Parmagz Pers, Proses Pendewasaan Selama Tiga Tahun Terakhir

By Laili Muttamimah - January 20, 2018


Bisa dibilang, salah satu proses pendewasaan dalam hidup saya dimulai dari organisasi ini. Sejak SMA, saya bertekad untuk menjadi mahasiswa yang aktif di kampus. Saat itu, saya berpikir untuk terjun dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Namun, nyatanya sampai saya berada di tingkat akhir seperti sekarang, saya belum pernah bergabung dalam BEM atau lebih dikenal sebagai Serikat Mahasiswa (SEMA) di kampus saya. Pada hari keempat masa orientasi, saya dan mahasiswa baru lainnya diperkenalkan dengan berbagai macam organisasi mahasiswa yang ada, mulai dari Himpunan Mahasiswa (HIMA) hingga Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Keduanya disebut sebagai Organisasi Kemahasiswaan Universitas Paramadina atau disingkat OKUP. Kebetulan, kampus kami mewajibkan mahasiswanya untuk bergabung dalam (minimal satu) OKUP. Hal ini dikarenakan kampus kami menerapkan sistem poin dual transkrip, yang mana poin itu hanya bisa didapat dari kegiatan-kegiatan di luar kelas, salah satunya organisasi.

Hari itu, saya mendaftarkan diri di tiga organisasi (serakah ya, hahaha). Pertama, organisasi pecinta film, karena saat itu saya lagi hobi menulis naskah dan membuat film pendek bareng teman-teman saya. Kedua, organisasi tari tradisional, sebenarnya saya nggak tahu kenapa saya mendaftar di sana karena saya nggak terlalu bisa menari, tapi sepertinya karena organisasi itu paling terkenal di antara yang lain (maklum, masih anak baru. Jadi impulsif, hehe). Ketiga, organisasi paduan suara, saya juga nggak paham kenapa nekat bergabung di organisasi ini padahal jelas-jelas nggak dianugerahi suara bagus. Untuk organisasi tari dan paduan suara, ada proses audisi terlebih dahulu sebelum dinyatakan menjadi anggota aktif mereka. Saya hanya ikut audisi paduan suara, dan DITOLAK! Hahaha. Alhamdulillah, senior-senior di organisasi itu masih waras untuk nggak memilih saya, karena saya pun merasa paduan suara bukan dunia saya. 

Masa perkuliahan pun dimulai dan satu-satunya organisasi yang saya ikuti hanya pecinta film. Saya cukup menikmati kegiatan di sana karena para senior banyak mengajarkan teknik pengambilan gambar dan video. Sampai suatu hari, salah satu teman dekat saya, Bulan, berkata dia akan datang ke pertemuan UKM jurnalistik, yaitu Parmagz. Jujur saat hari keempat masa orientasi, saya nggak terlalu memperhatikan organisasi ini, karena saya berpikir saya nggak tertarik terjun dalam jurnalistik saat itu. Saya berpikir jurnalistik hanya berkutat seputar reportase. Tapi, Bulan bilang, kami bisa belajar menulis sampai fotografi di Parmagz. Akhirnya, malam itu saya pun ikut datang ke pertemuan.

Awalnya, saya merasa aneh karena sama sekali nggak pernah daftar di Parmagz, tapi tiba-tiba datang. Untungnya, senior-senior Parmagz ramah-ramah banget! Saya akhirnya daftar 'susulan' dan resmi menjadi anggota baru Parmagz hari itu (terima kasih, Bulan, buat jasamu). Saya terpikat dengan Parmagz karena ingin sekali mengasah kemampuan menulis (di luar fiksi) dan fotografi jurnalistik (yang kebanyakan bertema human interest). Saat itu, ketua Parmagz, Dyan, menantang para anggota baru untuk menulis satu artikel setiap minggunya. Artikel yang bagus bakal langsung diterbitkan di website Parmagz, yaitu parmagz.com. Saya langsung antusias, itu berarti tulisan saya bakal dibaca sama banyak orang, nggak cuma mahasiswa Paramadina. Gimana nggak senang, coba?

