About Finding Job and Its Struggle

By Laili Muttamimah - December 03, 2018

Credit: Thought Catalog on Unsplash

“Lo udah lulus, ya? Kerja di mana sekarang?”

Pertanyaan itu sering kali muncul dalam percakapan mereka yang baru saja mencicipi indahnya lulus sebagai sarjana. Padahal, keindahan itu cuma bertahan pada hari wisuda, karena setelah itu para lulusan baru punya tanggung jawab besar untuk naik ke level kehidupan selanjutnya alias cari kerja.

Fact About Finding a Job

Ada satu artikel yang saya pernah baca tentang Post-University Depression (Terima kasih, Nadya, udah share artikel ini!), yang menjelaskan betapa banyak lulusan baru memasuki titik terendah dalam hidupnya setelah lepas dari embel-embel kampus. Memang benar, berhasil lulus dan menggenggam gelar sarjana hanyalah pintu gerbang menuju kehidupan baru, yang mana banyak orang belum siap untuk benar-benar menyambutnya.

Let’s say, finding a job is not easy.

Tahun ini, saya mendapat rezeki untuk lulus sarjana di bulan April. Tentu banyak lika-liku yang saya rasakan hingga akhirnya saya berani untuk membagikan pengalaman (serta perasaan saya) tentang mencari pekerjaan melalui postingan blog ini. Bisa dibilang, saya adalah salah satu orang yang optimis memandang masa depan dan punya ambisi yang besar untuk meraihnya. Ditambah lagi, saat kuliah, saya sering mendapat doktrin bahwa memiliki nilai bagus serta pengalaman organisasi yang mumpuni akan lebih mudah membawa kita pada tahap wawancara. Itu mengapa, lulus cepat dan mendapatkan pekerjaan kelihatan seperti sesuatu yang nikmat untuk segera diraih.

Tapi, tentu nggak semua hal berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Ketika saya sudah merasa percaya diri dengan nilai dan kemampuan yang saya punya, saya justru diempaskan dengan kenyataan bahwa nggak ada satu pun perusahaan yang menerima saya saat itu. Entah sudah berapa puluh kali saya mengecek dan mengubah CV serta cover letter yang saya buat, mencari tahu di mana letak kesalahan, mencoba untuk intropeksi diri––tapi panggilan kerja itu nggak kunjung datang.

Sebelum wisuda, saya sudah membuat daftar perusahaan yang ingin saya lamar. Maka, setelah ijazah sudah tiba di tangan, saya dengan semangat melamar ke perusahaan-perusahaan itu. Saya nggak cuma melamar ke perusahaan besar, tapi juga menengah dan start up yang membuat saya yakin bahwa saya bisa belajar banyak dari sana. Dari seluruh lamaran yang saya kirim saat itu, saya mengambil posisi sebagai PR, marketing, marcomm, dan sejenisnya.

Satu minggu, dua minggu, sampai berbulan-bulan... nggak ada SATU PUN perusahaan yang manggil saya untuk wawancara. Saya mengecek e-mail, seluruh akun pencarian kerja yang saya punya, sampai berkas saya berkali-kali, tapi nggak ada info terbaru di sana. Hanya satu perusahaan yang memberi saya jawaban “Tidak Lolos” karena waktu itu mereka membutuhkan pekerja yang berpengalaman (tapi saya nekat ngelamar aja), sedangkan sisanya nggak memberi kabar apa pun. Sejak itu, optimisme saya terhadap masa depan mulai digantikan dengan macam-macam pikiran negatif, apakah saya terlalu buruk sampai-sampai seluruh perusahaan yang saya lamar nggak memberikan saya kesempatan satu pun?

Welcome, Pressure!

Setelah berbulan-bulan berjuang sebagai pencari kerja dan belum menemukan kepastian, berbagai pikiran negatif mulai singgah di benak saya. Ditambah lagi, tekanan semakin besar ketika orangtua terus bertanya mengapa saya nggak kunjung mendapatkan pekerjaan. Tetangga pun mulai ramai menanyakan ke orangtua saya, mengingat mereka tahu saya sempat lulus dengan predikat terbaik saat wisuda. Ucapan-ucapan yang nggak menyenangkan mulai terdengar di telinga saya maupun orangtua saya saat itu, kelihatannya orangtua saya cukup tertekan mendengar komentar para tetangga. Sikap mereka kepada saya pun mulai berubah dengan sedikit menuntut dan mudah marah. Sejak itu, saya mulai sering menyalahkan diri sendiri dan merasa bahwa saya ini nggak cukup baik.

Satu demi satu teman kampus saya mulai mendapatkan pekerjaan. Nggak bisa dimungkiri, rasa senang bercampur sedih pasti ada, apalagi ketika melihat mereka update job position di profil LinkedIn atau share IG story lagi di kantor barunya. Iri? Perasaan itu tentu sempat muncul, mengingat kami mengikuti perkuliahan bersama, mengerjakan skripsi bersama, sampai merasakan wisuda bersama... tapi mereka mendapatkan pekerjaannya lebih dulu. Saya nggak tahu berapa waktu yang saya habiskan hanya untuk berdiam diri di kamar, scrolling tentang info-info lowongan kerja, lamar sana-sini, bikin cover letter baru, dan hal lainnya yang lama kelamaan membuat saya jenuh. Pada akhirnya, memasuki pertengahan tahun, saya mulai sering menangis di kamar dan merasa bodoh. Entah sudah berapa kali saya menangis ketika seseorang menyinggung saya masalah pekerjaan dan saya marah pada orangtua saya ketika mereka terus-terusan bertanya.

Semuanya semakin buruk ketika saya tahu beberapa teman membicarakan saya di belakang. Sejujurnya, saya nggak pernah menganggap siapa pun sebagai saingan, tapi selalu saja ada omongan nggak yang menyenangkan yang sampai di telinga saya. Namanya juga manusia, kita memang nggak bisa disukai semua orang, kan?

“Kuliah IP bagus, tapi kok masih nganggur.”
“Lah, itu Wisudawan Terbaik aja belum dapet kerja.”
“Idealis banget sih jadi orang, susah sendiri kan jadinya.”

Ucapan-ucapan itu tentu sempat membuat saya down, saya sampai enggan pergi ke kampus atau takut bertemu teman-teman saya karena hal itu. Tentu saya marah, karena mereka bahkan nggak tahu usaha apa yang sudah saya lakukan untuk sampai pada tahap mendapat pekerjaan.

Saya sempat berada di posisi ketika saya menyesal punya IP bagus, menyesal jadi Wisudawan Terbaik, menyesal memperjuangkan nilai baik selama ini, karena saya sadar ketika orang lain sering melihat diri kita ‘sukses’, mereka nggak akan memuji kita ketika berhasil meraih kesuksesan dan justru mengejek habis-habisan ketika kita ‘gagal’. Sebaliknya, saya iri dengan beberapa teman yang mungkin mendapatkan nilai biasa-biasa saja, karena ketika mereka berhasil meraih pencapaian, banyak orang akan memuji mereka, sedangkan ketika mereka gagal, orang-orang akan memaklumi itu. Sampai akhirnya saya mengerti bahwa apa pun yang saya kerahkan untuk menjadi sukses bukanlah demi impresi atau pujian orang lain, melainkan diri sendiri. Lagipula, sukses dan gagal nggak dilihat dari seberapa bagus nilai kita, kan? Setiap orang punya jatah sukses dan gagalnya masing-masing.

Bisa saya katakan bahwa peer pressure adalah hal terberat yang saya rasakan ketika mencari pekerjaan. Rasanya saya ingin marah pada mereka yang menyapa saya hanya untuk bertanya soal pekerjaan seolah nggak ada topik lain yang bisa dibahas, juga pada mereka yang menghakimi saya idealis karena melihat saya terlalu memilih lowongan kerja.

“Realistis aja, jadi orang idealis nggak bakal bawa lo ke mana-mana.”

Terkadang, menjadi idealis di mata orang lain dipandang sebagai orang yang nggak realistis. Padahal, kalau saya idealis, mungkin saya hanya melamar ke satu atau dua perusahaan yang benar-benar saya inginkan dan nggak melirik perusahaan lain yang membuka kesempatan. But I applied for more than 50 companies! Dari perusahaan yang saya kenal, sampai yang namanya belum pernah saya dengar sama sekali, saya selipkan lamaran di sana.

Salah satu teman saya bahkan pernah berkata bahwa saya terlalu pemilih karena hanya melamar untuk posisi PR dan sejenisnya, sedangkan ada posisi lain yang terbuka seperti admin, HR, accounting, sampai supply chain yang menurutnya bisa dipelajari secara otodidak.

“Kerjaan itu nggak harus sesuai sama jurusan kuliah, tau.”

Saya paham dengan hal itu, tapi pernahkah kamu ada di posisi ketika kamu sangat cinta dengan bidang yang kamu dalami, menemukan passion di sana, dan ingin mendapatkan pengalaman lebih dalam bidang itu? Mungkin saya bisa melamar menjadi supply chain, misalnya. Saya akan belajar secara otodidak dan bekerja dalam bidang baru, tapi masalah yang akan saya dapatkan adalah... I will learn it from zero. Ketika kamu dihadapkan dengan pilihan untuk mendapatkan pengalaman lebih dalam bidang yang sudah kamu tekuni hingga mampu memberikan performa yang memuaskan atau mempelajari bidang baru dan butuh waktu untuk bisa memberikan performa yang maksimal, mana yang akan kamu pilih?

Saya nggak bilang bahwa bekerja di luar jurusan kuliah itu salah, bahkan banyak orang yang justru sukses ketika bekerja di bidang yang berseberangan. Tapi, ini hanya soal pilihan. Saya mengenali diri saya bukan sebagai orang yang bisa memberikan performa terbaik ketika saya nggak menguasai suatu hal. Saya bisa cepat belajar, namun mungkin nggak bisa menjadi expert karena bidang itu bukanlah tempat jiwa saya berada.

Know Your Reason

Sejak saya kuliah, saya selalu ingin mendapat pekerjaan di mana saya bisa belajar banyak dari pekerjaan itu. Bagi saya, bekerja bukan semata-mata mendapatkan gaji dan melakukan rutinitas, melainkan lebih besar daripada itu. Pekerjaan yang menyenangkan adalah ketika kita merasa ‘hidup’ di dalamnya, bisa menggali banyak ilmu, memberikan performa terbaik, dan mendapatkan keuntungan secara materi dari hal yang kita sukai. Pekerjaan bukan semata-mata kita akan terlihat keren di LinkedIn, membangun impresi orang lain bahwa kita bekerja di perusahaan X, bangun pagi pulang malam hanya untuk memberi penekanan bahwa “Saya punya pekerjaan, lho”, tapi sebenarnya nggak menikmati apa yang sedang dikerjakan. Tapi, semua ini kembali lagi pada pilihan masing-masing.

Pada satu titik frustrasi, saya pernah menangis semalaman dan menumpahkan amarah saya kepada Ibnu. Sedihnya, saya bahkan bilang bahwa saya nggak lagi punya cita-cita karena semuanya sudah terasa hambar. Ketika banyak orang menceritakan mimpi besar mereka, saya merasa kehilangan itu. Saya nggak tahu mana jalan yang harus saya ambil, saya nggak tahu apa yang harus saya lakukan. Singkatnya, saya kehilangan tujuan hidup saya (yang dulu pernah saya susun serapi mungkin, namun mendadak jadi berantakan).

Lalu, Ibnu mengajak saya untuk mengilas balik bulan demi bulan yang sudah saya lalui setelah wisuda. Saat itu, ucapan “Sabar...” adalah teman akrab yang sering dia lontarkan kepada saya, pelan-pelan... dia membawa saya kembali pada mimpi-mimpi yang sempat saya ragukan. Dia juga menyadarkan bahwa saya 'hanya' menghabiskan waktu menganggur selama tiga bulan, bukan enam bulan seperti yang saya pikirkan. 

Setelah saya lulus bulan April, saya baru sadar bahwa selama enam bulan berjalan, saya nggak benar-benar menganggur karena ada pekerjaan yang saya lakukan. Di bulan Mei dan Juni, saya masih giat mencari pekerjaan, tapi saat itu bisnis kecil-kecilan saya, PACARITA, alhamdulillah sedang meningkat penjualannya. Saya dan Ibnu cukup kewalahan mengurus PACARITA karena banyaknya pesanan, kebetulan waktu itu kami sama-sama belum mendapatkan pekerjaan tetap. Lalu, di bulan Juli sampai September, salah seorang senior menawarkan saya project di digital agency tempat dia bekerja (Terima kasih banyak, Kak Agung!). Saya dipercaya untuk menjadi content writer dan socmed officer untuk event salah satu media besar, yang membuat saya belajar banyak hal baru dari sana. Di bulan Oktober, project sudah selesai dan saya mulai mendapat panggilan kerja di dua instansi pemerintah––yang sayangnya nggak berhasil lolos, hahaha. Sampai akhirnya di bulan November, saya memulai pekerjaan saya sebagai PR Assistant di institut kebudayaan Jerman. Alhamdulillah, saya diberi kesempatan mengerjakan hal-hal yang saya sukai dengan waktu yang lebih fleksibel, jadi saya masih bisa melakukan kegiatan lain seperti menulis, urus bisnis, dan personal project di luar pekerjaan itu.

God’s Plan is Always Best

Setelah kilas balik itu, saya jadi ingat bahwa saya sering menjadi orang yang tertinggal. Ketika bulan Agustus tahun 2014, banyak teman saya yang sudah memulai perkuliahan, sedangkan saya belum diterima di kampus manapun. Bulan Juni 2017, teman-teman sekelas saya sudah memulai masa magang, sedangkan saya masih terus menyebar lamaran. Bulan Desember 2017, beberapa teman saya sudah mengerjakan skripsi sampai bab 3, sedangkan saya baru mau sidang portofolio (judul skripsi aja belum ada). Ya... saya sering tertinggal, seharusnya itu bukan menjadi hal yang asing lagi. Been left behind made me have more time to get to know what I really want. 

Segalanya terasa lebih ringan ketika saya menyerahkan kehendak kepada Tuhan, karena memang Dia yang berhak menentukan. Saya sadar bahwa sekeras apa pun saya berusaha, jika hal itu memang nggak ditakdirkan untuk saya, saya nggak akan pernah memilikinya. Suatu pintu ditutup untuk membawa kita pada pintu lain yang memang benar-benar rezeki kita, karena setiap hal yang saya miliki saat ini adalah pemberian Tuhan, itu mengapa saya nggak berhak menuntut apa pun yang memang bukan menjadi porsi saya.

Dalam proses ini, tentu ada hikmah yang saya dapatkan, bahwa kita nggak bisa mengontrol sesuatu di luar batas diri kita dan membandingkan hidup dengan orang lain. Situasi ini pasti membawa kita pada titik yang temaram, tapi percaya... kita nggak pernah sendirian. Kita mungkin bukan satu-satunya orang yang merasakan perjuangan ini, kita bukan yang paling sial. Proses ini, ketika kita sudah mengetahui kunci dan hikmah di baliknya, akan terasa lebih mudah dan nggak seburuk yang kita bayangkan.

Saya memang pernah merasa nggak cukup baik, membandingkan hidup saya dengan orang lain, iri dengan teman-teman saya, dan segala hal toxic lainnya, sampai akhirnya saya sadar bahwa masa depan bukanlah kompetisi. Mendapatkan pekerjaan, menikah, punya anak, punya properti, dan sebagainya bukanlah hal yang harus dilombakan. Kita nggak berkompetisi dengan orang lain tentang hidup siapa yang paling baik, karena nggak ada penghargaan untuk ‘Orang Terbaik’ di dunia ini––kita hanya menjalani apa yang memang sudah direncanakan untuk hidup kita.

Jadi, untuk kamu yang tengah mengalami hal yang sama, jangan resah... masa-masa ini akan kita kenang nantinya sebagai proses yang membuat kita menjadi pribadi yang lebih kuat. Kita mungkin kehilangan banyak kesempatan, tapi kita menemukan hal yang paling berharga, yaitu diri kita sendiri. Every process will guide us to know ourselves more.

Saya ingin menutup postingan panjang ini dengan kutipan salah satu sahabat penulis saya, Fakhrisina Amalia:

“Jangan terlalu keras pada diri sendiri, karena kita selalu punya kesempatan untuk diri sendiri.” :)

  • Share:

You Might Also Like

4 komentar

  1. inspiring banget ka laili, makasih yaaa

    ReplyDelete
  2. Inspiratif banget, coba aja saya bacanya pas lagi masanya kesulitan cari kerja, pasti feel more relaxed..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dedeee, baru baca komentar ini. Terima kasih sudah mampir ya ;-)

      Delete