How Distrust Could Break Your Friendship

By Laili Muttamimah - February 24, 2018


When you found that people you trust so much turned into fake figures,
it really....  sucks.

Kita semua pasti punya berbagai istilah dalam mempersepsikan rumah. Buat saya, rumah itu nggak hanya soal tempat, tetapi juga seseorang. Tapi, bagaimana jika suatu ketika, kamu sadar bahwa rumahmu ini bukan lagi tempat yang nyaman untuk pulang?

Ini bukan kali pertama saya merasakan krisis kepercayaan terhadap seseorang––waktu SMP dan SMA, frekuensinya lebih sering. Saya pikir, krisis kepercayaan ini terjadi karena saat itu saya masih berada dalam lingkungan remaja, yang mana saya dan teman-teman masih 'labil' dalam menentukan sikap. Namun, saya nggak menyangka, krisis kepercayaan ini terjadi lagi sekarang, padahal usia saya sudah lebih dari 20 tahun. Saya menganggap saat ini saya nggak berada dalam lingkungan remaja lagi, tapi mengapa problematika semacam ini masih saja ada?

Saya belajar bahwa satu hal yang bisa membuat kita nyaman hingga membangun hubungan bersama seseorang adalah karena rasa percaya. Kita nggak mungkin mau menghabiskan banyak waktu bersama orang tersebut, kalau kita nggak percaya sama dia. Belum lagi, kalau kita sharing tentang apa pun, baik materi maupun cerita, itu juga didasari dengan percaya. Semua hal yang bisa mendekatkan kita pada seseorang, diawali dengan percaya.

Tapi, bagaimana jika kepercayaan yang sudah kamu tanam dalam diri seseorang, mendadak runtuh begitu saja ketika kamu tahu bahwa orang tersebut nggak bisa menjaganya?

Dulu, orangtua saya selalu berpesan agar saya berteman seluas-luasnya. Itu kenapa, saya berusaha untuk menjadi pribadi yang mudah bergaul dan nggak pilih-pilih teman. Tapi, semakin dewasa, saya sadar bahwa punya teman yang banyak itu nggak selamanya menyenangkan, apalagi jika kita sudah menaruh kepercayaan yang besar kepada mereka––kita nggak pernah tahu, kalau suatu hari kepercayaan itu justru 'diobral' oleh mereka kepada orang lain.

Lebih tepatnya, kita akan belajar memahami berbagai macam karakter orang seiring bertambahnya usia. Saya sangat sadar, berteman dengan seseorang bukan berarti orang itu harus sama dengan kita. Justru di situlah tantangan kita untuk menerima perbedaan, nggak cuma secara fisik, tapi juga kepribadian. Ibaratnya, kata salah satu dosen saya, berteman itu sama kayak memesan satu paket Hoka-Hoka Bento. Mungkin kita nggak suka sama salad-nya, tapi salad itu sudah ada di dalam paket yang kita beli. Kita nggak harus memaksakan diri untuk memakan salad itu, tapi paling tidak, kita menerimanya. 

Begitu pula pertemanan. Mungkin si A dikenal keras kepala, si B juteknya minta ampun, atau si C sensitif banget, sesekali kita merasa kesal dengan sifat-sifat itu, tapi jika kita memang tulus berteman dengan mereka, sifat-sifat itu akan kalah dengan loyalitas yang mereka berikan kepada kita. Loyalitas itu terbentuk dari apa? Kepercayaan. 

Namun belakangan ini, saya melihat kepercayaan dalam pertemanan itu seolah nggak lagi berharga. Saya nggak menyangka bahwa orang-orang yang saya titipkan kepercayaan itu, justru nggak menjaganya dengan baik. Ketika saya menyadari semuanya, tumbuhlah perasaan nggak nyaman untuk berinteraksi secara intens dengan mereka lagi. Rasa kecewa di dalam diri saya seolah menjadi alarm untuk saya mundur perlahan-lahan. 

Banyak orang yang bilang, "Ya udah, sih, tinggalin aja. Temen kan bukan cuma dia doang." Tapi percayalah meninggalkan rumah yang pernah jadi tempat singgah itu nggak gampang. Mungkin tahap yang sekarang sedang saya lakukan adalah membereskan baju dan perlengkapan saya, sembari menunggu waktu yang tepat untuk angkat kaki. Di sisi lain, saya mempersiapkan diri untuk berani meninggalkan rumah itu. 

Rasanya buruk ketika orang-orang yang dulu dekat denganmu, kini berubah menjadi manekin––palsu. Ketika dulu kamu biasa mencurahkan apa pun kepada mereka, kini apa yang mereka katakan padamu terlihat sekali hanyalah formalitas. Misalnya, dulu mereka nggak bisa pergi tanpa kamu, tapi sekarang mereka mengajakmu pergi hanya karena nggak sengaja berpapasan di jalan. Kamu akan sangat menyadari perbedaannya, ketika mereka menyemangatimu bukan karena ingin mendukungmu, tapi karena formalitas. Ketika mereka tersenyum padamu bukan karena senang, melainkan untuk menutupi apa yang sudah mereka lakukan di belakangmu.

Semuanya benar-benar buruk. 

Semakin ke sini, saya sadar bahwa ada dua jenis pertemanan, yaitu posesif dan supportif. Pertemanan posesif memang solid, kamu sering melihat mereka bersama ke mana pun, tampak bahagia di foto-foto, atau memberikan hadiah dan kejutan di perayaan-perayaan tertentu. Tapi, kekurangan dari pertemanan itu adalah mereka akan dengan mudah mendorong keluar salah satu anggotanya, ketika anggota itu dianggap nggak sama lagi dengan mereka (misalnya: si anggota punya kesibukan lain sehingga jarang ikut ngumpul). Ditambah lagi, keeratan antar anggota yang terbangun membuat setiap anggota dapat dengan mudah ikut menjauhi anggota yang dinilai berbeda itu. Si anggota malang ini nggak bakal diajak ngumpul lagi, atau lebih parahnya, dianggap bukan bagian dari mereka. Belum lagi, kalau salah satu anggota punya masalah dengan anggota yang lain, pasti bakal terbentuk kubu yang akhirnya memisahkan keduanya––atau kebanyakan dari mereka berkiblat pada satu/dua orang yang dianggap superior dalam kelompok. 

Sedangkan pertemanan supportif, mereka nggak terlihat sering bersama (atau mungkin hanya ngumpul kalau ada perayaan tertentu saja), mereka juga nggak intens komunikasi, tapi di dalam diri mereka sudah tertanam loyalitas untuk menjaga pertemanan yang tulus, nggak bertumpu pada satu/dua orang yang superior, saling mendukung untuk hal yang positif, dan setiap orang dalam kelompok memiliki porsi yang seimbang dalam menyampaikan pendapat. Dalam arti, kalau salah satu anggotanya berbeda dari yang lain, dia nggak punya potensi untuk dijauhi anggota yang lain. Tapi seperti definisinya, pertemanan ini sangat sulit didapatkan. Mungkin dari sekian banyak kelompok teman yang kamu punya, hanya satu yang memiliki kriteria seperti ini. 

Penjabaran saya di atas mungkin bisa dijelaskan dalam teori komunikasi kelompok, bernama Groupthink. Groupthink adalah teori yang dicetuskan oleh Irvin L. Janis, yang didefinisikan oleh Mulyana (1999) sebagai suatu situasi dalam proses pengambilan keputusan yang menunjukkan timbulnya kemerosotan efesiensi mental, pengujian realitas, dan penilaian moral yang disebabkan oleh tekanan-tekanan kelompok. 

Jadi, dapat dikatakan bahwa kelompok pertemanan yang cenderung posesif biasanya melakukan proses Groupthink yang membuat setiap anggotanya lebih mengikuti kesepakatan kelompok untuk mengambil keputusan ketimbang pemikirian kritisnya sendiri, karena sifat kelompok yang sangat kohesif. 

"Anggota-anggota kelompok sering kali terlibat di dalam sebuah gaya pertimbangan di mana pencarian konsensus lebih diutamakan dibandingkan dengan pertimbangan akal sehat. Anda mungkin pernah berpartisipasi di dalam sebuah kelompok di mana keinginan untuk mencapai satu tujuan atau tugas lebih penting daripada menghasilkan pemecahan masalah yang masuk akal. Kelompok yang memiliki kemiripan antar anggotanya dan memiliki hubungan baik satu sama lain, cenderung gagal menyadari akan adanya pendapat yang berlawanan. Mereka menekan konflik hanya agar mereka dapat bergaul dengan baik, atau ketika anggota kelompok tidak sepenuhnya mempertimbangkan semua solusi yang ada, mereka rentan dalam groupthink."

Mungkin itu salah satu dasar teori yang bisa menjelaskan fenomena pertemanan posesif. Setiap anggota dalam kelompok merasa tertekan untuk menjadi 'berbeda' sehingga mereka mengikuti arus kelompok yang ada, meski arus tersebut terkadang ngggak sesuai dengan dirinya. Semua ini mereka lakukan untuk menghindari konflik.

Dari problematika yang saya alami, saya sadar bahwa ini saatnya untuk memilah kembali mana orang-orang yang benar-benar berpengaruh dalam hidup saya dan pantas untuk saya berikan kepercayaan. Akan lebih baik memiliki kelompok pertemanan yang kecil tapi supportif, ketimbang luas tetapi menghancurkan saya perlahan-lahan. Mungkin saya akan dijauhi atau menjadi topik hangat mereka di belakang saya suatu hari nanti, tapi paling tidak mereka akan sadar seberapa besar harga sebuah percaya yang harus dijaga dalam hubungan pertemanan. 


P.S Istilah 'pertemanan' di sini bukan mengarah kepada teman dalam konteks kepentingan bisnis, organisasi, politik, dan sejenisnya.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar