Menulis #2: Apa Hal Paling Sulit dalam Menulis?

By Laili Muttamimah - November 20, 2018

Credit: Nick Morrison on Unsplash

Sering kali sebuah pertanyaan dilontarkan kepada saya, "Nulis itu susah nggak, sih?"

Biasanya, saya akan menjawab, "Tergantung."

Kenapa begitu? Well, saya percaya bahwa setiap orang melalui tahapan proses menulis yang berbeda. Itu pun tergantung jenis tulisan yang akan ia tulis. Seorang penulis fiksi pasti akan merasakan proses yang berbeda dengan penulis non fiksi atau jurnal ilmiah, begitu pun sebaliknya. Ada beberapa unsur yang mungkin terkesan memberatkan bagi seorang penulis pemula untuk memulai karya pertamanya, yang berdasarkan obrolan dengan beberapa teman, saya simpulkan menjadi: riset dan teknik menulis. 

Beberapa teman saya nggak jarang menelepon atau mengajak saya bertemu hanya untuk membahas tentang dunia kepenulisan. Nggak disangka, ternyata banyak sekali orang yang juga punya mimpi menerbitkan buku, namun bagi mereka, langkah menuju ke sana sangat jauh. Sebagian dari mereka belum memulai tulisan, namun sudah merasa terkendala dengan dua hal tadi. Mereka merasa belum mampu melakukan riset untuk tulisan dan menguasai teknik menulis yang benar.

Pada akhir curhat mereka, saya pun berkata, "Yang bikin susah itu bukan riset, bukan juga teknik nulis, tapi komitmen."

Ya, komitmen.

Bagi saya, proses dari karya kita ditulis hingga diterbitkan memang melalui jalan berlika-liku, tapi semua itu nggak akan terasa berat ketika kita sudah memiliki komitmen yang kuat. Sama halnya dengan mengerjakan apa pun, niat dan komitmen yang kuat akan membawa kita pada hasil yang kita inginkan. Tapi, bagaimana jika dari awal kita nggak memiliki hal mendasar itu?

Saya akui, riset dalam menulis memang cukup rumit dilakukan, tapi menurut saya, hal itu bukanlah kesulitan terbesar. Berdasarkan pengalaman, saya melakukan riset melalui hal-hal yang bisa saya lakukan untuk mencari tahu tentang topik tertentu, misalnya cari di internet, ngobrol sama orang yang memang ahli dalam bidang tersebut, atau baca buku. Ayolah, kita semua sudah diajarin riset sejak SD, hal itu bukan lagi jadi sesuatu yang asing. Di era sekarang, akses informasi juga mudah, kita bahkan bisa mencari berita apa pun di Google, so... kesulitan dalam riset seharusnya bukan lagi jadi alasan untuk menunda aktivitas menulis. 

Lalu, bagaimana dengan teknik? Banyak teman saya yang berpikir bahwa teknik menulis pasti penuh dengan istilah-istilah sastra dan metode yang sulit dipahami. Padahal, kita sudah menguasai dasar teknik menulis itu bahkan sejak pertama kali kita mulai menulis. 

Pada esensinya, menulis adalah menyampaikan pesan yang ada dalam pikiran kita kepada orang lain. Seperti halnya berbicara, kita menyampaikan gagasan, hanya medianya saja yang berbeda. Memang ada beberapa teknik yang berlaku jika kita ingin menulis jenis buku tertentu, tapi boleh saya katakan... itu bukanlah hal yang mutlak. 

Menurut saya, seorang penulis bahkan bisa menerbitkan karyanya tanpa harus menguasai teknik penulisan, asalkan ia sudah tahu dasar dari apa yang ingin ia tulis. Misalnya, ia ingin menulis fiksi, berarti ia harus paham betul unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam fiksi seperti apa, karena mereka adalah elemen wajib yang ada dalam fiksi. Selebihnya, semua diserahkan kepada kemampuannya dalam menyampaikan gagasan (atau fantasi) dalam pikirannya. 

Sejujurnya, saya nggak pernah baca buku "How to be A Writer" atau "How to Write Your Novel" sampai hari ini, walaupun saya mengganti materi itu dengan mendatangi banyak workshop dan seminar tentang menulis. Tapi, sedikit sekali dari teknik menulis yang saya pelajari pada akhirnya saya aplikasikan ke dalam tulisan saya. Kenapa? Karena bagi saya, menulis itu seperti seni, kita hanya perlu mengekspresikan diri kita tanpa perlu terlalu fokus pada sekat-sekat yang jika nggak digunakan pun nggak akan berpengaruh dalam tulisan itu sendiri (kecuali pembendaharaan kosakata dan EYD, sebaiknya menjadi hal yang sudah dipahami di luar kepala. Saya juga masih terus belajar tentang ini). Tapi, menulis bukanlah fisika yang jika satu hukum nggak digunakan, hasilnya akan berantakan. Ibarat manusia, mungkin menulis itu adalah sosok yang luwes, fleksibel, dan adaptif. Nggak ada hukum atau teknik mutlak yang harus diikuti untuk menciptakan sebuah tulisan.

Salah seorang pembaca saya pernah mengkritik bahwa ada satu kalimat di novel saya yang nggak tepat secara teknik, kurang lebih semacam ada fragmented sentencerun-on sentence, sampai konjungsi yang tumpang tindih. Kalau boleh jujur, saya memang nggak memperhatikan hal itu saat menulis, tapi kritikannya menjadi masukan baru buat saya. Saya sempat berpikir, mungkin ia adalah orang yang berfokus pada teknik saat menulis, sehingga meneliti teknik menulis sampai begitu detail. Itu sama sekali nggak salah, saya justru kagum dengan mereka yang bisa menguasai teknik menulis dengan sangat detail. Tapi bagi saya (dan beberapa penulis yang pernah saya ajak diskusi), jarang sekali penggunaan teknik itu dilakukan saat menulis, karena mereka fokus kepada pesan yang ingin disampaikan dan 'pembangunan' seluruh unsur intrinsik dan ekstrinsik dari karya yang mereka tulis. 

Hal ini juga pernah saya dan teman-teman diskusikan saat Kelas Skenario Ernest Prakasa. Waktu itu, Koh Ernest mengajarkan teknik 8-sequences yang kurang lebih seperti plot ideal dalam pembuatan film. Kemudian, kami diberi tugas untuk menganalisis suatu film menggunakan teknik tersebut. Diskusi dimulai ketika salah seorang peserta berkata bahwa di film A, teknik 8-sequences itu tidak dilakukan secara urut seperti yang diajarkan oleh Koh Ernest. Di situlah, Koh Ernest bilang bahwa teknik dalam menulis itu ibarat panduan bagi mereka yang ingin menulis karya dengan 'ideal', dalam arti sesuai dengan standar yang ada. Tapi, kebanyakan film (lebih banyak karya luar negeri) justru nggak menggunakan teknik itu, karena kemampuan mereka semacam sudah 'di atas standar'. Teknik membuat kita lebih mudah dalam menyusun cerita, karena kita sudah memiliki panduan. Namun, nggak ada salahnya jika kita ingin sedikit 'bereksperimen' dengan menulis sesuatu yang nggak biasa, meski hal itu berada sangat jauh dari teknik.


Misalnya, kebanyakan teknik menulis yang saya temui di novel-novel belakangan ini adalah memulai cerita dengan shocked scene, karena dianggap pembaca akan penasaran untuk membalik halaman selanjutnya. Apakah teknik tersebut ampuh? Bisa jadi, ibarat first impression, paragraf pertama novel kita terkadang menjadi penentu apakah pembaca akan menyelesaikan ceritanya atau DNF. Tapi, apakah teknik tersebut wajib? Nggak juga, kita bahkan bisa memulai paragraf pertama dengan adegan konyol atau senyap sekali pun. So, that is my point. Selama kita memiliki unsur-unsur penting dalam tulisan kita, teknik menulis bukanlah hal yang harus terlalu dirisaukan. :)

Nah, terus kenapa kita masih susah menyelesaikan tulisan? Kembali ke komitmen tadi. Mungkin kita sudah melakukan riset yang luar biasa, juga menguasai teknik menulis yang mantap, tapi tetap saja kita melongo menatap Ms.Word tanpa menulis satu kalimat pun. Hal itu sering kali terjadi karena kita belum memiliki komitmen besar untuk memulai dan menyelesaikan tulisan kita seperti halnya puluhan draf di folder saya yang hanya teronggok tanpa dilanjutkan. Kendala terkait komitmen ini bisa datang dari banyak hal, mulai dari MALAS sampai alasan paling klise yaitu nggak punya waktu (padahal jawabannya kembali lagi ke alasan pertama :p). 

Ada salah satu teman saya yang pernah menggebu-gebu bercerita kalau ia akan menulis buku non fiksi pertamanya. Ia meminta masukan kepada saya tentang beberapa hal seputar menulis, lalu saya sarankan untuk riset lebih dalam karena ia akan menulis non fiksi. Ia bahkan sudah membuat rencana pemasaran, book tourroadshow, dan mimpi indah lainnya tentang menjadi penulis. Ditambah lagi ketika saya bilang bahwa proses menerbitkan buku nggak terlalu rumit, ia langsung ambisius untuk segera menulis. Saya sempat mengingatkan kepadanya, "Biasanya yang susah itu komitmennya. Gue waktu nulis Haru no Sora bisa kelar 6 hari. Tapi pas Mayday, Mayday selesainya 2 tahun. Kayak skripsi aja, musti besar komitmennya." Lalu, saya amazed ketika dia menjawab dengan santai, "Alah, gampang. Satu bulan juga kelar kok ini. Tinggal wawancara dan nulis doang."

Tapi, setelah lima bulan percakapan itu berakhir, ia belum menunjukkan kemajuan sama sekali. Prediksi saya, ia terkendala karena komitmen menyelesaikan tulisannya itu luntur perlahan-lahan :))

Saya akui, ketika kita memulai tulisan pertama kali, semangat berapi-api itu pasti ada. Tapi sama halnya dengan mengerjakan sesuatu dengan deadline yang dibuat sendiri, kita akan lebih mudah menjadi toleran terhadap kemalasan dan alasan klise yang tiba-tiba hadir. Hal ini juga masih sering saya rasakan, karena membangun komitmen itu benar-benar nggak mudah (apalagi untuk jenjang yang lebih serius). Kita harus mendedikasikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk tulisan itu. Rela melakukan riset sampai malam atau begadang mengejar target, semua itu butuh niat yang besar. Itu kenapa, komitmen sangatlah penting.

Saya (atau mungkin penulis lain) bisa mengatakan bahwa proses menulis hingga menerbitkan buku sebenarnya nggak serumit yang dibayangkan, namun banyak penulis lebih dulu gugur bahkan sebelum tulisannya selesai karena komitmen yang lenyap di tengah jalan. Itu mengapa, kita harus mengapresiasi diri sendiri ketika benar-benar berhasil menyelesaikan tulisan yang sudah dimulai, ibarat sudah sampai di garis akhir setelah melakukan maraton sepanjang 42 KM. 

Jadi, apa hal paling sulit dalam menulis? Semoga teman-teman sudah menemukan jawabannya dan semakin menguatkan komitmen untuk segera menyelesaikan tulisan. Karena seperti ucapan dosen pembimbing, "Sebaik-baiknya tulisan adalah tulisan yang selesai."

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar