin. Ibumu bilang, kau sedang tidak nafsu makan akhir-akhir ini. Tumben sekali.” Yuki menyodorkan kantong putih padaku.

Dengan ragu, aku menerimanya.

Sato Yuki tinggal beberapa blok dari rumahku, kami selalu bersama sejak kecil. Namun semenjak ia diterima di salah satu SMA terbaik di Nagano, kami jarang bertemu karena ia menetap di rumah pamannya. Sepertinya sekarang ia sedang mendapat jatah liburan musim dingin. Aku tidak percaya ia tiba di Tokyo dan mampir ke rumah kami tanpa memberitahuku terlebih dahulu.

Yuki membungkukkan badan dan bertukar sapa dengan ibuku, ibuku menyambutnya dengan semringah. Aku meletakkan oleh-oleh dari cowok itu di kulkas dan membantu ibuku menyiapkan makan malam. Ibuku memasak banyak sekali teppanyaki, makanan kesukaanku. Biasanya aku akan melahap makanan itu dengan porsi besar, namun kali ini aku harus menahan diri.

Ketika ayahku pulang, kami pun duduk melingkar di meja makan. Aku menatap mangkuk nasi dan sup yang ada di depanku, tidak berselera untuk memakannya. Aku beranjak dan kembali mengisi gelasku dengan cuka hitam. Ketika aku kembali, kulihat orangtuaku mendengus sambil menggelengkan kepala, sedangkan Yuki mengernyitkan dahinya. Aku tidak menghiraukan mereka, hanya meneguk cairan itu sambil menahan napas.

“Kenapa kau tidak memakan nasimu, Ai? Aneh sekali, biasanya kau makan teppanyaki seperti babi kelaparan,” cibir Yuki sambil meraih satu daging lagi dari teppan. “Cepat makan atau kuhabiskan bagianmu!”

“Habiskan saja,” jawabku singkat.

Yuki langsung menatap orangtuaku.

Sepertinya, ibuku paham maksud dari tatapan cowok itu. “Akhir-akhir ini, dia cuma mau minum kurozu. Aku sudah lelah menyuruhnya makan. Padahal dia baru saja pulih.”

“Kami sudah coba menasehatinya, tapi dia keras sekali.” Ayahku menambahkan.

“Apa gunanya cuka hitam itu, hah? Kau mau diet?”

Aku tidak menjawab, hanya merasakan panas yang menjalar di perutku. Tiba-tiba, aku merasa mual. Dengan cepat, aku bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Di sana, aku kembali mengeluarkan isi perutku yang hanya berupa cairan dan cairan.

Makan malam selesai dan aku sama sekali tidak menyentuh nasiku. Yuki menghampiriku di ruang duduk dengan raut wajah kesal. Aku tahu ia akan memarahiku setelah ini. Namun sebelum itu, aku ingin ia tahu masalahku. Aku tidak ingin ia menghakimiku begitu saja.

 “Apa yang terjadi, Ai?” Suara Yuki terdengar serius.

Aku menghela napas. “Sensei bilang aku obesitas...”

“Lalu?”

“...karena itu aku harus menurunkan berat badanku.”

“Tapi kau tidak perlu terlalu keras pada dirimu sendiri.”

“Aku tidak tahan, Yuki. Kau tidak tahu betapa aku frustrasi karena semua orang mengejekku gemuk dan menjauhiku!” Mendadak, air mataku meleleh. “Hanya karena aku gemuk, aku tidak memiliki teman. Hampir setiap hari seseorang menindasku dan tak ada satu pun yang membantu. Kau tak pernah tahu itu, kan?!”

Aku tidak pernah meledak-ledak seperti ini sebelumnya, namun tampaknya Yuki mengerti. Ia menatapku dengan tenang dan tatapan itu sama sekali tidak merendahkanku.

“Satu-satunya teman yang kupunya cuma kau, Yuki. Tapi sekarang sekolahmu jauh dan aku harus menjalani semuanya sendirian. Kau tidak tahu betapa menyakitkan rasanya.”

Yuki tidak berkata apa-apa, hanya menyeringai lalu merengkuhku. Kubenamkan wajahku di bahu cowok itu dan menangis sepuasnya. Sudah lama sekali aku menantikan kehadiran seseorang untuk kutumpahkan segala kegelisahanku. Aku tahu Yuki adalah orang yang tepat, karena itu aku senang ia ada di sini.

“Aku ingin mengatakan tiga hal padamu,” kata Yuki sambil menatapku. “Pertama, kau membuat ibumu sedih karena tidak memakan masakan yang susah payah ia buat untukmu. Kedua, cuka hitam memang sehat, tapi kalau kau meminumnya berlebihan, asam asetat hanya akan menyiksamu, bukan menurunkan berat badanmu. Ketiga, bahuku pegal.”

Dengan cepat aku menegakkan tubuh. “Maaf.”

Yuki tertawa. “Ne... aku hanya bercanda, Ai. Aku rela kau buat sweterku basah kuyup karena air matamu,” ujarnya, namun cepat-cepat ia meralat, “Ah, tidak. Jangan menangis, Ai! Aku tidak suka melihatnya.”

Kini, aku tersenyum dan memukul bahunya pelan. “Kau benar-benar menjengkelkan.”

“Omong-omong, besok kau ada waktu? Aku ingin mengajakmu ke Fujioka.”

“Fujioka? Untuk apa?”

Yuki tersenyum misterius. “Kau penasaran, ya? Kalau begitu kau harus ikut! Aku akan menjemputmu besok pukul tujuh pagi dan jangan sampai kau lewatkan sarapanmu!”

Aku terperangah melihatnya, namun lagi-lagi, Yuki hanya menampilkan seringai konyolnya padaku. Aku pun mengangguk dan kembali melanjutkan obrolan dengan cowok itu. Kami membicarakan banyak hal, termasuk perlakuan-perlakuan buruk yang kuterima di sekolah. Yuki mendengarkanku dengan sabar dan sama sekali tidak menginterupsi. Sepertinya malam itu adalah malam terhangat sepanjang dua tahun terakhirku.

***
Tepat pukul tujuh, Yuki sudah tiba di rumahku dengan mantel abu-abunya. Cuaca tidak terlalu dingin pagi ini dan salju belum terlihat meluncur dari kaki langit. Aku dan Yuki berjalan menuju terminal, menunggu bus yang akan berangkat menuju prefektur Gunma. Sejak tadi Yuki menanyakan apakah aku menghabiskan sarapanku, aku pun memastikan kalau aku benar-benar sarapan pagi ini. Khusus untuk pagi ini saja, kurasa.

“Memangnya kita akan pergi ke mana?” tanyaku ketika kami sudah menempati tempat duduk di sisi kiri bus.

“Nikmati saja perjalananmu, Ai.”

“Ah... biar kutebak, Fuji Fureaikan?”

Yuki mendecak lidah. “Bisakah kau menahan rasa penasaranmu? Memang cuma kau gadis di dunia ini yang tidak suka kejutan.”

Aku mengabaikan ucapan Yuki dan mendesaknya. “Jadi, kita akan ke Fuji Fureaikan?”

Yuki menyerah, cowok itu menggeleng dan menatapku. “Kita akan ke Taman Sakurayama. Sudah puas kau, mata hijau?” 

“Jangan mengejek lensa kontakku, Yuki! Ini kupakai khusus untukmu.”

Tawa Yuki lepas, ia pun mengacak-acak rambutku. Aku hanya mencibir sambil menoleh pada jendela di sampingku. Langit biru tak berawan menemani perjalanan kami hari ini. Perlahan salju-salju kecil pun mulai berjatuhan. Sudah lama sekali aku tidak berpergian dengan Yuki. Kami selalu sibuk belajar pada waktu senggang dan mengikuti kursus tambahan saat liburan. Biasanya, Yuki dan aku hanya berkomunikasi lewat telepon. Namun kini, aku bisa menikmati liburan musim dingin bersamanya. Sepanjang perjalanan, kami mengisi kebosanan dengan bermain tebak-tebakan atau menyanyikan lagu-lagu dari earphone. Aku mendapati masa kecilku kembali tiap berada di dekatnya.

Perjalanan selama dua jam tidak terasa melelahkan. Kami tiba di depan Taman Sakurayama yang kini ditumbuhi sakura bermekaran. Yuki terlihat sangat antusias dan menggandeng tanganku berjalan memasuki taman. Kami menyusuri jalan setapak yang dipayungi sakura-sakura berwarna putih merekah. Benar-benar cantik.

“Pemandangan inilah yang ingin kutunjukkan padamu, Ai,” ujar Yuki sambil memasukkan tanganku ke saku mantelnya. “Fuyuzakura.”

Aku mengerutkan dahi. “Sakura musim dingin?”

Yuki mengangguk lalu menghentikan langkahnya. Otomatis, langkahku pun ikut menjeda. Kami mengangkat wajah dan memandangi pohon sakura di atas kami. Sakura musim dingin berbeda dengan sakura musim semi. Bunganya berwarna putih, tak kontras dengan salju yang menyelimuti rantingnya. Sakura musim semi sangatlah indah, namun fuyuzakura menyajikan pemandangan yang berbeda. Selain itu, fuyuzakura tidak mekar di semua tempat di Jepang. Itu mengapa Yuki mengajakku berkelana sampai ke Fujioka.

“Kau lihat bunga-bunga itu, Ai? Mereka bukan bunga yang ditunggu oleh banyak orang, bahkan tidak ada tradisi khusus seperti Hanami untuk melihat fuyuzakura ini. Warnanya pun tidak secerah sakura musim semi. Seperti albino, kau tahu?”

Aku tergelak, namun membiarkan Yuki melanjutkan filosofinya.

“Meski begitu, bunga-bunga ini tetap mekar sempurna. Di cuaca ekstrem dengan sedikit sinar matahari, mereka tetap bisa bertahan hidup. Mereka menjadi indah dengan cara mereka sendiri. Tidak peduli berapa banyak orang yang menginginkan mereka, mereka tetap tumbuh menghiasi musim dingin yang kelabu.” 

Indah dengan sendirinya. Dalam hati, aku menyetujui kata-kata Yuki. Meski warna fuyuzakura tak secerah sakura musim semi, kehadirannya telah membuat musim dingin yang terkesan kelam menjadi lebih berseri.

“Kau tahu, Ai? Terkadang kita merasa tersisihkan dan menganggap dunia ini tidak adil. Tapi sebenarnya tidak ada hidup yang hanya berisi kesialan-kesialan. Setiap orang pasti memiliki cerita baik dalam hidupnya yang akan membuat mereka berpikir dua kali untuk mengakhiri hidup itu sendiri. Itu pun jika mereka menyadarinya.”

“Tapi Yuki... kau tidak mengerti bagaimana rasanya dikucilkan. Seperti tenggelam di dasar lautan dan tidak ada yang menolongmu. Seburuk itu! Karena itu, aku sering kali merasa diriku bukanlah apa-apa, mereka bahkan tak pernah melihatku.”

Yuki menatapku serius. “Bagaimana bisa kau merasa dirimu bukanlah apa-apa? Kau adalah Ai, sahabat kecilku yang dinobatkan menjadi siswa terbaik sejak SD, yang membuatku susah payah menyaingi peringkatmu, yang menang dalam kompetisi-kompetisi debat bahasa Inggris, yang membantu teman-teman di kelas belajar sampai larut, dan yang tak pernah menyerah akan sesuatu! Ai yang kukenal bukanlah Ai yang pengecut. Kau melupakan semua nilai-nilai dalam dirimu karena terlalu sibuk memikirkan kelebihan dari fisikmu!”

“Kelebihan?” tanyaku sambil tertawa hambar. “Kelebihan lemak, maksudmu?”

“Kelebihan karena kau punya fisik yang sempurna tanpa kekurangan. Pernahkah kau menyadari itu, Ai?”

Aku merasakan sesuatu meninju jantungku. Kutatap cowok di hadapanku tanpa berkedip, menemukan pancaran ketulusan dari mata teduhnya. Perlahan, tatapan itu berubah menjadi lebih tenang dan sebuah senyuman terpahat di wajahnya.

“Bangun kembali rasa percaya dirimu, Airi, tidak perlu merasa malu. Kau punya kuasa atas dirimu sendiri.”

Aku menghela napas dan kembali memandang sakura di atasku. “Tapi apa yang harus aku lakukan agar mereka berhenti menindasku?”

“Jadilah dirimu sendiri. Biarkan orang lain menilaimu dengan cara mereka masing-masing. Jika mereka mampu melihat kebaikan hatimu, mereka pasti akan bertahan bersamamu. Sesederhana itu.”

Senyumku mengembang, hatiku mulai terasa hangat. Selama ini, aku hanya memedulikan apa yang orang lain pikirkan terhadapku dan bersikap seperti apa yang mereka inginkan. Namun aku tak pernah menyisakan waktu untuk memikirkan diriku sendiri dan melakukan hal-hal seperti yang kuinginkan.

“Terima kasih, Yuki. Kau harus sering-sering mengajakku pergi seperti ini.”

Yuki menyeringai. “Butuh perjalanan 120 kilometer hanya untuk membuatmu sadar betapa berharganya dirimu.”

Aku tertawa. “Aku berjanji tidak akan meminum cuka hitam lagi.”

“Omong-omong, kalau kau tetap ingin melanjutkan dietmu...” Yuki mengeluarkan secarik kertas dari sakunya yang bebas. “...mungkin kau bisa mengikuti saran ini.”

Kuterima kertas dari Yuki dan membukanya. Di sana tertera menu diet dengan mengganti makanan utama dengan makanan yang lebih sehat beserta takaran porsinya. Aku langsung menatap Yuki. “Dari mana kau tahu semua ini?”

Yuki menggaruk kepalanya. “Mm... dari kakakku. Semalam aku menceritakan masalahmu padanya dan dia memberikanku resep itu. Dia bilang, kau juga harus menyeimbanginya dengan olahraga. Tapi ingat! Ini diet sehat, bukan diet gila seperti yang kau lakukan kemarin.”

“Jadi, kau juga mendukungku untuk diet?”

Cowok itu mendecak lidah. “Diet atau tidak, kau tetap manis, kok.”

Melihat Yuki tersipu, aku pun tertawa. Yuki tidak pernah menyebutku manis sebelumnya dan kini wajahnya terlihat lucu sekali. Yuki mencibir padaku lalu berjalan beberapa langkah menjauhiku. Aku langsung meminta maaf dan berlari untuk menyamainya. Berkat Yuki, aku tahu apa yang harus kulakukan setelah ini. Aku akan menjalankan diet sehat itu dan belajar untuk lebih percaya diri menghadapi teman-temanku.

Aku akan menjadi sakura musim dingin yang indah dengan caranya sendiri.




[1] Cuka hitam dari beras

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar