Mengenal Emosi Lewat Terapi Seni

By Laili Muttamimah - December 08, 2019


Sebelum mulai menulis, saya terdiam sejenak di depan layar: Wow! It's December already and finally I get in touch with my blog again!!! Tahun ini bisa dibilang kayak kompetisi triathlon buat saya. Dari bulan Januari sampai hari ini, ada banyak proyek yang harus saya kerjain, baik itu proyek dari kantor maupun kerjaan sampingan. Entah kenapa, baca buku, nulis, nge-blog udah jadi kemewahan tersendiri, karena setiap saya punya waktu luang sedikit, pasti saya gunain buat istirahat. Saya senang, pada akhirnya saya bisa kembali ke laman ini untuk berbagi tentang pengalaman saya, yang sepertinya kali ini cukup penting untuk dibagikan.

Saya nggak bisa menggambarkan secara detail bagaimana padatnya tahun 2019 ini. Rasanya saya seperti dikejar waktu dan tuntutan dari banyak orang, sampai-sampai saya hampir nggak punya waktu untuk diri sendiri. Tahun sibuk inilah yang pada akhirnya membuat energi saya banyak terkuras, baik secara fisik maupun mental. Hingga di penghujung tahun ini, saya tak mampu lagi menahan diri--lelah berpura-pura bahwa diri saya baik-baik saja, lelah menanggung banyak perasaan di dalam dada, lelah menyimpan kata-kata yang nggak tersampaikan.

Sampai akhirnya, sebuah keinginan terlintas dalam benak saya: bertemu psikolog. Sebelumnya, saya nggak pernah berpikir bahwa suatu hari saya akan membutuhkan bantuan psikologis, namun untuk detik ini, di penghujung tahun ini, saya butuh seseorang yang bisa mendengarkan saya tanpa menghakimi. Seseorang yang nggak mengenal saya dan bisa memberikan respons sesuai dengan keresahan yang saya bagikan. Belakangan ini, saya jarang menceritakan keresahan apa pun kepada teman-teman dekat atau orangtua saya. Hampir semua masalah saya simpan sendiri, bukan karena saya yakin saya bisa menanggungnya, hanya saja sulit menemukan seseorang yang benar-benar peduli dan intens mendengarkan cerita kita tanpa menginterupsi.

Saya sempat menulis tentang keresahan saya ini di Twitter, hingga kemudian teman sekaligus editor saya, Anida, mengirim chat dan menyodorkan poster sebuah acara.

"Siapa tahu lo butuh," katanya waktu itu.

Acara itu bertajuk KALM Circle: I'm Bigger Than My Problem, sebuah sesi yang diadakan oleh salah satu perusahaan konsuling psikologis, KALM, bekerjasama dengan Art+i Therapy Jakarta. Terapi yang akan dilakukan dalam sesi tersebut adalah art therapy atau terapi seni, yaitu salah satu metode psikoterapi untuk membuat seseorang mengekspresikan atau mengenali emosi mereka melalui karya seni. Saya sudah pernah mendengar tentang terapi seni ini dari beberapa teman, namun belum pernah mencobanya. Akhirnya, saya memutuskan untuk bergabung dalam sesi tersebut dan berharap saya bisa melepas emosi yang masih terpendam ini.

Sabtu, 7 Desember kemarin saya pergi ke Relung Kopi, kafe tempat sesi KALM Circle diadakan. Peserta yang ikut lumayan banyak (mungkin sekitar 25-30 orang), yang kebanyakan adalah perempuan. Kebetulan, saya bertemu dengan salah satu kenalan yang bekerja di penerbit novel saya, alhasil kami berbincang banyak hal sebelum sesi dimulai. Saya juga bertemu teman-teman baru dari berbagai bidang, mulai dari psikologi, PNS Kemenpar, sampai pengrajin keramik. Saya pikir, sesi ini akan diisi dengan orang-orang demotivatif yang hanya diam sepanjang acara, ternyata saya salah! Mereka justru membawa pengetahuan baru bagi saya lewat cerita-cerita mereka yang menarik.

Sekitar pukul sepuluh, KALM Circle dibuka oleh Co-founder dari KALM yang menjelaskan tentang bagaimana cara KALM bekerja. Jadi, KALM adalah aplikasi konsuling yang bisa membantu seseorang melakukan konsuling tanpa harus datang ke puskesmas atau rumah sakit. Orang tersebut bisa melakukan sesi konsuling melalui chat bersama psikolog profesional dari KALM, yang mana psikolog akan membalas minimal dua kali dalam sehari. Kami pun diminta untuk menenangkan diri terlebih dahulu, menutup mata, dan memfokuskan pikiran pada kegiatan hari itu.

Ketika sesi pertama dimulai, dua terapis dari Art+i Therapy Jakarta pun mengambil alih acara. Mereka meminta kami untuk menggambar asal di atas selembar kertas dengan masing-masing pewarna di tangan kanan dan kiri. Kami harus menggerakkan kedua tangan secara bersamaan, supaya membuat otot-otot tangan rileks terlebih dahulu (terutama buat orang yang sudah lama nggak menggambar seperti saya). Setelah kami menggambar asal, salah satu perwakilan dari masing-masing meja diajak untuk berbagi arti dari gambar mereka. Saya sendiri hanya gambar bunga dan awan-awan waktu itu.

Memasuki sesi kedua, kami diminta untuk menggambar tiga hal tentang diri kami. Ini masih cukup mudah, karena kami langsung tahu apa yang harus kami gambar. Saya memilih untuk menggambar tiga simbol yaitu pensil di atas kertas, ponsel dengan logo-logo media sosial, serta balon percakapan. Pensil dan kertas mengartikan bahwa hobi saya menulis, kemudian ponsel dengan logo-logo media sosial mengartikan bahwa pekerjaan saya banyak dalam bidang pemasaran digital yang mana sering berurusan dengan media sosial, serta balon percakapan yang mengartikan saya seorang ekstrover yang suka berinteraksi dengan orang lain, juga sering mendengarkan masalah teman-teman saya (selalu ingin memastikan bahwa mereka baik-baik saja). Seperti sesi sebelumnya, kami juga diminta untuk berbagi tentang arti dari gambar kami kepada yang lain.





Sesi berikutnya diisi dengan materi dari para terapis. Mereka menjelaskan lebih dalam tentang terapi seni itu sendiri. Salah seorang peserta bertanya, apa yang membedakan terapi seni dengan kita yang suka mewarnai buku atau menggambar di rumah? Awalnya, saya pikir keduanya hal yang sama, namun ternyata berbeda. Terapi seni nggak bisa dilakukan sendiri di rumah, ada terapis yang harus membimbing sesi tersebut, karena terapi ini bagian dari psikoterapi. Sedangkan kegiatan mewarnai buku, menggambar, atau menjahit untuk meredakan stres termasuk dalam theurapeutic art atau kegiatan seni yang sekaligus 'menerapi'. Theurapeutic art bisa kita lakukan sendiri di rumah tanpa bantuan terapis, karena sifatnya hanya untuk menghibur diri. Unsur terapi seni selalu terdiri dari tiga hal yaitu klien (pasien), terapis, dan kegiatan seni, jika salah satu di antaranya nggak ada, berarti nggak bisa dibilang sebagai terapi seni. Tapi, salah satu terapisnya bilang bahwa baik untuk kita memiliki paling nggak satu kegiatan (atau hobi) yang bisa membantu kita meredakan stres, seperti mewarnai, olahraga, atau menulis. Jadi, kita masih bisa memiliki 'pertolongan pertama' sebelum bertemu dengan terapis.

Setelah materi berakhir, kami diminta untuk membuat peta hati. Setiap warna mewakili satu emosi dalam diri kita, yang mana harus kita tempatkan dengan ukuran sesuai dengan yang kita rasakan dalam hati kita. Misalnya, jika saya merasa amarah saya cukup banyak, saya bisa menggambar denah amarah lebih besar daripada yang lain. Kemudian, setelah membuat denah dengan warna-warna sesuai emosi, kami diminta mengisi denah tersebut dengan tulisan atau gambar tentang hal-hal yang mewakili emosi tersebut. Contohnya, saya membuat 12 denah untuk 12 jenis emosi, dan saya memasukkan 'menulis', 'fotografi', dan 'me time' dalam emosi yang membuat saya senang. Tentunya, saya juga memasukkan hal-hal yang membuat saya marah, kecewa, sedih, penat, dan emosi lainnya.

Pada tahap ini, saya merasa sedikit kesulitan, karena kami diminta untuk jujur pada diri sendiri. Saya harus jujur dan menerima bahwa hal x (misalnya) membuat saya kecewa atau hal z membuat saya bersemangat. Tapi, melalui peta ini, saya sadar bahwa hati saya saat ini lebih banyak menyimpan emosi negatif daripada positif. Meski begitu, saya jadi tahu alasan dari emosi negatif itu datang.

Oh... jadi selama ini gue kesel gara-gara ini.
Ternyata gue masih kecewa sama mereka.
Gue takut kalau hal ini terjadi.

Emosi terakhir yang saya tambahkan dalam peta adalah lega. Selama ini, saya nggak sadar bahwa lega juga bagian dari emosi, dan setelah diisi, saya jadi tahu hal apa yang selama ini sudah berhasil saya lakukan hingga saya merasa lega. Sering kali kita terjebak dengan berpikir bahwa diri kita hanya berjalan di tempat. Tapi, sadar nggak sih sebenarnya kita sudah melakukan hal kecil yang mungkin dulu nggak berani kita lakukan? Saya mengisi denah tersebut dengan 'be myself' dan 'can say no to others', karena dua hal tersebut bisa dibilang menjadi pencapaian bagi diri saya tahun ini.

Terapi seni ini mungkin kedengaran sederhana, tapi saya akui, hal ini cukup sukses membuat saya mengenal emosi dalam diri saya. Setelah sesi terapi selesai, saya merasa lebih lepas daripada sebelumnya. Seperti tajuk dari acara KALM Circle, saya sadar bahwa diri saya masih lebih besar daripada masalah yang saya punya, jadi kenapa saya harus menghabiskan waktu memikirkan masalah-masalah ini? Sesi ini juga membuat saya membuka mata bahwa kita butuh meluangkan waktu hanya untuk menenangkan diri dan mengenal emosi kita lebih jauh lagi.


Sepulang dari KALM Circle, kami mendapat goodie bag berisi canvas book dan brush pen! Nggak cuma itu, terdapat pula panduan pertolongan pertama psikologis yang disusun oleh KALM. Pertolongan pertama ini berguna bagi kita yang bisa menjadi penolog bagi orang lain yang tengah mengalami krisis bahkan serangan depresi. Berikut ini rangkuman panduannya:


  1. Kenali tanda-tanda seseorang yang sedang mengalami krisis atau masalah, seperti perubahan perilaku, banyak menyendiri, sulit tidur, mengalami perubahan suasana hati yang ekstrim.
  2. Dekati orang tersebut dan tanyakan bagaimana kabarnya. Selalu pastikan orang tersebut dalam keadaan aman.
  3. Jadilah pendengar yang baik. Semua orang bisa menjadi pencerita tapi nggak semuanya bisa menjadi pendengar, untuk itu dengarkan orang yang memiliki masalah ini tanpa menghakimi dan hindari memberikan penilaian.
  4. Ucapkanlah kalimat yang menenangkan, dan beritahu kepada mereka bahwa mungkin saja mereka sedang memiliki gangguan kesehatan mental atau depresi.
  5. Dorong mereka untuk bertemu dengan terapis profesional, seperti psikolog atau konselor, yang bisa membantu mereka menangani masalah.
  6. Anjurkan kepada orang yang memiliki masalah untuk melakukan kegiatan pemulihan, seperti bersosialisasi, membaca buku penanganan diri, relaksasi, dan sebagainya.
Setiap orang pasti memiliki masalahnya masing-masing, dengan menolong mereka melalui enam hal sederhana di atas dapat membuatnya (paling nggak) merasa lebih tenang. Selain itu, diri kita pun berhak mendapatkan penanganan yang sama, karena semewah-mewahya harta yang kita punya, ketenangan-lah yang paling mahal harganya. :)

So, looking forward for another KALM Circle session! x

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar