Menyusuri Surga Tersembunyi di Maluku

By Laili Muttamimah - November 04, 2018


Tepat satu tahun yang lalu, saya mendapat kesempatan mengunjungi kota Ambon dalam rangka tugas. Maluku adalah daerah timur pertama yang saya datangi di Indonesia. Sebelumnya, mungkin saya hanya bisa membayangkan keindahannya melalui tayangan-tayangan televisi. Namun hari itu, saya bersyukur karena bisa menjejaki daerah Indonesia dalam zona Waktu Indonesia bagian Timur, yang nyatanya jauh lebih indah ketika disaksikan dengan mata telanjang. 

Sedikit cerita, saya bergabung menjadi relawan dalam kegiatan Science Film Festival yang diselenggarakan oleh Goethe Institut Indonesien sejak tahun 2015. Kegiatan itulah yang memberikan saya kesempatan untuk mengenali Indonesia lebih jauh. Dalam kegiatan tersebut, saya bertugas menjadi fasilitator yang memberikan materi seputar sains melalui eksperimen sederhana dan fun kepada siswa SD sampai SMA. Nggak cuma itu, kami juga mengajak para peserta menonton film-film bertema sains internasional yang telah dilombakan dari beberapa negara. Singkatnya, saya jarang sekali pergi traveling dengan rangka benar-benar untuk traveling. Mungkin tanpa kegiatan Science Film Festival, saya masih membayangkan keindahan Maluku hanya melalui televisi seperti sebelum-sebelumnya.

But I told you, Ambon is extremely beautiful!

Ketika kita melihat di media sosial tentang laut sejernih kaca yang  sudah bisa kita lihat dasarnya dari jarak beberapa meter, Ambon punya yang seperti itu. Jadi, saya punya waktu lima hari di Ambon, namun empat hari digunakan untuk kegiatan, alhasil hanya ada waktu satu hari untuk berkeliling kota. Bersama dua teman saya, Cynthia dan Syifa, kami memutuskan untuk berkelana setelah acara berakhir. 

Kebetulan, ini adalah pengalaman pertama kami ke Ambon, jadi kami belum akrab dengan lingkungannya. Beruntunglah, Goethe Institut Indonesien menyewakan mobil beserta supirnya untuk membantu kami dalam hal transportasi. Namun, untuk jarak dekat, kami juga biasa naik becak yang mangkal di depan hotel. Ongkos becak sekali jalan sekitar Rp10-15 ribu. Oh iya, supir yang menemani kami itu biasa dipanggil Bung Ata, sepertinya beliau juga sudah terbiasa menerima tamu dari luar kota karena beliau tahu tempat-tempat wisata keren untuk dikunjungi di Ambon. Karena waktu yang kami punya nggak banyak, alhasil kami hanya mengunjungi beberapa tempat wisata di kota Ambon. Bung Ata sempat menawarkan untuk pergi ke Pulau Seram dan Ora, tentu kami mau banget ke sana, tapi kami cuma punya satu hari sebelum kembali ke Jakarta lagi.

Setelah menjalani kegiatan empat hari yang cukup melelahkan, Bung Ata akhirnya mengajak kami ke salah satu pantai terkenal yang letaknya agak jauh dari kota Ambon, yaitu Pantai Liang. Kami cuma punya waktu sekitar tiga jam sebelum mengejar pesawat sore menuju Jakarta. Waktu yang ditempuh dari kota Ambon menuju Pantai Liang cukup lama, kurang lebih 1,5 jam (atau lebih karena saya ketiduran di mobil hehehe), intinya letak Pantai Liang berada cukup jauh dari hiruk-pikuk kota. Begitu kami mendekat ke arah pantai, pantulan biru berkilauan sudah menyambut dari kejauhan. Serius, pemandangannya benar-benar bikin capek kita hilang dalam sekejap!

Pantai Liang, Waai, Maluku.
Dari semua pantai yang pernah saya kunjungi (yang mungkin juga belum terlalu banyak), saya bisa bilang bahwa Pantai Liang adalah yang terindah. Kami benar-benar disambut dengan hamparan laut biru jernih dengan gradasi mulai dari hijau toska sampai biru tua, ditambah lagi pasir putihnya yang langsung membuat telapak kami hangat saat berpijak. Pantai ini benar-benar masih asri, nggak ada satu pun sampah yang terlihat, dan yang paling mengejutkan... nggak banyak orang yang datang ke pantai ini! Bahkan kami nggak membayar biaya masuk karena nggak ada penjaga sama sekali. Pantai ini ibarat tempat umum yang bebas dikunjungi siapa saja, hanya ada saung-saung penjajan makanan dan para nelayan yang tampak mencari ikan.

Salah satu teman saya memutuskan untuk berenang, sedangkan saya (selain nggak bisa berenang dan nggak punya persediaan baju ganti lagi) memilih untuk memotret sambil menikmati pemandangan alam ini. Rasanya seperti nggak bisa berkata-kata saking indahnya, dan para warga juga merawat pantai ini dengan sangat baik.

Ketika hari mulai siang, saya menepi ke saung dan membeli makanan. Di sana, saya mengobrol dengan ibu warung. Saya masih heran kenapa pantai sebagus ini sepi pengunjung, coba bayangkan kalau pantai ini ada di Jakarta, pasti banyak orang yang nongkrong plus buang sampah sembarangan. Ternyata, si ibu bilang kalau pantai ini memang sengaja nggak dijadikan tempat wisata (dalam artian dikelola perusahaan tertentu) karena masih berfungsi sebagai tempat mata pencaharian nelayan. Pada akhir pekan, pantai ini cukup ramai dikunjungi oleh warga Ambon dan sekitarnya, tapi pada hari kerja, hanya ada nelayan yang beraktivitas di pantai ini. 

Nelayan mencari ikan di Pantai Liang.

"Sayang, Kak, kalau jadi tempat wisata. Nanti jadi nggak asri lagi, banyak yang kotori." Kurang lebih begitu kata ibunya. 

Betul juga, saya nggak bisa membayangkan kalau suatu hari pantai ini dikelola sebagai tempat wisata, mungkin keindahannya akan berkurang dengan dibangunnya beberapa infrastruktur, walau fasilitas tersebut bisa meningkatkan angka wisatawan untuk datang ke Ambon. Di sisi lain, Bung Ata bilang warga Ambon sudah sering lihat pantai, jadi kesan takjubnya nggak sebesar saya dan teman-teman (yang norak abis karena Ancol jauh banget dari ini). Setelah adzan dzuhur berkumandang, kami akhirnya memutuskan untuk pulang menuju bandara.

Selain Pantai Liang, ada juga nih beberapa hal yang wajib dicoba kalau kamu berencana liburan ke kota Ambon:

1. Menanti senja di Pantai Natsepa
Selain Pantai Liang, kamu juga bisa coba mengunjungi Pantai Natsepa di kota Ambon. Pantai ini ramai dikunjungi, terutama pada sore hari dan akhir pekan. Pantainya kurang lebih sama seperti Ancol, tapi fasilitasnya nggak terlalu banyak. Nah, di pantai ini kamu wajib cobain rujak Natsepa! Ada banyak penjual rujak di sepanjang pantai ini. Sebenarnya nggak berbeda jauh dengan rujak pada umumnya, tapi mereka punya bumbu kacang yang manis dan pekat. Sambil makan rujak, kamu bisa menikmati matahari terbenam deh!

2. Makan nasi kuning khas Ambon
Malam hari sepulang dari Natsepa, paling enak kalau langsung menyantap nasi kuning khas Ambon! Nasi kuning ini biasanya banyak ditemui di pinggir jalan, kalau kami biasa makan di seberang hotel Amaris. Harganya dibandrol mulai dari Rp 15-20 ribu per porsi tergantung dari lauk-pauk yang dipilih. Tekstur nasi kuning khas ambon ini sedikit lebih berminyak dan manis. Ada banyak lauk yang bisa kamu pilih, mulai dari telur balado, sampai daging rusa, lho!

3. Mengenal sejarah di patung Christina Martha Tiahahu
Christina Martha Tiahahu adalah salah satu pahlawan perempuan nasional asal Maluku. Patungnya sendiri berdiri tegap di atas bukit kecil kota Ambon. Sambil mengenang kembali sejarah, kamu juga bisa menikmati pemandangan indah dari area patung ini. Dijamin, panorama pantai dan kota Ambon langsung memikat mata kamu dari atas bukit!

4. Mencicipi papeda kuah kuning
Ini yang nggak kalah penting, makan papeda kuah kuning! Jauh-jauh ke Ambon rasanya nggak lengkap tanpa mencicipi makanan khas yang satu ini. Ada banyak restoran dan warung makan yang menyediakan papeda, saya lupa nama restoran tempat saya makan waktu itu tapi letaknya nggak jauh dari SMAN 1 Ambon.. Tekstur papeda yang kenyal dan rasanya yang tawar bakal nikmat banget waktu dimakan bareng ikan kuah kuning. Ah, bayangin makanan ini jadi pengin balik ke Ambon lagi!

Kurang lebih begitulah pengalaman saya waktu mengunjungi Ambon tahun lalu. Entah kenapa rasa penasaran saya semakin besar untuk mengeksplor Indonesia lagi dan lagi!

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar