Menulis #1: Menulis untuk Pasar atau Idealisme?

By Laili Muttamimah - October 23, 2018


Terhitung empat tahun sejak saya terjun ke industri perbukuan, saya belum pernah membagikan pemikiran saya soal menulis di blog ini. Jangan kira saya nggak pernah memikirkannya, bahkan nggak jarang saya pusing sendiri karena terlalu banyak memikirkan soal ini dan memendamnya rapat-rapat. Kenapa begitu? Karena sampai saat ini, saya belum merasa menjadi seorang penulis seutuhnya. Novel-novel karya saya belum pernah menembus best seller, saya bukan penulis yang punya komunitas pembaca, dan karya saya juga nggak mendapat banyak rating dan review di Goodreads. Sejujurnya, saya merasa diri saya belum berhak menyampaikan pemikiran saya soal menulis ketika diri saya saja masih sangat rata-rata. Apalah artinya membaca tips menulis dari seorang Laili Muttamimah ketika banyak penulis besar di luar sana yang dianggap jauh lebih kredibel (meski materi yang mereka sampaikan pun ada di dalam benak saya). 

Namun kali ini, terlepas apa posisi saya dalam industri perbukuan, saya nggak bisa memendam lebih lama. Saat menerbitkan novel pertama saya tahun 2014, saya berpikir industri perbukuan ini seperti taman bermain tempat saya bisa mengeksplor banyak hal. Tanpa batas, tanpa pertimbangan. Memang, sampai akhirnya saya menulis novel ketiga, pemikiran tentang taman bermain itu masih ada. Tetapi, seiring berjalannya waktu, industri perbukuan terus tumbuh melahirkan penulis-penulis baru, bahkan kini lahir portal-portal menulis digital yang membuat seseorang melabeli dirinya sebagai penulis meski karyanya belum pernah diterbitkan. Hal itu nggak salah, justru tandanya, kesempatan menjadi penulis kini terbuka lebih lebar, sehingga menjadi penulis bukan lagi sesuatu yang 'mewah'.

Katakan saja, sebelum menerbitkan novel di tahun 2014, saya pernah menerbitkan antologi bersama beberapa penulis melalui sayembara oleh Penerbit Meta Kata. Itu hanya penerbit indie, karyanya pun nggak sampai masuk toko buku. Namun saat itu, melihat karya saya terbit saja sudah menjadi kemewahan, karena mungkin belum banyak orang yang melakukannya, dan perjuangan saya untuk bisa menerbitkan novel pertama benar-benar menantang. Pada tahun itu, seperti banyak remaja yang saat ini mendambakan diri menjadi seorang penulis, saya pun ingin sekali melihat karya saya ada di toko buku. Untuk sampai pada tahap itu, saya harus terima ketika naskah saya yang sudah di-print (pengiriman naskah via e-mail belum berlaku saat itu) harus ditolak berkali-kali, komunikasi dengan penerbit berjarak, harus ikutan workshop sana-sini untuk dapat ilmu dan jejaring. Sangat menantang, tapi juga menyenangkan. 

Tapi dewasa ini, hanya dengan modal ide cerita, seseorang sudah bisa menjadi penulis melalui portal digital yang sudah disediakan atau media sosial tanpa mungkin melewati proses 'menantang' yang saya sebutkan di atas. Mungkin ada pula yang merasakan, tapi nggak banyak. Singkatnya, proses menjadi penulis kini semudah itu, dan itulah yang menghilangkan esensi kemewahannya (buat saya). Hal ini saya rasakan ketika datang ke toko buku dan menemukan banyak sekali novel dengan penerbit yang baru tumbuh pula. Nggak jarang saya baca blurb di bagian belakang novel, kurang lebih premisnya sama: anak SMA jatuh cinta, kisah cinta antara CEO kaya raya dan bawahannya, dan sejenisnya. Premis seperti itu pernah saya tulis dalam novel pertama saya ketika saya masih duduk di bangku SMA, saya pun memahami banyak penulis baru yang juga menulis premis serupa. Saya mungkin termasuk penulis yang masih baru, tapi saya merasa sangat mengenal industri perbukuan pada masa itu. Namun kini, saya seperti bertemu sosok teman yang dulunya saya kenal akrab, berubah menjadi asing. Ya, industri perbukuan saat ini seperti kehilangan sesuatu dalam dirinya. Apakah saya bisa menyebutnya sebagai idealisme?

Sejauh ini, saya masih menulis dalam prinsip "menyampaikan gagasan". Itu mengapa, banyak pembaca bilang novel saya cenderung berat konfliknya, seperti pelecehan seksual atau permasalahan keluarga. Hal itulah yang membuat beberapa pembaca justru mempertimbangkan kembali untuk membaca novel saya, karena nggak suka baca tema kelam dan berat, lebih suka baca cerita yang segar dan bikin tertawa. Kemudian, saya melakukan observasi kecil-kecilan terhadap novel-novel yang baru terbit belakangan ini, yang mana para penulisnya mengangkat tema roman picisan dengan konflik sederhana dan bahasa yang mungkin juga dekat dengan kehidupan sehari-sehari. Mereka mendapatkan angka penjualan yang besar dan engagement yang baik dengan para pembacanya melalui media sosial. Dari hasil observasi itu, saya menyimpulkan bahwa selera pasar industri perbukuan saat ini (yang mana kebanyakan pembacanya adalah remaja) adalah cerita sederhana yang nggak bikin mikir, tapi cukup menghibur dan dekat dengan kehidupan sehari-sehari. Meski harus saya katakan, cerita-cerita itu benar-benar klise dan plot-nya saja sudah bisa tertebak hanya dari membaca blurb-nya. Lalu, saya berdiskusi dengan salah seorang teman penulis, bahwa mungkin pembaca lebih mengincar novel-novel yang fungsinya untuk menghibur di luar kesibukan mereka yang padat, bukan novel yang mengangkat isu-isu berat sehingga membuat mereka harus berpikir lebih keras.

Tapi pertanyaan saya, apakah sebaiknya seorang penulis itu menulis untuk pasar atau idealisme?


Seri YARN. (Foto diambil di Instagram Penerbit KPG (@penerbitkpg))

Ketika saya menerbitkan Haru no Sora tahun 2015, saya seperti menemukan dunia saya dalam tulisan. Saat itu, Ice Cube KPG mengadakan sayembara menulis dengan tema Young Adult Realistic Novel (YARN), yang mana mereka mencari novel yang mengangkat isu-isu dalam kehidupan remaja di luar percintaan (misalnya, remaja yang punya kecenderungan klepto, merasa nggak percaya diri dengan tubuhnya, kegalauan memilih jurusan kuliah, dsb). Fokus novel-novel YARN bukan kepada kehidupan cinta tokoh-tokohnya, melainkan bagaimana si tokoh berjuang melawan masalah yang menimpa hidupnya. Hal itulah yang justru membuat cerita-cerita dalam novel YARN menjadi unik dan variatif, pembaca bisa menyelami kehidupan yang berbeda dalam setiap novel. Di sisi lain, penulis jadi mendapat kesempatan besar untuk mengeksplor tulisan dan pemikiran mereka. Mereka bisa membagikan sudut pandang dan gagasan mereka kepada pembaca, bahwa "Begini lho rasanya jadi kleptomaniac" atau "Seorang pekerja seks komersial nggak selamanya buruk lho, coba deh lihat alasan kenapa dia melakukannya." Penulis dapat memberikan materi yang lebih kaya, nggak hanya sebatas roman picisan, dan pembaca mendapatkan sudut pandang baru tentang isu-isu berat nan sensitif yang selama ini mungkin belum berani dieksplor banyak penulis di industri perbukuan.

Saya bisa katakan bahwa saya suka menulis cerita dengan isu-isu yang sensitif, karena saya ingin menyampaikan bahwa orang-orang yang mengalami musibah buruk (yang sering kali dihakimi masyarakat) sebenarnya juga punya alasan di balik keputusannya. Saya belum bisa membuat film atau mengisi forum-forum aktivis untuk menyampaikan hal ini, saya hanya bisa menulis. Dan menurut saya, novel adalah pendekatan yang tepat untuk masuk ke dalam 'kepala' pembaca yang mungkin masih belum ingin terbuka terhadap isu-isu tersebut. Namun sayangnya, kebanyakan pembaca di Indonesia tampaknya belum siap untuk disajikan novel-novel realistic fiction dengan tema-tema yang berat (jauh dari unsur roman picisan), karena mungkin tujuannya untuk membaca novel adalah untuk menghibur. Ini nggak bisa disalahkan, pembaca punya hak dalam setiap keputusan membaca sebuah karya. Berbeda dengan novel-novel luar negeri yang sudah berani mengangkat tema kasus rasisme sampai mental illness yang dalam.

Hal itulah yang kembali membuat saya mengangkat isu sensitif dalam novel Mayday, Mayday. Meski saya tahu, novel ketiga saya ini tampaknya masih nggak terlalu digandrungi pembaca karena temanya yang berat, meski di dalamnya terdapat pula unsur percintaan. Ditambah lagi, saat ini penulis juga harus terjun melakukan pemasaran novelnya, yang mana turut memikirkan angka penjualan dan promosi yang dilakukan agar novelnya laris di pasaran. Sebagai anak komunikasi, saya sangat paham mengapa hal ini terjadi. Saya sadar betapa penerbit mengeluarkan biaya yang banyak untuk menerbitkan sebuah karya, belum lagi biaya distribusi dan harus menggaji para staff di perusahaan. Nggak ada pembisnis yang mau rugi, itu kenapa penerbit menyukai penulis-penulis yang bisa membawa karyanya menjadi best seller, ditambah lagi jika penulis ini sudah memiliki komunitas pembaca. Namun, sebesar apa pun usaha yang dikeluarkan untuk melakukan pemasaran, jika pada kenyataannya karya kita bukanlah menjadi selera pasar, tentu menembus best seller menjadi tantangan yang sangat sangat berat.

Salah seorang editor GPU pernah menulis di Twitter-nya bahwa buku yang best seller belum tentu bagus dan buku bagus belum tentu jadi best seller, karena terpilihnya sebuah buku menjadi best seller adalah proses di ruang marketing, bukan redaksi. Meski kicauan itu menumbuhkan semangat para penulis non best seller untuk tetap berkarya (seperti saya), tetap saja ada 'hak istimewa' tersendiri bagi para penulis best seller dalam industri perbukuan (misal, diberi space untuk dipromosikan di media sosial penerbit, diberi kesempatan talk show dan M&G, dan sebagainya). Lalu, bagaimana nasib para penulis non best seller? Kamu pasti sudah bisa menyimpulkannya.

Sungguh, jika kamu merasa menulis adalah passion, lalu diminta menulis sesuatu yang nggak kamu suka, rasanya benar-benar buruk. Ketika kamu harus membatasi diri untuk menulis sesuatu hanya karena kamu memikirkan "Apakah cerita ini akan jadi selera pasar?" sejujurnya sama seperti memenjarakan gagasan yang ingin kamu sampaikan. Kalau kamu membaca tips "Menulislah tanpa memikirkan akan disukai atau tidak", sejujurnya hal itu akan menjadi momen paling nikmat untuk dilakukan. Namun, apakah penulis benar-benar melakukan hal itu? Nggak juga. Pemikiran tentang penjualan pasti terus membuntuti setelah karyanya diterbitkan. Itu mengapa, dewasa ini rasanya sulit menulis gagasan yang benar-benar datang dari hati dan pikiran kita, karena kita pun nggak mau dianggap 'sia-sia' oleh penerbit karena karya kita nggak mencapai penjualan terbaik.

Ketika beberapa teman bertanya, "Kenapa sih lo nggak jadiin penulis sebagai profesi utama?", mungkin penjabaran di atas bisa menjawab semuanya. Bagi saya, menulis adalah bermain, industri perbukuan adalah taman bermain. Bukan berarti saya nggak serius terjun ke dalamnya, hanya saja selalu ada batas antara menulis untuk idealisme dan menulis untuk pasar. Mungkin saya bisa menulis cerita roman picisan yang membuat para pembaca gemas, namun ada suara yang berteriak dalam diri saya bahwa ini bukanlah cerita yang ingin saya sampaikan. Saya ingin menulis dengan idealisme saya dan mementingkan urusan pasar dalam profesi saya yang lain. Terdengar egois? Mungkin begitu. Tapi apalah artinya seorang pencipta tanpa idealismenya?

Saya lega pada akhirnya bisa meluapkan kegundahan saya di laman ini. Tentu saya akan terus menulis, karena saya masih ingin terus menyampaikan gagasan saya kepada para pembaca. Saya nggak hanya ingin semata-mata membuat pembaca trenyuh membaca cerita yang saya buat, tapi juga mendapatkan pengetahuan baru di luar kehidupan yang ia jalani. Niat sederhana itulah yang mendorong saya untuk terus menulis sampai hari ini. :)

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. Tulisan ini saya temukan di tengah kegamangan yang sama. Terima kasih, Kak Laili, karena sudah menyuarakan ini.

    ReplyDelete