Tulisan pertama yang saya kirim ke Parmagz adalah tentang aplikasi edit fotografi yang sedang tren saat itu (sampai sekarang juga sih, hehe), VSCO. Memang, waktu itu saya lagi gila-gilanya dengan fotografi, jadi ide pertama yang terlintas di pikiran saya adalah membuat karya feature tentang fotografi. Dan... betapa senangnya saya ketika tulisan pertama itu berhasil tembus di website parmagz.com

Ditambah lagi, saya mendapat balasan dari redaksi Parmagz seperti ini:


Kalau sekarang saya mikir, ternyata saya norak, ya, waktu itu. Hahaha. Jelas aja, itu menjadi peningkatan buat saya pribadi, kalau kemampuan nulis saya sudah bisa naik level ke artikel feature. Dari kelas jurnalistik yang diadakan Parmagz, para senior berpesan supaya kita memulai tulisan dari topik yang kita sukai. Ini bisa membantu proses penulisan menjadi lebih mudah. Jadi, ketika kita riset tentang topik itu, kita bisa sekalian belajar hal yang kita suka.

Setelah satu artikel saya diterbitkan di website Parmagz, saya jadi makin ambisius dengan mengirim artikel dua sampai tiga kali seminggu! Ini dikarenakan teman-teman saya, seperti Bulan, Vani, dan Reres, yang juga bergabung di Parmagz, mengirim banyak tulisan tiap minggunya. Saya langsung nggak mau kalah, hahaha. Apalagi, satu artikel di Parmagz bernilai satu poin. Jadi, kalau saya nulis 50 artikel misalnya, poin saya sudah cukup untuk daftar sidang skripsi. :p

Berawal dari menulis artikel feature, kami ditantang untuk menulis berita tentang kejadian live alias liputan! Dulu, mendapatkan tugas untuk liputan adalah kemewahan bagi kami. Kadang, kami merasa iri kalau teman kami dapat tugas liputan, tapi kami nggak, walau itu cuma liputan di dalam kampus. Suatu hari di bulan Maret 2015, salah satu senior kami menantang kami lagi untuk liputan yang lebih besar di luar kampus, yaitu Aksi Kamisan. Saat itu saya sudah bergabung selama tujuh bulan di Parmagz dan merasa kualitas tulisan saya jauh lebih meningkat. Meliput Aksi Kamisan adalah pengalaman besar bagi saya, karena saya mendapat kesempatan untuk mewawancarai keluarga korban penindasan hak asasi manusia di Indonesia. I felt like a real journalist at that time and really enjoyed the atmosphere

Ketika berganti tahun, saya baru sadar bahwa saya nggak bisa selamanya menjadi reporter yang ditugaskan meliput ke sana kemari, karena saya harus menjalankan roda organisasi Parmagz. Di sinilah, 'hidup' saya dimulai. Pertama kali, saya diminta menjadi Corporate Secretary di Parmagz, yaitu mengurus segala administrasi seperti surat, proposal, dan TOR organisasi. Saya nggak pernah memegang jabatan sekretaris sebelumnya, jadi saya nggak punya modal pengetahuan kecuali nulis. Di sisi lain, ketua Parmagz saat itu, Lulu, nggak banyak memberi saya pengarahan, jadi saya lebih memanfaatkan Google untuk mencari tahu berbagai format surat. Alhamdulillah, satu periode kepengurusan selesai, dan saya benar-benar belajar bagaimana cara membuat surat untuk kebutuhan organisasi. Hard skill saya nambah satu, yeay!

Tahun berikutnya, kepengurusan Parmagz dipegang oleh Yusa sebagai ketua. Dalam periode ini, Yusa meminta saya menjadi Editor In Chief alias Pemimpin Redaksi, karena saat itu jumlah tulisan saya lebih banyak dibanding anggota seangkatan saya. Awalnya, saya agak siap nggak siap, mengingat memegang jabatan sebagai Pemimpin Redaksi bukan hal yang gampang. Selama di Parmagz, saya memahami bagaimana alur kerja redaksi, tapi saat itu saya merasa kurang percaya sama diri sendiri. Tapi, dengan berasaskan niat baik, akhirnya saya menerima jabatan itu dan menjalaninya selama setahun. Ternyata, jadi Pemimpin Redaksi itu menyenangkan! Walau tentu, prosesnya nggak mudah. Parmagz bukan organisasi berbayar, setiap artikel yang ditulis 'dibayar' dengan poin. Hal yang paling sulit adalah mempertahankan semangat belajar dan menulis para reporter, karena (sedihnya) semakin lama para reporter menjadi lesu dan ogah-ogahan ketika diminta liputan. Padahal, kerjasama media partner saat itu sedang ramai-ramainya, baik dari dalam maupun luar kampus. Hal ini jauh berbeda dengan pengalaman ketika pertama kali saya bergabung di Parmagz. Tugas menulis dan liputan bukan lagi menjadi kemewahan bagi para reporter. Jadi, nggak jarang saya mem-back up tugas mereka dan pergi liputan karena kerjasama yang sudah disepakati.


Perjalanan saya di Parmagz nggak berhenti sampai di sana. Saat Yusa selesai dengan masa baktinya, kami mengadakan demisioner sekaligus pemilihan ketua baru. Sebelum pemilihan ketua baru dilaksanakan, Yusa sempat meminta saya secara pribadi untuk mempersiapkan diri sebagai ketua berikutnya. Ia juga melakukan hal yang sama dengan partner saya di Parmagz, yaitu Reres. Sejujurnya, jabatan ketua bukanlah hal yang saya incar, karena yang saya rasakan saat itu adalah saya sayang organisasi ini. Berada dua tahun di Parmagz saat itu membuat saya mengenal budaya di dalamnya (yang kata orang terlalu serius, padahal kami adalah pers mahasiswa yang masih 'bercanda'), saya nyaman dengan teman-teman saya, dan saya juga sudah memahami alur kerjanya. Satu hal yang saya pikirkan adalah saya nggak pengin organisasi ini mati hanya karena nggak ada ketua yang menggantikan. Parmagz bisa menjadi sangat potensial sebagai pers mahasiswa, karya-karya para reporter juga bisa dikatakan bagus walaupun belum tajam dari segi analisis (tapi jauh, deh, sama wartawan bodrek!). Sangat disayangkan kalau roda Parmagz berhenti begitu aja. 

Jadi, dengan 'bermodal' rasa sayang, akhirnya saya menyanggupi untuk menjadi calon ketua Parmagz dan terpilih dalam voting oleh anggota. Masa jabatan saya dimulai bulan Januari 2017. Saat itu, saya sudah membentuk pengurus dan merumuskan program kerja yang akan dijalankan selama satu tahun. Alhamdulillah, nggak sulit untuk saya mencari anggota yang ingin mengisi kursi pengurus, karena perlu teman-teman ketahui, banyak anak Paramadina yang enggan terjun ke organisasi sampai ke tahap pengurus (apalagi ketua). Ya, organisasi mahasiswa di Paramadina benar-benar krisis kader

Mungkin karena saya orang 'J' secara MBTI, jadi saya mengatur dengan ketat hal-hal yang berjalan dalam organisasi, mulai dari program kerja sampai kinerja pengurus itu sendiri. 'Mengatur dengan ketat' dalam konteks ini bukanlah otoriter atau bossy, tapi memastikan semuanya berjalan dengan terencana dan terorganisir. Bulan-bulan pertama memimpin organisasi ini, segalanya terbilang lancar bahkan para reporter sangat semangat mengirim tulisan ke redaksi. Namun, di pertengahan tahun, organisasi ini seperti kehabisan nafasnya dan redup perlahan-lahan.

Jujur, ketika memimpin Parmagz, saya menaruh idealisme serta ekspektasi yang tinggi kepada pengurus dan anggota di dalamnya. Meski seiring berjalannya waktu, idealisme saya perlahan luntur dan ekspektasi saya mati karena saya harus beradaptasi dengan realita bahwa nggak semua orang bisa diajak idealis. Atau mungkin, idealis versi kami berbeda. Ada tahap ketika saya begitu frustrasi sampai nggak jarang menangis ketika merasa nggak dihargai. Saat itu, ada beberapa pengurus yang nggak bertanggung jawab dengan tugasnya sedangkan saya nggak bisa melakukan sesuatu sendirian. Nggak jarang, ada hal yang seharusnya nggak dilakukan oleh saya, tapi akhirnya saya kerjakan karena yang bertanggung jawab pergi entah ke mana. Tapi, saya kembali ingat, ini organisasi... saya nggak bisa memaksa orang untuk 'setia' selamanya. Apalagi, mereka nggak dibayar.

Lika-liku yang saya alami selama memimpin Parmagz menjadi pendewasaan bagi saya, ada tahap ketika saya benar-benar muak, tapi dari sana saya belajar banyak hal. Tentang kepemimpinan, bahwa saya nggak bisa memaksa orang untuk mengikuti apa yang saya mau dan saya nggak perlu berubah menjadi tipe pemimpin yang ideal dengan prinsip orang lain kalau itu bukan merefleksikan diri saya. Tentang menerima, bahwa nggak semua hal bisa berjalan sempurna sesuai idealisme saya dan nggak semua orang bisa bekerja dalam standar yang sama. Tentang manajemen, bahwa satu-satunya hal yang bisa kita lakukan saat masa-masa krisis adalah percaya kepada diri sendiri dan tim, bagaimana kita memercayakan mereka untuk ikut berkembang dan belajar dalam memecahkan permasalahan, bahwa terkadang menjadi 'tidak maksimal' bukan berarti masalah asal kita masih semangat untuk menggerakan roda organisasi bersama-sama. 

Suatu malam, saya mengobrol dengan pendiri Parmagz, Misbah, dan mencurahkan apa yang saya rasakan selama satu tahun memimpin Parmagz. Jujur, saya merasa gagal, karena ada tiga program kerja (dari delapan belas) yang nggak berjalan dan mood organisasi menjadi semakin lesu. Lalu, Misbah bilang begini,

"Selama masih produktif, berarti kamu belum gagal. Mungkin aja, periode yang dulu-dulu berhasil karena keaktifan kamu dan teman-teman angkatanmu. Nah, periode ini, teman-teman angkatanmu sudah nggak terlalu aktif, kan?"

Di situ, saya sadar, walau hasil dari kepemimpinan saya nggak berjalan mulus sesuai standar ideal saya, ada beberapa program inti yang berhasil dijalankan seperti kaderisasi, pelatihan, sampai penerbitan. Ternyata, saya nggak segagal itu. Di sisi lain, periode saya nggak akan berjalan dengan baik tanpa adanya bantuan dari para pengurus dan anggota. Walaupun nggak jarang saya marah sama mereka, mereka tetap setia menemani saya sampai akhir kepengurusan. Kalau salah satu dari mereka membaca postingan ini, saya hanya ingin bilang bahwa kamu nggak berada di jalan yang salah. :)


Tanggal 16 Desember 2017, masa bakti saya resmi berakhir dan digantikan oleh Nava. Saat demisioner, Bulan memimpin brainstorming tentang kelebihan dan kekurangan Parmagz. Ide yang Bulan lakukan sangat bagus, karena para pengurus dan anggota mulai mengeluarkan suaranya, tentang aspirasinya terhadap Parmagz. Betapa kagetnya saya, ketika satu hal yang mereka harapkan dari Parmagz adalah kekeluargaannya. Memang, selama ini Parmagz terlalu banyak mengejar target, sampai lupa membina hubungan internalnya. Bahkan, salah satu program kerja di periode saya yang nggak berhasil dijalankan adalah hangout bareng. Sesederhana itu malah nggak berhasil dijalankan! Karena itu, saya berpesan pada Nava, untuk membawa Parmagz lebih santai namun tetap produktif, dengan lebih banyak mengadakan program untuk internal.

Masa aktif saya di Parmagz memang sudah berakhir, namun saya menutupnya dengan rasa puas karena banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan. Laman ini nggak bisa menjelaskan secara detail bagaimana perasaan saya serta perjuangan yang dilakukan selama tiga tahun bergabung dengan Parmagz, namun saya berharap, apa yang pernah saya dan teman-teman lakukan bisa membawa Parmagz menjadi pers mahasiswa yang lebih hebat suatu saat nanti. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar