Sepucuk Surat di Satu Dasawarsa

By Laili Muttamimah - July 13, 2015

Credit: Freddy Castro on Unsplash

Untuk : Lelakiku di tahun 2013

Dear August Rush,


Aku tidak tahu apakah ia masih menjadi tokoh favoritmu, tapi dulu kau seringkali menyebut dirimu dengan nama itu setelah kita menonton film dengan judul yang sama di rumahmu. Aku tahu kau selalu ingin menjadi gitaris, bahkan komposer, hebat sepertinya. Gara-gara film itu, kau langsung maniak dengan fingerstyle dan membeli gitar baru.

Bagaimana kabarmu? Sepuluh tahun telah berlalu. Kini, kita telah berada di masa yang dulu terasa abu-abu. Aku tidak punya alasan kuat mengapa aku menulismu surat ini, hanya saja ada beberapa hal yang ingin kusampaikan padamu. Aku tahu kau pasti merasa aneh ketika melihat kertas ini ada kotak suratmu, mengingat kita tak pernah lagi saling menghubungi sejak tanggal kelulusan itu.

Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Kau tahu? Nyaris kuhabiskan satu dasawarsaku untuk melepas ingatan tentangmu. Pikiranku selalu tertuju pada laki-laki berseragam putih abu-abu yang selalu kutengok bangkunya tiap pukul 7 pagi. Aku pasti menemukanmu sedang duduk di sana dengan earphone di telingamu. Hanya dengan melihatmu, aku jadi lebih semangat menjalani hari-hari sekolahku. Kita seringkali berpapasan di area parkir, saling menukar senyum, dan menyapa salam pagi. Kita akan berjalan menuju kelas di lantai tiga, mengobrol tentang banyak hal, atau membahas tugas yang belum dikerjakan.

Kita seringkali bersaing dalam berbagai hal, terutama pelajaran. Kau paling tidak suka nilaimu dikalahkan olehku, meski aku seringkali menduduki posisi di atasmu. Kau akan mengumpat ketika nilaiku lebih besar atau peringkatmu lebih tinggi darimu. Aku akan tersenyum puas sambil menantangmu untuk terus mengalahkanku. Sampai suatu hari, ketika kau mendapat nilai sempurna di ulangan trigonometri, kau tersenyum dengan penuh kemenangan sambil memamerkan kertasmu di depan wajahku dekat-dekat. Ditambah lagi, kau mendapat hadiah cokelat dari guru matematika karena ujianmu. Benar-benar curang! Kau memakannya di depanku sambil mengejek karena nilaiku yang beda 0,3 darimu. Aku tak pernah lupa momen ketika kita belajar bersama, kau mengajariku fisika karena aku buta sekali dengan pelajaran itu. Kau akan memarahiku ketika aku tidak teliti. Di situ aku akan merengut dan membalas perlakuanmu. Kau paling payah di bahasa inggris. Aku tertawa sangat puas tiap kali mengajarimu, pun ketika kita mencoba mengobrol dalam bahasa itu. Namun pada hari kelulusan, aku sangat senang. Kita berdua berhasil keluar sebagai siswa terbaik pada tahun itu.

Kau sangat menyukai musik dan hal itulah yang mendekatkan kita. Aku dan kau sama-sama menggilai akustik, itu mengapa kita selalu berbagi earphone yang sama. Kita selalu bertukar lagu baru, belajar gitar bersama-sama, dan bernyanyi dengan malu-malu. Kita tak pernah bertengkar untuk memperebutkan radio di mobil, menikmati lagu-lagu akustik yang mengalun, sambil mengomentari lirik atau nadanya. Kau seringkali mengajakku ke toko kaset. Kita akan membeli banyak sekali CD untuk kita dengarkan di mobil. Apa kabar CD-CD itu? Aku menyimpan dua. Sabrina dan MYMP. Berarti kau yang memegang sisanya, kan? Kau tahu, ada perasaan asing yang muncul tiap kali aku mendengar lagu-lagu itu. Entahlah, semakin aku mengingat segala hal tentangmu, semakin aku merasa menyakiti diri sendiri. Tapi banyak sekali kenangan yang terpanggil begitu saja hanya karena hal-hal kecil yang pernah kulakukan bersamamu. Seperti hujan, bintang, walkman tua, dan sweter milikmu.

Ah, sweter itu juga masih kusimpan sampai hari ini. Bukannya aku tidak ingin mengembalikan sweter abu-abumu itu, tapi kita bahkan berpisah sebelum aku sempat mengembalikannya. Dulu, sweter itu nyaris kupakai tidur setiap malam. Sekarang, kubiarkan ia tergantung di lemari dan tak tersentuh. Aku suka sekali aroma yang menguar dari sweter itu. Aromanya persis seperti milikmu. Seperti campuran wangi citrus dan pohon pinus. Aku selalu merasa hangat tiap mengenakan sweter itu, meski sweter itu kudapatkan dari hasil pertengkaran kita.

Ya Tuhan, terlalu banyak aku mengenang tentangmu. Aku tahu, semuanya tidak akan berarti apa-apa karena aku tak bisa kembali. Kau hanya tetap menjadi lelakiku pada tahun 2013. Kini, aku tidak tahu siapa yang ada di hatimu. Apakah kau masih memikirkan aku? Atau kau telah mendapatkan yang lebih baik? Sepuluh tahun adalah waktu yang panjang. Kau bukan lagi laki-laki berseragam yang kulihat dulu. Kau telah menggunakan kemeja, dasi, dan jas yang rapi sekarang. Aku tahu hal itu ketika belum lama ini aku mengecek Facebook-mu dan kau telah berubah banyak. Mungkin kau pun bukan lagi sosok yang kukenal dulu.

Aku tak pernah menyesali perpisahan itu. Kau benar, cita-cita kita adalah hal yang terpenting untuk diraih. Aku tahu, kita tidak memiliki misi yang sama. Kau ada di Hannover untuk menjadi ahli dalam teknologi dan industri, sedangkan aku larut dalam dunia sastraku di London. Kita telah menapaki jalan masing-masing, yang kurasa memang sudah seharusnya kita lakukan. Kau tahu? Aku seringkali berharap akan bertemu denganmu di kota ini. Setiap aku pergi ke pusat perbelanjaan, underground, taman, dan jalan raya, aku berharap melihat sekelebat sosokmu. Tapi kita sudah berdiri di langit yang berbeda, mungkin kita pun tak akan lagi menjejakkan kaki di jalan yang sama.

Sepuluh tahun berlalu. Dulu, kupikir melupakanmu adalah satu hal yang mustahil, yang harus membuatku frustrasi dan tak bisa memercayai seseorang lagi. Namun aku salah. Setelah kau pergi, semuanya memang tak pernah sama lagi. Aku selalu dibayang-bayangi dirimu yang mungkin tak lagi memikirkanku. Rindu itu menyiksa. Aku hanya bisa terus berdoa untukmu. Tapi di tengah-tengah keputusasaanku, aku percaya, jika kita memang ditakdirkan untuk bersama, sejauh apapun kita berjalan, kita akan kembali pada titik yang sama pula. Namun jika tidak, maka akan ada jalan lain yang mungkin lebih baik untuk dilalui menuju tempat yang lebih tepat.

Dua hari yang lalu, aku resmi menikah. Mungkin hal ini tidak penting bagimu, tapi aku hanya ingin kau tahu. Maaf karena tidak mengirimkan undangan untukmu, aku memang sengaja tidak melakukannya. Bukannya aku tidak ingin kau hadir, aku hanya ingin menyudahi semuanya. Aku akan menyimpan rapat-rapat segala harta karun dari petualangan-petualangan kita. Kuharap kau pun memulai hidupmu dengan lebih baik.



Best regards,
Perempuan––yang bukan lagi milikmu––di tahun 2023

  • Share:

You Might Also Like

5 komentar